Ada sebagian orang yang menolak membahas ide khilafah karena beranggapan tidak cocok dengan kondisi Indonesia. Sekedar membahasnya saja mereka tak mau karena khawatir terjadi konflik seperti di Irak dan Suriah.
Oleh: Wahyudi al Maroky (Dir. PAMONG Institute)
Ada sebagian orang yang menolak membahas ide khilafah karena beranggapan tidak cocok dengan kondisi Indonesia. Sekedar membahasnya saja mereka tak mau karena khawatir terjadi konflik seperti di Irak dan Suriah.
Menurut mereka, Khilafah tidak cocok untuk Indonesia yang beragam suku dan agama. jika Khilafah diterapkan di Indonesia, maka Indonesia akan berubah menjadi seperti Timur Tengah yang dilanda konflik dan peperangan. Bahkan bisa jadi ada sebagian daerah yang akan memisahkan diri.
Dari pandangan tersebut dapat kita pilah beberapa hal. Ada dugaan ketidakcocokan, ada soal keragaman suku dan agama, isu konflik Irak dan Suriah, ada dugaan daerah memisahkan diri, dan terkait tradisi Indonesia.
PERTAMA; Indonesia itu beragam suku dan agama, itu fakta. Mari kita bandingkan dengan fakta di masa Khilafah. Ketika Nabi SAW wafat dan dilanjutkan oleh para Khalifah (abu Bakar, Umar, Utsman, dll), kondisi masyarakatnya juga beragam.
Faktanya, ada beragam suku dan agama di masa Khilafah. Apalagi wilayah Khalifah sampai benua Eropa, tentu rakyatnya jauh lebih beragam suku, agama, budaya dan bangsa. Jadi secara fakta Indonesia itu beraneka ragam dan khilafah juga beraneka ragam. Sampai disini, mestinya tidak ada masalah.
KEDUA; khawatir terjadi konflik dan perang seperti di Irak dan suriah. Pertanyaan, apakah Irak dan Suriah itu menerapkan sistem Khilafah sehingga terjadi konflik. Jujur, faktanya mereka tidak menerapkan sistem khilafah.
Demikian juga kekhawatiran akan ada daerah yang minta memisahkan diri. Pertanyaannya, apakah Timor-timur itu lepas dari Indonesia karena menerapkan Khilafah? Faktanya juga bukan karena khilafah Timtim itu lepas. Bahkan ada OPM di Papua yang minta memisahkan diri, juga bukan karena alasan Khilafah.
Di sisi lalin, konflik di Suriah itu terjadi karena konspirasi negara penjajah, AS dan anteknya. Bahkan Irak dihancurkan dengan dalih ada senjata pemusnah massal, padahal sampai kini tiada terbukti.
Sedengkan ajaran Khilafah, merupakan warisan Nabi saw dan para shahabat. Di masa keemasan Islam –masa Khulafaur Rasyidin dan masa kekhilafahan Islam--, keadaan Timur Tengah stabil. Jikalau ada gesekan, segera bisa diselesaikan. Semua orang dijamin keamanannya, baik muslim maupun kafir mendapatkan perlakuan yang adil. Kesejahteraan justru terwujud di tengah-tengah manusia.
KETIGA; Ide Khilafah itu bagian dari ajaran Islam. Kenapa tidak cocok? Meminjam istilah Cak Nun. “...Khilafah itu idenya Allah” bukan idenya FPI, HTI, atau ormas lainnya. Jadi, karena idenya Allah yang dicontohkan oleh Nabi SAW dan diwariskan kepada para khalifah setelahnya. maka tidak ada urusannya dengan cocok dan tidak cocok. Atau suka dan tidak suka.
Sebagai manusia tinggal ikuti saja perintah Allah dan mencontoh Rasulullah SAW. Perkara belum bisa menjalaninya, itu urusan lain. Sama halnya soal sholat, banyak yang belum menjalankan sholat, tapi kan tidak mesti bilang sholat tak cocok di Indonesia karena beragam. Jika yang belum menjalini tidak teriak dan yang menyampaikan ide tidak memaksa, maka tidak ada masalah kita.
Khilafah merupakan kewajiban sebagaimana sholat, zakat, puasa, dll. Ia wajib bagi muslim di mana saja berada, tanpa memandang asal-usul, bahasa, budaya, warna kulit, jenis rambut, dll. Seluruh kaum Muslim, dari ujung barat hingga timur terkena hukum ini. Tak terkecuali bagi Muslim yang ada di Indonesia.
Risalah Nabi SAW itu berlaku untuk seluruh manusia yang ada di dunia ini. Sebagaimana firman-Nya; "Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada SELURUH ALAM (jin dan manusia)". [TQS Al Furqan:1].
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia SELURUHNYA sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,...".[TQS Saba':28]
KEEMPAT; khilafah tak hanya untuk Indonesia tapi untuk seluruh dunia. Penerapan hukum Islam, itu bersifat mengikat bagi seluruh muslim dimana pun berada. Tak hanya di Indonesia.
Sistem pemerintahan yang cocok untuk menerapkan hukum islam itu adalah khilafah. Sistem pemerintahan selain khilafah memang tidak dirancang dan didesain untuk menerapkan hukum islam. Jadi jangan dipaksakan.
KELIMA; secara historis, bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan syariat Islam dan kekhilafahan. Berdirinya kerajaan islam di Nusantara, seperti Yogyakarta, Kesultanan Banten, Demak, Siak, Buton, Ternate dan Tidore, dll. merupakan fakta sejarah. Apalagi adanya pemberian gelar khusus bagi para sultan. Ini menunjukkan hubungan yang amat erat antara bangsa Indonesia dengan Khilafah.
Bahkan setelah institusi Khilafah Islam Ustmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924, ulama dan tokoh pergerakan Islam Indonesia meresponnya dengan membentuk Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam) dan wakilnya KH A. Wahab Hasbullah (lihat: Bendera Islam, 16 Oktober 1924).
Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafah ke Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. A. Wahab dari kalangan tradisi. (Hindia Baroe, 9 Januari 1925). KH A. Wahab kemudian dikenal sebagai salah satu pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama.
Inilah bukti sejarah yang menunjukkan adanya kecocokan dan hubungan erat bangsa Indonesia dengan syariat dan Khilafah. Jadi Khilafah memang tak cocok jika hanya untuk Indonesia saja. Ia lebih cocok untuk kepemimpinan umum seluruh dunia. Jika umat Katolik punya Pemimpin Dunia (Paus), wajar juga jika umat muslim punya pemimpin global (Khalifah).
Walhasil, khilafah itu idenya Allah. Jika belum bisa menerima itu hal yang biasa. Tapi Membencinya akan berhadapan dengan yang punya ide, yaitu Allah SWT. Semoga dengan taat pada-NYA, negeri ini berlimpah barokah. Aamiin.
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
COMMENTS