Ternyata Uang Trilyunan dan 31Ribu Pasukan Itu Tetap Tak Mampu Menghalau Bau Kotoran, Bau Septik Tank, Bau Kecurangan dan Dosa Kita Se...
Ternyata Uang Trilyunan dan 31Ribu Pasukan Itu Tetap Tak Mampu Menghalau Bau Kotoran, Bau Septik Tank, Bau Kecurangan dan Dosa Kita Semua..
Oleh: A R
Awak media di media centre DPR
20 Oktober 2019
-------
Saya baru tergerak untuk buat tulisan pribadi ini dari sekian puzzle peristiwa menjelang pelantikan presiden 20 Oktober kemarin. Ini diary jurnalistik murni dan bebas saya diluar briefing atasan dan pemilik media saya bekerja.
Mendadak pagi itu ruang media center dapat kiriman rembesan air, entah dari atas, samping, atau pojok tiba2 bau amat busuk menyeruak ke ruangan tempat atau base kami meliput. Bau itu bercampur pesing dan busuk khas septik tank yang baru meledak. Karena ruangan kecil dan sirkulasi udara kurang, ditambah sesaknya manusia di dalamnya, baunya dengan cepat melebar sampai ke koridor dan bahkan tangga. Teman2 media wanita ada yg pusing dan ingin muntah, mereka tak tahan. _Mood jadi ilang_
Saya saat itu tak teringat kaitan apa apa dengan peristiwa sensasi lainnya, karena bagi saya itu asumsi dan berbau politis, ramainya netizen yang bahas akan hadirnya pasukan jin, roro kidul, blorong, leak, gendruwo dkk di DPR. Saya tak begitu percaya tahayul, tapi masih percaya semua kejadian sekecil apa pun tidak ada yang kebetulan. _Alam semesta ini sebuah sistem utuh dan berkaitan_
Tugas peliputan pun sore selesai, kami para awak media akhirnya bisa keluar dari ruangan yg dirasuki bau busuk dan kembali hirup udara segar, kami ngopi sambil pre editing di luar. Dari perbincangan semua puzzle peristiwa itu mulai tersambung. Teman teman setuju pelantikan presiden kali ini feelnya sangat beda, banyak keganjilan, keanehan, tidak natural, terlalu tertekan, muram, tegang dan ada aura paranoid yang berlebihan. Diantara mereka ada yg senior dan sudah beberapa kali meliput pelantikan presiden sejak dari Gusdur sampai Jokowi di 2014 membenarkan itu.
Saya, kami melihat kenapa bau busuk itu ada di media center, ini bukan kebetulan. Kenapa? Pikiran saya mulai diajak kembali ke penyelenggaraan pemilu dari awal. Kita akui, memang banyak fakta dan temuan adanya pelanggaran serius pemilu, maaf saya harus jujur, terutama oleh kubu penguasa. Ketidaknetralan yang amat kentara dimulai dari penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat, oknum aparat, tentu bahkan oleh para media sendiri.
Politik uang sangat masif di pemilu kali ini, pilleg dipenuhi permainan uang dan kolusi, pilpres entah apalagi, semua juga tahu, dan anehnya tidak ada yang ditindak serius spt pemilu pemilu lalu, kenapa? Adakah yang lebih parah untuk ditutupi dari sekedar bagi2 amplop oleh caleg? Yang pasti kami juga mendapat briefing dan mungkin soft pressure dari atasan bahwa media punya misi politis dan kelangsungan hidup kami atas kemenangan incumbent. Kami harus selalu meliput hal positif tentang incumbent, dan mengurangi porsi berita untuk penantang, komposisinya 80:20. 20 persen pemberitaan ttg penantang juga mesti lewat redaksi yang ketat, semua kalimat harus dicek, hasilnya headline dan content liputan sering tak serasi, tendensius dan subjektif. Mau protes kita dipelototin, sementara publik pembaca bukan lagi orang awam politik, beda dari 2014 _Pusing_
Kami mengerti media hari ini tak bisa hidup lagi dari iklan, karena iklan di sosmed sudah makin kuat meroket memakan market iklan. Coba anda hitung, untuk bisa pasang banner iklan di portal berita kami, produsen harus bayar belasan hingga puluhan juta dgn jam tayang terbatas. Kalau mereka pasang di medsos misal instagram, youtube, facebook dll mereka hanya perlu bayar 5-10 rupiah per tampilan dan itu bisa diatur pemirsanya mulai dari jenis kelamin, usia, profesi bahkan minat dan tak ada batasan waktu. Sementara iklan di portal media digital apalagi cetak tidak bisa.
