PERAN GURU MEMBENTUK GENERASI SEKALIGUS MEWUJUDKAN KELUARGA HARMONIS
PERAN GURU MEMBENTUK GENERASI SEKALIGUS MEWUJUDKAN KELUARGA HARMONIS
Oleh: Siti Khadijah (Guru SDIT)
Guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun di balik kemuliaan itu, banyak guru justru menjalani hidup penuh tekanan, beban kerja yang menumpuk, gaji yang jauh dari layak, serta lingkungan kerja yang tidak selalu mendukung. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah guru masih bisa benar-benar bahagia. Dan jika kebahagiaan itu hilang, bagaimana nasib generasi yang mereka didik.
Sering kali kebahagiaan guru diukur dari status kepegawaian, besarnya gaji, atau fasilitas kerja yang mereka terima. Padahal, hakikat kebahagiaan tidak hanya ditentukan oleh faktor materi, tetapi oleh makna dan tujuan hidup yang dijalani. Guru yang sekadar memandang profesinya sebagai pekerjaan akan mudah lelah dan kehilangan semangat, sementara mereka yang melihatnya sebagai amanah akan tetap teguh meski dalam keterbatasan.
Realitas di lapangan memperlihatkan wajah getir kehidupan guru. Riset Kemdikbud tahun 2023 menunjukkan 82 persen waktu guru justru habis untuk administrasi, bukan mengajar. Survei IDEAS pada 2024 mencatat 42 persen guru berpenghasilan di bawah dua juta rupiah, bahkan 13 persen di antaranya di bawah lima ratus ribu rupiah per bulan. Banyak guru honorer akhirnya mencari pekerjaan sampingan, mulai dari mengojek, berjualan, hingga kerja serabutan, yang membuat fokus mereka pada pendidikan generasi terpecah. Tidak heran bila tekanan hidup ini berdampak pada kualitas pengajaran sekaligus keharmonisan keluarga.
Jika ditelusuri lebih dalam, masalah ini bukan sekadar soal kebijakan teknis, tetapi lahir dari paradigma sistem kehidupan yang berlaku. Kapitalisme mengajarkan bahwa bahagia identik dengan kepemilikan materi. Sekularisme menyingkirkan agama dari ruang publik, termasuk pendidikan, sehingga guru kehilangan visi spiritual dalam profesinya. Wajar bila kebahagiaan kini sering diukur dari gaji, status kepegawaian, atau tunjangan. Padahal Islam menegaskan bahwa standar bahagia adalah ridha Allah, bukan harta atau kedudukan. Al-Qur’an menggambarkan kebahagiaan sejati dimiliki oleh orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, menunaikan zakat, menjaga amanah, serta taat kepada syariat-Nya.
Di sinilah Islam menawarkan paradigma yang berbeda. Guru bukan sekadar pekerja, tetapi pelanjut misi kenabian dalam mendidik generasi. Standar perbuatannya bukan manfaat, melainkan halal dan haram. Tujuan hidup bukan mengejar materi, melainkan ibadah kepada Allah dan menjalankan amanah kekhalifahan di bumi. Dengan sistem Islam, guru tidak hanya mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan yang layak, tetapi juga dukungan moral dan spiritual untuk menjalankan perannya melahirkan generasi terbaik umat.
Bahagia bagi guru dengan demikian bukan sekadar soal gaji atau status, melainkan ketika profesi itu dijalani sebagai ibadah. Kesejahteraan tetap penting, tetapi lebih dari itu, guru membutuhkan sistem yang memuliakan perannya, menempatkan agama sebagai standar kehidupan, dan menjadikan pendidikan sebagai jalan melahirkan generasi bertakwa. Inilah jalan agar guru tetap bahagia dan generasi terdidik menuju kebahagiaan hakiki, yaitu ridha Allah SWT.
