Korupsi kpk
[Catatan Hukum Pelemahan KPK secara Terstruktur, Sistematis, Masif dan Brutal]
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH
Ketua LBH Pelita Umat
Salah satu anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsuddin Haris menegaskan, sikapnya terkait direvisinya UU KPK tidak berubah. Menurutnya, revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 memang bertujuan untuk melemahkan KPK.
"Saya pikir, tidak berubah pandangannya bahwa revisi Undang-undang KPK itu memang tujuannya melemahkan," demikian tegas Syamsuddin di Jakarta (23/1/2020).
Meskipun Syamsuddin tidak merinci bagian mana dari revisi yang bertujuan melemahkan KPK. Namun, diskursus pelemahan KPK itu telah menjadi konsumsi publik, bahkan sejak rancangan undang-undang KPK dibahas DPR di Senayan.
Saat itu elemen masyarakat civil society, aktivis anti korupsi, akademisi, para peneliti pengamat dan pemerhati masalah korupsi, meminta presiden agar tidak terlibat dalam pembahasan. Sayangnya presiden justru mengutus secara resmi Kemenkumham dan Menpan RB untuk terlibat bersama DPR membahas rancangan perubahan undang-undang KPK.
Saat undang-undang KPK telah disahkan, desakan publik kepada Presiden untuk mengeluarkan Perppu juga massif dilakukan. Bahkan terjadi demo mahasiswa berjilid-jilid hingga menimbulkan korban jiwa, dua mahasiswa Unhalu meninggal dunia akibat kekerasan dalam penanganan demonstrasi.
Secara substansi isi revisi undang-undang KPK ini terbukti melemahkan. LBH Pelita umat dalam diskusi hukum Islamic Lawyers Forum (ILF) pernah mengangkat tema pelemahan KPK ini dengan menghadirkan salah satu nara sumber Dr. Abdullah Hehamahua, mantan penasehat KPK. Pencangkokan organ Dewan Pengawas, kewajiban izin terhadap penggeledahan dan penyadapan kepada Dewan Pengawas, kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3, status pegawai KPK, hingga ditunjuknya Firli Bahuri sebagai komisioner KPK, menjadi faktor-faktor yang oleh para narasumber disimpulkan telah terjadi pelemahan KPK.
Bahkan Dr. Abdullah Hehamahua menyebut KPK bukan dilemahkan tapi sudah dimatikan. Menurutnya sejak diberlakukan undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan undang-undang nomor 30 tahun 2002, kewenangan, fungsi dan tugas KPK untuk mencegah dan memberantas korupsi telah mati.
Karenanya penulis merasa aneh terhadap statement Syamsudin Haris ini, karena dia memiliki pandangan KPK dilemahkan tetapi dia juga bersedia menjadi anggota Dewan Pengawas KPK. Bukankah itu sama saja Syamsudin Haris melegitimasi pelemahan KPK ?
Penulis semakin heran dan bertanya-tanya, apakah sosok-sosok yang dikenal sebagai begawan hukum dan aktivis anti korupsi seperti Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Syamsuddin Haris, Harjono dan Tumpak Hatarongan Panggabean, tidak paham adanya pelemahan KPK ? Apakah mereka tidak sadar reputasi mereka sedang dijadikan legitimasi bagi pelemahan KPK ? atau memang mereka telah secara sadar menjual reputasi itu demi jabatan dan kekuasaan atau sekedar mendapat gaji sebagai anggota Dewan Pengawas KPK ?
Penulis tidak yakin jika itu yang terjadi, karena sosok Artidjo Alkostar dkk, bukanlah orang baru di dalam dunia perjuangan hukum. Namun untuk menghindari praduga publik, setelah nyata dalam pandangan publik bahwa KPK memang sengaja dilemahkan, sebaiknya tokoh-tokoh begawan hukum yang menjadi anggota dewan pengawas KPK ini mengundurkan diri.
Pengunduran diri ini penting untuk menjaga marwah, wibawa dan reputasi pribadi mereka. Sekaligus untuk mencegah rezim menggunakan reputasi mereka untuk melegitimasi pelemahan KPK.
Namun semua itu akhirnya juga berpulang pada nyali, tidak semua orang punya reputasi memiliki nyali. Tidak semua yang memiliki nyali berani mengeksekusi. [].
COMMENTS