Oleh : Nasrudin Joha Dia, adalah wanita yang dahulu telah kau pinang, telah kau nyatakan ikrar, telah kau ikat dengan ikatan '...
Oleh : Nasrudin Joha
Dia, adalah wanita yang dahulu telah kau pinang, telah kau nyatakan ikrar, telah kau ikat dengan ikatan 'Mitsaqon Ghaliza'. Engkau telah mengambil tanggung jawab atas dirinya dari keluarganya, untuk kau jadikan istri yang menyempurnakan agamamu.
Engkau memang pengemban dakwah, engkau memang telah berikrar bahwa diri dan hidupmu, ibadah dan matimu hanya untuk Tuhan semesta alam, Allah SWT. Namun, tetap saja ada hak istrimu atas dirimu, ada hak anakmu atas dirimu, dimana itu telah syara' wajibkan atasmu.
Dakwah tak menasakh kewajibamu memberinya nafkah, dakwah tak menegasikan kewajibamu untuk terus mencintainya, menyayanginya, terus merindu dan mengaguminya, sebagaimana perasaan itu mengharu biru saat pertama kali kau mengenal dan menikahinya.
Memang benar, mungkin paras istrimu tak secantik dahulu. Istrimu tak lagi hanya berfokus pada dirinya, tak hanya sibuk menghias wajah dan memperhatikan tubuhnya. Waktunya, kini nyaris habis untuk mengurusi dirimu dan anak-anakmu.
Namun tetap saja, ada hak dia atas dirimu, hak atas kasih sayangmu, hak atas kemesraan rumah tangga, hak atas kedudukan 'seorang putri' dihadapan suaminya. Meskipun dia menua, beranak pinak, dihadapanmu dia tetaplah istrimu, wanita yang dahulu kau puja yang selalu kau doakan agar menjadi pendamping hidupmu.
Sebenarnya, tidak hanya kecantikannya yang memudar, parasmu juga semakin menua. Namun ikatan cinta dalam rumah tangga itu bukan karena usia, bukan karena paras, tapi karena ketulusan untuk saling menunaikan kewajiban, kedekatan dan rasa karib atas dasar ikatan tali Allah. Junjunganmu, Rasulullah SAW telan mengajarkan, betapa beliau tetap menjadi suami romantis dihadapan istri-istri beliau, meskipun beliau pengemban dakwah yang tak pernah mengenal lelah.
Mengemban dakwah bukan berarti meninggalkan kewajiban terhadap keluarga. Selain hak nafkah, mereka juga berhak atas sosok suami dan ayah, yang menjadi pelengkap rumah tangga mereka.
Sesekali atau seringkali, cobalah untuk merayunya, memujinya, menyebut semua kebaikannya, dan bersyukur kepada Allah dihadapannya. Atas karunia Allah SWT telah menghadirkan dirinya sebagai istrimu.
Jangan indahkan kekurangannya, tapi terus perhatikan kebaikan dan pengorbanannya untukmu dan untuk anak-anakmu. Dia, telah rela meninggalkan masa lajang demi status sebagai ibu dan pengurus rumah, melayanimu dan mendidik anak-anakmu.
Dia, juga pelampias berahimu yang halal, tempatmu menjaga farji dan kehormatan. Karenanya, dia layak mendapat perhatian dan kehangatan, berhak atas pujian dan kasih sayang.
Wanita itu lebih menimbang rasa berdasarkan perasaan, sedangkan laki-laki kebanyakan bertindak berdasarkan logika. Karena itu, pahami dia sebagai wanita, dan perlakukanlah ia sebagai wanita.
Wanita pada umumnya lebih peduli terhadap rayuan, mereka tak memperhatikan apakah rayuan itu fakta atau Gombalan. Bahkan, mereka lebih bahagia mendengar gombal cinta ketimbang dihardik langsung meski atas dasar kesalahan.
Tidak percaya ? Setelah membaca tulisan ini segeralah temui istrimu. Katakan kepadanya, 'aku sangat mencintaimu istriku, Duhai bidadari pujaan hatiku'. Saya pastikan, hatinya akan berbunga mendengar rayuanmu.
Tapi ingat, jika engkau ditanya kenapa berkata seperti itu, jangan pernah katakan Nasrudin Joha yang menginspirasimu. Katakan saja, engkau telah menanam pohon cinta di sanubari atas istrimu, karena itu engkau berkehendak menyirami pohon cintamu agar terus tumbuh dan berbuah. Selamat mencoba. [].
COMMENTS