Saya ingin membuat penalaran hukum yang sederhana saja untuk menentukan implikasi hukum PUTUSAN MA No. 44 P/HUM/2019 terhadap KEABSAHAN HASIL PILPRES 2019
Oleh : Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Saya ingin membuat penalaran hukum yang sederhana saja untuk menentukan implikasi hukum PUTUSAN MA No. 44 P/HUM/2019 terhadap KEABSAHAN HASIL PILPRES 2019.
PERTAMA
MK mengabulkan uji materi para pemohon yang kemudian dituangkan lewat Putusan MK No.50/PUU-XII/2014. Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres (UU 42 Tahun 2008) bersifat inkonstitusional bersyarat━sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon Presiden dan Wakil Presiden (3 Juli 2014).
Penetapan putusan ini punya arti: apabila Pilpres hanya diikuti dua paslon, maka yang akan resmi dilantik oleh KPU adalah yang memperoleh suara terbanyak. Dengan begitu, pilpres dipastikan berlangsung hanya satu putaran dan mengambil mekanisme suara terbanyak━sehingga syarat persentase persebaran suara juga jadi tidak berlaku.
KEDUA
Putusan MK lantas dimasukan dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih”.
KETIGA
Rahmawati dkk menggugat konsistensi PKPU No. 5 Tahun 2019 terhadap UU No. 42 Tahun 2008 ke MA tertanggal 14 Mei 2019. MA memutus perkara tersebut pada tanggal 28 Oktober 2019 dengan Putusan No. 44 P/HUM/2019. Hasilnya: Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
KEEMPAT
Sebagaimana kita ketahui pada tanggal 21 Mei 2019 KPU telah menetapkan Capres terpilih sesuai dengan penghitungan suara. Presiden dan Wapres terpilihnya adalah Pasangan Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai peraih suara terbanyak.
KELIMA
Dalam program penyelesaian Sengketa PHPU di MK dengan pola Speedy Trial (persidangan cepat), pada tanggal 27 Juni 2019 diputuskan bahwa MK menolak seluruh gugatan Prabowo-Sandi yang berarti Keputusan KPU yang menyatakan Pasangan Jokowi Ma'ruf Amin sebagai pasangan terpilih tetap sah berlaku. Hal itu tertuang dalam PUTUSAN Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019
KEENAM
Putusan MA tertangggal 28 Oktober 2019 itu memenangkan gugatan Rahmawati dkk. Jadi, Pasal 3 ayat 7 PKPU dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang berarti paslon terpilih harus mengikuti pola Pasal 6A UUD 1945 dan UU Pemilu 2017. Intinya hasil Pilpres dan Pelantikan Jokowi-MA batal.
KETUJUH
Implikasi Hukum Putusan MA
Kita dapati fakta bahwa Putusan MA adalah tertanggal 28 Oktober 2019. Hal ini berarti putusan itu dikeluarkan setelah MK memutus JR Pasal 159 UU Pilpres 2008 dengan Putusan No. 50/PUU-XII/2014 dan sengketa PHPU Pilpres pada 27 Juni 2019 dengan Putusan Nomor 01/PHPU.PRES/XVII/2019.
Ada prinsip hukum yang berlaku universal, yakni putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Putusan pengadilan tidak dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Seperti halnya sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat mutlak. Kalaupun ada indikasi judicial corruption, daya berlaku sifat final dan mengikat itu tidak terkurangi.
Jadi, putusan MA 44 P/HUM/ 2019 tidak dapat membatalkan Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa Pasal 159 UU Pilpres 2008 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pilpres dengan hanya 2 pasangan calon.
KEDELAPAN
Meskipun MA telah menyatakan Pasal 3 ayat 7 tidak berlaku tidak berati dapat menghidupkan kembali Pasal 159 terkait dengan paslon pilpres yang hanya dua pasang, maka putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 tetap berlaku, yaitu tentang tafsir resmi atas syarat kemenangan oleh MK terhadap Pasal 6A UUD, bila hanya 2 pasang calon maka suara terbanyaklah yang dinyatakan sebagai pemenang dan akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden RI.
KESEMBILAN
Melalui penalaran hukum demikian itu maka :
Putusan MA No. 44 Tahun 2019 yang mengabulkan gugatan Rahmawati dkk TIDAK MEMILIKI AKIBAT HUKUM terhadap hasil Pilpres 2019. Jadi, hasil pilpres 2019 dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetap sah, tidak batal hanya oleh karena Putusan MA No. 44 P/ HUM/2019.
Tabik...!!!
Semarang, 8 Juli 2020
Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. adalah seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Ia dikenal sebagai pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila. Suteki dikukuhkan sebagai Guru Besar Undip pada 4 Agustus 2010. Ia adalah Guru Besar ke-13 di Fakultas Hukum dan Guru Besar ke-86 di lingkungan UNDIP. Wikipedia
COMMENTS