Oleh: KH Hafidz Abdurrahman Jika melihat masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini, seperti kata Mantan Wapres Jusuf Kalla...
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Jika melihat masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini, seperti kata Mantan Wapres Jusuf Kalla, adalah masalah ketidakadilan. Bukan Radikalisme. Masalah ketidakadilan di hadapan hukum, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam bahasa Rocky Gerung, Kabinet Maju ini jelas memenuhi kepentingan Oligarki.
Maka, alih-alih menyelesaikan masalah yang ada, justru membuat banyak masalah. Apa yang dinyatakan oleh Mantan Wapres memang benar, bahwa masalah Indonesia saat ini bukanlah Radikalisme. Tetapi, ketidakadilan. Mestinya inilah yang harus diselesaikan.
Umat Islam, sebagai mayoritas penduduk di negeri ini, justru terus dipinggirkan. Bahkan, dipojokkan, dituduh, dan sebagiannya telah dikriminalisasi. Bukan hanya umatnya, ajaran agamanya juga terus diserang. Setelah Khilafah, Bendera Tauhid, jihad, kini cadar, celana cingkrang, hingga pemisahan antara anak laki dan perempuan yang bukan mahram pun dipersoalkan. Ini adalah bukti, bahwa Islam dan umatnya sebagai pemegang saham terbesar di negeri ini diperlakukan tidak adil.
Bahkan, JK yang sudah berpengalaman menyelesaikan berbagai konflik di negeri ini, mulai dari Poso, Ambon, hingga Aceh, dengan tegas mengatakan, bahwa akar masalah dari semuanya itu adalah ketidakadilan. Pertanyaannya, jika masalahnya ketidakadilan, mengapa justru ini tidak diselesaikan? Lalu, ada apa di balik “genderang perang” melawan Radikalisme ini? Apakah ini yang disebut oleh Rocky Gerung, sebagai kepentingan Oligarki?
Pasca Reformasi 1998
Diakui atau tidak, umat Islam telah mengalami penindasan yang luar biasa, sejak Orde Lama hingga Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang, tahun 1998, umat Islam seolah mendapatkan udara segar. Sejak saat itu, tuntutan penerapan syariat Islam menggema di seantero negeri yang mayoritas Muslim ini. Bahkan, berbagai survey membuktikan terjadinya kenaikan yang luar biasa. Puncaknya, 2007, ketika umat Islam mengadakan perhelatan Konferensi Khilafah Internasional di GBK, Jakarta.
KKI 2007 ini menggetarkan singgasana penguasa, baik Muslim maupun non-Muslim di seluruh dunia. Tak lama, berselang, pernyataan dari berbagai pemimpin dunia muncul. Setelah itu, NIC mengeluarkan Prediksi akan kembalinya Khilafah tahun 2020. Pendek kata, ancaman Khilafah, sejak saat itu dianggap sebagai ancaman serius.
Arab Spring yang terjadi sejak 2011, yang menjalar di beberapa wilayah Timur Tengah, diikuti dengan Revolusi di Suriah, berhasil dimanfaatkan oleh Barat untuk menciptakan ISIS. Dimulai dari Irak, kemudian bermutasi di Suriah, ISIS yang sebenarnya fabricated itu dipakai untuk menciptakan monster tentang Khilafah. Terbukti, ISIS sudah tidak ada, tetapi hantu “Khilafah ISIS” terus digunakan untuk menakut-nakuti kaum Muslim tentang Khilafah. Padahal, hampir semua umat Islam tahu, bahwa ISIS bukan Khilafah, dan Khilafah bukan ISIS.
Khilafah sebenarnya sudah menjadi bagian dari Islam, dan sejarah umat Islam. Sejak Khilafah runtuh, 3 Maret 1924, memang umat Islam nyaris melupakannya. Karena Barat telah berhasil mensihir umat Islam dengan mantra “Nation State”, “Negara Demokrasi”, dan sebagainya. Sebaliknya, Khilafah distempel dengan stempel negatif, “The Sick Man”, dan sebagainya.
Tetapi, setelah berbagai krisis yang menimpa dunia Islam, dan dakwah Khilafah yang dilakukan siang malam, akhirnya Allah menyampaikan urusan-Nya, sampai pada tahapan seperti saat ini. Ketika semua orang, mulai dari pejabat hingga rakyat jelata, fasih bicara Khilafah, baik dengan konotasi positif maupun negatif. Para pengembannya pun tak hanya dari satu kelompok, sebut saja, Hizbut Tahrir, tetapi nyaris semua kelompok.
Meminjam istilah Ustadz Budi Azhari, “Ini memang sudah zamannya.” Siapa yang menyampaikan urusan ini sampai pada tahapan seperti ini? Bukan Hizbut Tahrir, tetapi Allah. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Sesungguhnya Allah Maha Menyampaikan urusan-Nya. Sungguh Allah telah menjadikan setiap sesuatu memiliki kadar ukurannya.” [Q.s. at-Thalaq: 03]
Ketika Khilafah telah menjadi opini umum di tengah umat, diikuti dengan kesadaran umum, yang ditandai dengan kesadaran akan kembalinya Fase Kelima, “Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah”, setelah Fase Keempat, “Mulkan Jabariyyan”, yang telah tumbuh di tengah umat Islam, khususnya di kalangan terdidik, dan perkotaan, sebagai pusat perubahan, maka inilah yang menciptakan ketakutan luar biasa.
