Rapid Test Covid-19
Warga Surabaya menggugat Presiden Jokowi ke Mahkamah Agung (MA). Sebabnya, penerbitan Surat Edaran 9/2020 yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tentang kewajiban rapid test bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat, kereta api, maupun kapal laut selama masa pandemik Covid-19.
Hari ini kami mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung terkait surat edaran tersebut. Termohonnya Presiden Republik Indonesia,” demikian kata Muhammad Sholeh, kuasa hukum penggugat seperti dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (30/6).
Sholeh menjelaskan, gugatan yang dilayangkan ke MA merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya ia ditunjuk sebagai kuasa hukum untuk menggugat terkait masalah yang sama.
Namun pada sore harinya gugatan yang diajukannya menjadi viral di media dan Surat Edaran 7/2020 yang menjadi polemik terkait masa berlaku hasil rapid test itu akhirnya dicabut dan digantikan dengan Surat Edaran 9/2020.
“Masa berlakunya diperpanjang dari 3 hari menjadi 14 hari tapi ini bukan masalah itu. Rapid test ini harus dihapus karena membebani secara financial bagi calon penumpang,” ungkapnya.
Sholeh menyontohkan, biaya rapid test bagi penumpang dari Surabaya yang akan naik kapal menuju NTT. Biaya rapid test membutuhkan Rp 350 ribu. Sementara biaya untuk naik kapal sendiri hanya membutuhkan Rp 312 ribu.
“Kalau orang yang pergi banyak tentu akan memberatkan calon penumpang,” katanya.
Menurutnya, kebijakan itu juga tak konsisten dalam penerapan di lapangan. Misalnya ketika seorang penumpang melakukan cek suhu tubuh di bandara atau stasiun dan ternyata hasilnya di atas 38 derajat maka orang tersebut tak boleh bepergian. Padahal hasil rapid test non reaktif.
“Pertanyaannya yang menjadikan calon penumpang bisa bepergian itu hasil rapid test atau tes suhu badan?” ujarnya.
Kewajiban rapid test tersebut dinilai bertentangan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
“Kami berharap agar Mahkamah Agung menyatakan Surat Edaran tersebut pada ketentuan huruf F.2. b (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memerintahkan termohon untuk mencabutnya dan memerintahkan pemuatan putusan dalam lembaran negara,” tandasnya.(rmol)
COMMENTS