Jaman ini jaman susah, jangankan hidup media berita, konsultan advertising saja sudah lama berdarah darah karena lebih efektif dan tepat sasarannya iklan di sosmed karena sistem big datanya makin kuat saja, yang masih hidup mungkin para pembuat materi iklan, rumah produksi, rumah grafis dan audio visual, mereka juga ketat bersaing dan perang banting2an harga _untuk tetap hidup kami pihak media harus ambil uang dari propaganda politik_
Kembali ke pemilu, kami awak media juga dapat briefing, temuan apa pun tentang proses pemilu, misal kecurangan, pelanggaran apa pun baik oleh kedua tim capres dan caleg partai apa pun tidak boleh (terlalu) diberitakan. Lho kenapa kedua capres? Kenapa semua partai..? Sekarang saya baru mengerti, jika kedua kubu mencuri ikan, maka kalau yang nyuri sedikit diliput yang kena sorot juga akhirnya dan akan paling banyak rugi tentu yang nyurinya terbanyak, make sense!. Point utamanya jangan beritakan kecurangan apa pun, money politic, tekanan pejabat, oknum aparat, pengalihan suara, perusakan data apa pun oleh kubu siapa pun kecuali terpaksa dan ditayang sekejap saja.
Sampai protes ke KPU Bawaslu MK kami juga dianjurkan tidak liput, kalau pun ada, kembali, cuma 'absen' di lapangan dan kalau turun redaksionalnya harus sesuai 'misi'. _Peristiwa mati dan tumbangnya kebebasan berpendapat dan demokrasi di negri ini oleh kolusi dan oligarki kami adalah bagian dari pelaku dan saksinya_
Itulah bau busuk yang harus ditutupi oleh semua pihak, tugas itu disuka atau tidak, apalagi kami awak media, kami harus menutup, membungkus rapat bau apa pun itu, jangankan bau kotoran, bau septik tank penuh kecurangan, bau darah dan mayat terbakar saja kami tidak diizinkan lagi untuk bebas beritakan. Semua berita harus positif, alibi moralnya kita jurnalistik adalah pengemban stabilitas politik, jurnalistik mau tak mau, doyan atau tak doyan harus berpihak ke pemberi honor kalau masih ingin hidup, naluri jurnalistik yang dulu merdeka, kebenaran, objektivitas dan kemanusiaan diatas segalanya, di era liberal ini justru harus jadi alat propaganda penguasa dan lingkarannya demi bertahan dan tetap bisa makan. _miris_
Peristiwa Bau Septik Tank di media center DPR di 20 Oktober adalah seolah puncak segala peristiwa bagi kami (yang hati murni jurnalistiknya masih hidup walau makin lemah) di pemilu kali ini. Sekali lagi, Tidak ada yang kebetulan di alam ini, tak berdayanya kami dengan bau busuk menyengat kemarin adalah perlambang tak berdayanya spesies manusia, sekuat apa pun sistem yang dia telah bangun, berapa pun kekuatan modal yang dipunya, sekuat apa pun pejabat, aparat dan ribuan pasukan yang disiagakan. Jika hukum alam yang ingin dilawan, ingin dimanipulasi, hukum fisika, hukum aksi reaksi, hukum kimia, hukum sebab akibat, hukum matematis, tidak ada satupun yang akan bisa melawannya terus menerus. Satu saat semua akan berbicara dan bersaksi juga. _Saya sudah!_
20 Okt 2019
Kopi magrib belakang kompleks DPR RI
COMMENTS