Oleh : Nasrudin Joha Isu Kongres Luar Biasa (KLB) menimpa Demokrat. Sejumlah 'Begawan Demokrat' yang mengatasnamakan Gerakan ...
Oleh : Nasrudin Joha
Isu Kongres Luar Biasa (KLB) menimpa Demokrat. Sejumlah 'Begawan Demokrat' yang mengatasnamakan Gerakan Moral Penyelamat Partai Demokrat (GMPPD), menyulut Api KLB.
Hanya saja, para begawan ini masih taklid pada karakter atasannya (baca: SBY), para begawan ini tidak terbuka dan tegas meminta KLB. Namun, mereka jelas mengunggah isu KLB ini secara sengaja.
Soal suara Demokrat yang melorot tajam, soal hubungan koalisi dengan Prabowo Sandi, soal statement partai yang liar terkait wacana 'bubar koalisi' dijadikan pemicunya. Seperti hendak 'testing the water', para Begawan Demokrat ini ingin menguji kedigdayaan SBY selaku pemilik saham mayoritas Demokrat.
Tentu saja, isu ini akan surut. Jika tdk beruntung, boleh jadi isu ini dianggap memicu kisruh Demokrat dan berujung pemecatan para begawan partai. Sepertinya, para begawan ini meskipun berada di Demokrat belum sepenuhnya paham bahwa Demokrat itu SBY, SBY itu Demokrat.
Sebagai pemegang saham pengendali, SBY berhak dan memiliki wewenang penuh untuk menentukan hitam putihnya kebijakan partai. Yang lain boleh bersuara, tetapi voting otoritas tetap berada di SBY.
Jika tidak suka SBY ya silahkan keluar dari Demokrat, bukan 'memaksa' SBY tunduk pada 'mekanisme' partai. Mekanisme itu hanya alat legitimasi, otoritas tetap ada di pribadi SBY.
Para begawan ini sudah melihat, riak akibat pernyataan yang jelas merepresentasikan suara SBY. Saran saya, segera merapat atau meminta maaf. Jika tidak, khawatir di 'Anas Ibraningrum' kan.
Jika PDIP itu mega, mega itu PDIP maka Demokrat itu SBY. Tak perlu komplain, suka silahkan bergabung. Tak suka silahkan bikin partai sendiri.
Miris sekali nasib Demokrat. Saat suara partai nyungsep, saat konstelasi koalisi membuat Demokrat teralienasi Karena sikap inkonsistensi, kini friksi internal mengancam soliditas partai.
Meskipun ini riak kecil dan pasti dapat segera dikendalikan, namun problem ini mengganggu konsens Demokrat menghadapi dinamika politik pasca pemilu. Jelas, dengan suara yang kecil Demokrat tak mampu 'berkacak pinggang' dalam membangun hubungan politik untuk mengajukan proposal koalisi.
Apalagi jika friksi ini meluas, mitra politik akan menganggap Demokrat tak signifikan dalam memperkuat koalisi. Ada atau tiadanya Demokrat tidak ngaruh. Boleh jadi, dengan bergabungnya Demokrat justru bukan hanya memicu friksi internal Demokrat, boleh jadi juga akan memicu friksi koalisi Jokowi yang sudah nyaman berbagi peran dan kepentingan. [].
COMMENTS