Bukti kesadaran itu diikuti dengan maraknya semangat keberislaman, dan hijrah, yang diikuti dengan perubahan gaya hidup, seperti gerakan anti riba, anti pacaran, dan sebagainya. Semuanya ini jelas telah mengancam kepentingan kaum Kapitalis dan Komunis. Bahkan, ancaman itu semakin nyata, ketika umat Islam berhasil melakukan konsolidasi dalam acara 212, yang diikuti dengan Reuni 212, baik Reuni 1 maupun 2.
Dari sini, kita paham, siapa yang sesungguhnya terancam? Jelas Oligarki, atau negara penjajah, baik asing maupun aseng, yang ada di balik kekuasaan. Bagi Oligarki, Islam dan umatnya jelas merupakan “batu karang”, yang bisa menghancurkan kapal kekuasaan mereka. Karena itu, umat Islam harus dijadikan “tempe”, agar tidak mengancam kepentingan mereka.
Proyek Radikalisme dan Pertempean
Jelas ke mana arah Proyek Radikalisme ini. Proyek ini merupakan “Proyek Pertempean” umat Islam. Dengan kata lain, dengan Proyek Radikalisme ini, umat Islam yang menjadi batu karang ini hendak dijadikan tempe, agar tidak bisa menjadi penghalang yang akan mengancam kepentingan mereka untuk menguasai negeri ini. Tetapi, pertanyaannya, apakah mereka akan berhasil?
Sejarah membuktikan, bahwa serangan sedahsyat apapun tak akan bisa mengalahkan umat Islam, yang mempunyai akidah Islam yang luar biasa dahsyat. Bagaimana penduduk Syam, seperti Suriah, yang dibantai dari berbagai penjuru, hingga kini masih bisa bertahan. Penduduk Palestina, juga sama, bahkan selama puluhan tahun hidup di bawah pendudukan Yahudi, tetap tak bisa ditundukkan. Sejarah Indonesia, yang dijajah Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang hingga 350 tahun tetap tidak bisa ditundukkan.
Semua ini karena umat Islam mempunyai akidah Islam. Andai bukan umat Islam, pasti mereka sudah punah. Sejarah ini bukan sekali dua kali. Lihat, bagaimana pembantaian kaum Kristen Spanyol terhadap umat Islam di sana, begitu juga kejahatan rezim Komunis Uni Soviet terhadap umat Islam di wilayahnya. Semuanya tak bisa membumihanguskan Islam dan umatnya. Lihatlah, ketika Tatar membantai 1,5 juta jiwa di Baghdad, karena pengkhianatan Wazir al-Qumi, penganut Syiah fanatik, dan 35 tahun mereka menguasai umat Islam, nyatanya tak mampu mengalahkan umat Nabi Muhammad. Justru Tatarlah yang kemudian berbondong-bondong masuk Islam.
Itulah sejarah Islam dan umatnya. Karena itu, proyek-proyek seperti ini tidak akan pernah bisa mengalahkan Islam dan umatnya. Paling-paling hanya bisa memengulur-ulur waktu, memberikan nafas kepada mereka, yang sudah kehabisan nafas, untuk bisa mengulur waktu. Sementara Islam dan umatnya tetap tak terkalahkan. Begitu juga pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakukan oleh segelintir umat Islam tidak akan pernah bisa mengalahkan Islam dan umatnya. Begitulah sejarah Islam dan umatnya ini terjadi di masa lalu, kini dan yang akan datang.
Semuanya itu, karena Islam dijaga oleh Allah. Allah menjaga Islam dengan melahirkan generasi khaira ummah, generasi kesatria, yang luar biasa. Generasi ini selalu ada dalam sepanjang sejarah. Meski kelahirannya tidak dengan sendirinya, tetapi harus dilahirkan. Tetapi, mereka selalu ada dalam setiap sejarah kebangkitan, kemenangan dan kejayaan Islam.
Jika generasi Shalahuddin al-Ayyubi lahir dari Madrasah Nidzamiyah yang dibangun oleh Hujatu al-Islam al-Imam al-Ghazali, kemudian diteruskan oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani, maka begitu juga generasi Muhammad al-Fatih lahir dari Madrasah ‘Aq Syamsudin dan Ahmad al-Qurani.
Dari sini kita paham, mengapa Proyek Deradikalisasi, yang tak lain adalah Proyek Sekularisasi Radikal, atau Proyek Pertempean, itu diikuti dengan Kriminalisasi Ulama’? Karena, ulama’ adalah mesin yang akan menggerakkan, dan mencetak generasi-generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih berikutnya.
Mereka bukan ulama’ biasa, tetapi ulama’ Rabbani. Ulama’ yang mempunyai kesadaran politik, karena tanggungjawabnya kepada Allah, Rasul dan kaum Mukmin.
Ya Rabb, lindungilah agama-Mu!
Ya Rabb, jaga dan lindungilah para ulama’ pewaris Nabi-Mu!
Ya Rabb, selamatkanlah umat Nabi-Mu!
Hanya Engkau yang Kami Punya!
Hanya kepada-Mu, tempat kami berserah diri!
COMMENTS