pernyataan ini menggambarkan betapa ruang fikir para pejabat di negeri ini sangat miskin dan kosong dari narasi yang membangkitkan. Rakyat justru diajak berpasrah, sambil menunggu giliran kapan Corona akan menginfeksi dan membunuh rakyat satu persatu.
Oleh : Ahmad Khozinudin | Aktivis, Anggota Hizbut Tahrir
"Saya kemarin mendapat meme dari temen, dari Pak Luhut Panjaitan itu begini. Judulnya itu dalam bahasa Inggris. Corona is like your wife. You try to control it then you realize that you can't. Then you learn to live with it," [Mahfud MD, 26/5]
Ternyata, selain miskin visi dan strategi, rezim ini juga miskin Narasi. Jika sebelumnya, Jokowi meminta rakyat berdamai dengan Virus Corona, kini Mahfud MD lebih intim lagi.
Meski hanya mengutip pernyataan Luhut Binsar Panjaitan, namun ungkapan Mahfud MD ini juga mengkonfirmasi persetujuan dan ikut memasarkan narasi "Corona seperti istrimu".
Merasa kalah bertarung melawan virus Corona bisa saja dimaklumi, sebab persoalan ini bukan persoalan sederhana. Namun, ketika kekalahan Itu diungkapkan dengan pernyataan "menyerah" dengan meminta rakyat berdamai dengan virus Corona, apalagi meminta rakyat untuk memperlakukan Corona layaknya istri, jelas sebuah kekalahan telak dan bentuk kepasrahan yang paling fatal.
Lagi pula, pernyataan ini menggambarkan betapa ruang fikir para pejabat di negeri ini sangat miskin dan kosong dari narasi yang membangkitkan. Rakyat justru diajak berpasrah, sambil menunggu giliran kapan Corona akan menginfeksi dan membunuh rakyat satu persatu.
Narasi "Corona layaknya istrimu" adalah ungkapan yang sangat keliru, bertentangan dengan realitas, dan tak mewakili semangat untuk membangun optimisme bahwa negeri ini bisa bebas dari bahaya Virus Corona, meskipun belum diketahui kapan waktunya.
Mari kita kritisi,
Pertama, Corona adalah virus, sumber penyakit, dan bahkan penyakit ganas yang belum ada obatnya. Menganalogikan penyakit sebagai istri, hanya muncul dari orang yang memiliki kedangkalan berfikir tingkat dewa.
Boleh saja, seseorang memiliki pengalaman pribadi yang buruk soal istri dan rumah tangga, atau memiliki motif yang keliru saat menjadikan seorang wanita sebagai istri, atau terjebak berada Dibawah Kendali Istri (DKI) dalam mengelola rumah tangga. Namun, kekeliruan dan pengalaman buruk ini tidak boleh ditularkan kepada publik, apalagi dijadikan analogi untuk membangun narasi.
Melamar wanita untuk dijadikan istri itu bukan untuk menguasai, tetapi untuk dijadikan sahabat guna berbagi peran dalam rumah tangga. Istri bukan bawahan suami, sebagaimana suami bukan atasan Istri, melainkan mereka adalah sepasang sahabat dalam rumah tangga yang menjalankan peran sesuai perintah Agama.
Seorang suami wajib menjalankan peran sebagai Imam, pemimpin rumah tangga, tak boleh berada dibawah kendali istri. Seorang istri, wajib taat kepada suami, menyadari peran dan fungsinya dalam rumah tangga, sehingga tidak perlu ada kontradiksi superioritas dan inferioritas dalam rumah tangga, karena keduanya adalah sahabat dalam berumah tangga.
Kedua, motif menikahi wanita untuk menaklukan, kemudian menyerah karena faktanya dalam rumah tangga suami berada dibawah kendali istri, termasuk akhirnya suami berdamai dengan keadaan tersebut, adalah bentuk kegagalan seorang suami dalam menjalankan perannya sebagai Imam dan kepala rumah tangga.
Kegagalan ini, tidak boleh diekspor dan dipasarkan agar diadopsi rakyat. Apalagi, dijadikan analogi untuk membangun narasi dalam rangka menghadapi virus Corona.
Ketiga, bangsa ini memang butuh narasi, butuh bahasa kontemplasi yang mampu memberi semangat dan membangkitkan harapan akan masa depan.
Misalnya saja, "Badai Corona Pasti Berlalu". Ibarat negeri ini diterpa badai, kita tak bisa menghilangkan terpaan badai atau menghalaunya, tetapi kita bisa berlindung dari badai dengan tetap berada dirumah, membangun bunker penyelamat, terus berada di bunker, sampai kondisi badai benar-benar telah berlalu. Dan kita yakinkan rakyat, bahwa badai pasti berlalu.
Dalam konteks menghadapi virus Corona, seharusnya pemerintah meminta rakyat untuk tetap bersabar, terus berada dirumah dan tetap menjaga physical distancing, sampai badai Corona benar-benar berlalu.
Pemerintah juga wajib serius menangani rakyat yang telah diterpa badai Corona, dengan menetapkan dua visi utama. Pertama, visi penyembuhan dari virus Corona. Kedua, visi mengendalikan dampak agar virus tidak menular kepada anggota masyarakat lainnya.
Lah ini, badai Corona belum berlalu bahkan beberapa pekan terakhir menunjukkan peningkatan, Pemerintah malah meminta rakyat keluar dari rumah, keluar dari "bunker pengamanan" dari badai Corona, dan memintanya menuju mal dan pusat perbelanjaan, menantang badai Corona bahkan meminta rakyat menjadikan Virus Corona sebagai istrinya.
Sampai disini, saya benar-benar gagal paham dengan narasi berbangsa yang diunggah Pemerintah. Pemerintah ini mau melindungi rakyat dari ancaman Virus Corona, atau mau melepaskan belenggu ekonomi yang melilit pengusaha akibat penerapan kebijakan PSBB ? [].
COMMENTS