Buya hamka
[Meluruskan Niat Dalam Perjuangan Menolak RUU HIP]
Oleh : Ahmad Khozinudin | Aktivis, Anggota Hizbut Tahrir
“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke Neraka….” [Buya Hamka, disampaikan dalam sidang konstituante, Bandung, 15 November 1957].
“Kalau Pancasila itu adalah sebagai suatu ajaran, dari manakah sumbernya dan bagaimana pula saluran serta pedoman-pedomannya,?” [KH Achmad Zaini (14 Nopember 1957) dalam sidang Konstituante].
KH Achmad Zaini, selanjutnya tegas mengatakan: “Saudara Ketua yang terhormat, jelaslah kiranya saudara Ketua bilamana Nahdatul Ulama beserta partai Islam lainnya menuntut hanya dasar Islamlah yang harus dijadikan Dasar Negara kita.”
Dua penggalan pidato diatas, penulis kutip dari tulisan Dr Abdullah Hehamahua, berjudul : RUU HIP MELAHIRKAN DEBAT, PANCASILA ATAU NEGARA ISLAM ?. Pernyataan dua tokoh bangsa ini, penting untuk kita renungkan hakekatnya, terutama dalam memposisikan diri dalam diskursus penolakan RUU HIP.
Sebagai seorang muslim, yang meyakini akidah Islam, wajib hanya menjadikan Islam sebagai dasar menolak atau menerima sesuatu. Islam telah menurunkan Al Qur'an dan as Sunnah, sebagai landasan hukum untuk berbuat atau tidak berbuat, menerima atau menolak, sehingga darinya muncul Al Ahkam Al Khamsah (Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram).
Tidak diterima amal, jika tidak disandarkan pada Islam. Misalnya saja, seorang Kristiani yang sangat dermawan, meskipun amalnya baik dimata manusia, tetapi dihadapan Allah SWT tidak bernilai, karena seorang Kristiani meyakini Isa Putra Allah. Padahal, akidah Islam jelas menegaskan "Allahu Ahad, Allahus Shomad, Lam Yalid Walam Yulad".
Begitu juga dalam menolak RUU HIP, harus disandarkan hanya karena membela Islam bukan yang lainnya. Jika niat menolak RUU HIP bukan karena membela Islam, pasti amalannya tertolak.
Misalnya saja, ada seorang muslim yang menolak RUU HIP karena membela Pancasila. Amalan yang diniatkan karena Pancasila, bukan karena Islam, dihadapan Allah SWT tidak bernilai, tertolak. Meskipun, secara zahir ikut menolak RUU HIP.
Lagipula, membela Pancasila tidak bisa membedakan antara seorang mukmin dengan komunis. DN Aidit, gembong Komunis PKI ketika melakukan pemberontakan juga mengklaim dirinya sebagai Pembela Pancasila.
Lantas, jika kita juga mengaku membela pancasila, apa bedanya dengan DN Aidit ? Tentu saja, kita bisa berbusa menjelaskan bahwa Pancasila versi DN Aidit berbeda. Namun, hal ini jelas tidak bisa tegas membedakan diri kita dengan gembong Komunis.
Namun, jika kita tegas menolak RUU HIP karena Islam, karena Islam mengharamkan ateisme, mengharamkan Komunisme, mengharamkan Marxisme dan Leninisme, umat langsung paham bahwa kita berbeda dengan PKI.
PDIP yang mengusung RUU HIP pun mengaku membela Pancasila, Namun PDIP tidak akan mungkin membela RUU HIP karena Islam. Itulah yang membedakan Islam dengan Pancasila.
Islam jelas murni, tanpa bid'ah Pancasila. Islam menyelamatkan, baik dunia maupun akhirat. Sementara Pancasila ?
Jika merujuk perkataan Bapak Bangsa kita, Buya Hamka yang mengatakan :
“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka….”
Maka jelaslah, Pancasila hanya akan membawa kita ke Neraka.
Lantas, apakah kita Ridlo' Negara kita dimurkai, menyebabkan kita masuk Neraka ? Jelas, kita semua, umat Islam tidak ridlo.
Lagipula, Pancasila tidak punya panduan teknis rincian untuk mengatur negara, karenanya membutuhkan RUU HIP. Dalam RUU inilah, Pancasila diterjemahkan dalam rincian norma yang bernafaskan Komunisme Liberalisme.
Karena tidak punya rincian aturan, berbeda dengan Islam yang sempurna, tafsir Pancasila terserah pada Penguasa. Orde lama Pancasila bercorak sosialisme, orde baru bercorak liberalisme, orde Jokowi bercorak Komunisme Liberalisme.
Saya mengingatkan agar kita semua tidak melupakan nasehat Kakek Buyut kita, para pendiri bangsa yang menyebut Pancasila adalah jalan ke Neraka.
Inilah saatnya, kita melanjutkan Perjuangan kakek buyut kita, yang mengusir penjajah karena Islam, yang ingin merdeka dalam rangka menerapkan syariat Islam. Jika saat ini ada yang meragukan Islam, bagaimana mengelola Negara sebagaimana pertanyaan Soekarno saat ingin mendelegitimasi aspirasi syariat Islam, Kita akan jawab, rincian teknis bernegara untuk menerapkan syariat Islam adalah dengan menegakkan Khilafah. [].
COMMENTS