Perempuan Dan Kemiskinan
Oleh : Nonik Sumarsih | Aktifis Dakwah Kampus Surabaya
Kemiskinan masih menjadi masalah besar global adalah sebuah kenyataan pahit, tidak terkecuali Indonesia. Meski negeri ini kaya akan SDA namun masih saja terdapat 350 anak di salah satu desa Lombok Timur ditinggalkan oleh orang tua mereka menjadi TKI. Bahkan 80 % laki-laki dari desa mereka pergi ke Malasyia karena tidak ada lapangan pekerjaan. Pada Maret 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar garis kemiskinan masyarakat Indonesia adalah Rp 425.250 per kapita per bulan. Artinya standard dikatakan orang miskin di Indonesia jika pendapatan mereka sebesar Rp 14.175 setiap harinya atau sekitar $ 1 AS, sedangkan standard kemiskinan dunia $ 2 dollar AS. Tentu jika pemerintah mengikuti standar dunia, angka kemiskinan di Indonesia akan melonjak tinggi.
Maka wajar meskipun pemerintah telah mengklaim terjadi penurunan angka kemiskinan yang cukup drastis pada Maret 2018, yaitu 9,82 %, turun menjadi 8,5 hingga 9,5 % pada 2019 atau jika disetarakan masih terdapat 9,4 juta penduduk Indonesia masih miskin kronis. Namun, Bank Dunia dalam laporan yang berjudul “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” menyebutkan bahwa sebanyak 115 juta atau 45 persen masyarakat Indonesia berpotensi menjadi miskin kembali. Mereka ini adalah orang yang telah keluar dari kemiskinan tetapi belum mencapai tingkat ekonomi yang aman. Artinya problem kemiskinan masih menjadi masalah besar yang belum tuntas baik nasional maupun global.
Namun anehnya, masalah kemiskinan malah dinarasikan karena adanya ketidaksetaraan gender perempuan. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa penyebab kemiskinan adalah akibat ketidaksetaan gender pada perempuan. Sri Winarna, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) pun mengakui bahwa perempuan yang terpaksa menjadi kepala keluarga akibat pernikahan dini dan perceraian mempengaruhi kemiskinan hingga mencapai angka 40 %.
Sejatinya, narasi kemiskinan akibat ketidaksetaraan gender pada perempuan adalah bentuk propaganda Barat. Ketidaksetaraan gender adalah hasil dari realita pahit perempuan Barat yang dipandang sebagai kelompok rendah. Kemudian mereka menuntut agar ada upaya kesetaraan gender untuk perempuan sehingga mereka bebas dari penindasan, pelecehan, dan kemiskinan.
Sayangnya ide “kesetaraan gender” ini yang juga diekspor ke negeri-negeri muslim justru membawa perempuan pada posisi “tereksploitasi”. Kesetaraan gender menstandardkan kesuksesan perempuan ketika dia menjadi wanita karir, show off segala potensi yang dia miliki termasuk tubuhnya, dan lain sebagainya. Akibatnya justu menimbulkan berbagai masalah lain berupa tidak berfungsinya peran keibuan, perceraian, anak terlantar, pelecehan atau terjerumus masalah lainnya.
Hal ini terbukti dari pernyataan tegas para perempuan dan feminis muda se-Asia Pasifik dalam acara peringatan 25 tahun Deklarasi dan Platform Aksi Beijing atau yang sering disebut Konferensi internasional perempuan Beijing+25 atau Beijing Platform for Action (BPfA). Dalam forum yang diselenggarakan oleh UNESCAP di Bangkok pada 22-26 November 2019, mereka menyatakan “We are angry. 25 years since Beijing, we are far from reaching gender equality. Inequalities of wealth, power and resources are greater than ever before. (Kami marah. 25 tahun sejak Deklarasi dan Platform Aksi Beijing, masih jauh dalam pencapaian kesetaraan gender. Ketimpangan kekayaan, kekuasaan, dan sumber daya menjadi lebih besar dari sebelumnya)”.
Maka apa yang diungkapkan oleh Hillary Clinton bahwa “When women participate in the economy everyone benefits” (Ketika perempuan berpartisipasi dalam ekonomi semua orang mendapat manfaat) sejatinya bentuk eksploitasi modern perempuan. Dalih kesetaraan gender untuk menyejahterakan perempuan dan pengentasan kemiskinan hanyalah ilusi semata.
Islam telah menempatkan perempuan ditempat yang mulia sesuai kodratnya. Kesuksesan perempuan dalam pandangan Islam adalah ketika dia berhasil menjadi um wa robbatul bait. Sehingga generasi yang tercetak adalah generasi cemerlang yang siap berjuang demi agamanya dan pengisi peradaban Islam yang mulia. Tanggungjawab ini begitu berat, maka mereka tidak dibebani dengan tugas mencari nafkah untuk diri mereka sendiri. Mereka punya jalur wali yang siap menafkahi segala keperluan dan kebutuhan mereka. Ketika tidak ada wali disinilah peran negara mengambil penafkahan tersebut.
Pun dalam menciptakan lapangan pekarjaan yang banyak untuk para wali butuh peran negara. Lapangan pekerjaan ini dapat diwujudkan ketika SDA dikelola sesuai syariat. Dalam Islam, SDA termasuk ke dalam milkiyah ‘am (kepemilikkan umum). Maka Khilafah, sebagai institusi negara wajib mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dan haram memberikan kepada swasta untuk diprivatisai. Pengelolaan secara mandiri ini akan akan membuka lapangan pekerjaan yang sangat banyak sehingga memudahkan para laki-laki dalam mencari nafkah untuk keluarga mereka. Disaat yang sama hasil pengelolaan SDA dapat diwujudkan secara langsung berupa subsidi pendidikan, kesehatan, keamanan, fasilitas umum dan yang lainnya. Pun untuk mengentaskan kemiskinan, APBN Khilafah memiliki pos zakat, wakaf, infaq untuk menyelesaikannya.
Maka sejatinya, tidak ada korelasi antara kemiskinan dengan ketidaksetaraan gender. Yang ada hanyalah kegagalan Barat dalam mewujudkan kesejahteraan bagi perempuan dan mengentaskan kemiskinan dengan solusi “kesetaraan gender” mereka.
COMMENTS