Menjadi guru adalah kemuliaan, bukan sekadar profesi. Guru tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga membentuk akhlak, membina keluarga, serta melahirkan generasi yang siap mengemban tanggung jawab besar di tengah umat. Akan tetapi, di tengah realitas hari ini, kebahagiaan guru sering kali dipersempit pada ukuran materi: gaji, status kepegawaian, atau fasilitas kerja. Pandangan semacam ini melahirkan rasa kecewa yang berkepanjangan. Padahal, bahagia sejati lahir dari ketaatan kepada Allah, dari kesadaran bahwa hidup ini sementara, dan seluruh amal akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Fakta di lapangan menunjukkan kondisi guru yang jauh dari ideal. Riset Kementerian Pendidikan tahun 2023 menemukan bahwa 82 persen waktu guru tersita untuk urusan administratif, bukan mengajar. Data Persatuan Guru Republik Indonesia tahun 2024 mencatat banyak guru di sekolah kecil harus mengampu tiga hingga lima mata pelajaran sekaligus, sehingga memicu stres kronis dan hilangnya semangat. Dari sisi kesejahteraan, survei Kompas 2024 menyebut gaji guru honorer hanya berkisar Rp300.000 hingga Rp1.500.000 per bulan, jauh di bawah upah minimum regional. Ombudsman 2023 menambahkan bahwa hanya 18 persen guru yang menerima tunjangan sertifikasi dengan lancar. Tidak sedikit guru akhirnya terpaksa bekerja sampingan sebagai ojek atau pedagang, yang membuat fokus mereka pada pendidikan generasi terganggu.
Lingkungan kerja yang tidak kondusif menambah beban. Survei Federasi Guru Independen 2023 menunjukkan masih banyak sekolah dengan pola kepemimpinan otoriter, minim dialog, dan kaku dalam struktur. Diskriminasi antara guru honorer dan aparatur sipil negara juga masih terjadi, baik dalam fasilitas maupun kesempatan pengembangan karier. Tekanan ekonomi dan beban kerja ini pun berimbas pada keluarga, terlihat dari tingginya angka perceraian yang salah satunya disebabkan oleh lemahnya ketahanan rumah tangga dalam menghadapi kesempitan hidup.
Jika ditelusuri lebih dalam, akar masalah ini bersumber pada sistem kehidupan kapitalisme. Kapitalisme menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan, sekularisme menyingkirkan agama dari kehidupan, dan feminisme menempatkan relasi keluarga dalam bingkai persaingan, bukan harmoni. Tidak heran bila dalam pandangan kapitalisme, bahagia menjadi barang langka hingga perlu ditandai dengan “Hari Kebahagiaan Internasional” bertema Self Love: Gain My Own Happiness. Pandangan ini bertolak belakang dengan Islam yang menempatkan ridha Allah sebagai standar bahagia.
Al-Qur’an telah menegaskan:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلٰو تِهِمْ خَاشِعُوْنَ , وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكٰوةِ فَاعِلُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ ۙ اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعٰدُوْنَ ۚ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ ۘ . اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوَارِثُوْنَ ۙ
(QS. Al-Mu’minun: 1–9).
Ayat ini menggambarkan enam ciri orang yang berbahagia: khusyuk dalam salat, menjauh dari hal sia-sia, menunaikan zakat, menjaga kehormatan diri, menepati amanah, serta memelihara salat. Inilah standar kebahagiaan yang hakiki. Sebagaimana firman-Nya pula:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
(QS. Adz-Dzariyat: 56).
Artinya, seluruh amal perbuatan, termasuk profesi guru, harus ditempatkan sebagai bagian dari ibadah, yakni terikat dengan hukum syara.
Dalam kerangka inilah mencari materi bukan sesuatu yang tercela. Islam tidak menolak kesejahteraan, bahkan mendorong manusia untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Namun, yang membedakan adalah standar dan tujuannya. Harta, gaji, dan fasilitas tetap penting untuk dimaksimalkan, tetapi semua harus dicapai dengan cara yang halal dan digunakan untuk menunjang ketaatan kepada Allah. Dengan begitu, profesi guru tetap berada dalam bingkai ibadah: mengajar sebagai amal saleh, mencari nafkah sebagai kewajiban, dan mendidik generasi sebagai amanah besar yang kelak dimintai pertanggungjawaban.
Maka, jalan keluar tidak bisa hanya berupa peningkatan gaji atau pengurangan beban administratif, meski hal itu tetap penting. Solusi sejati adalah mengembalikan seluruh aktivitas guru dalam koridor syariat, menjadikan halal dan haram sebagai tolok ukur, serta menempatkan ridha Allah sebagai standar bahagia. Guru harus melihat dirinya bukan sekadar pekerja pendidikan, tetapi pendidik peradaban. Keluarga guru pun harus berfungsi sebagai benteng umat yang melahirkan anak-anak bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi.
Jika kesadaran ini tertanam, guru akan lebih tabah menghadapi beratnya beban kerja, lebih ikhlas dalam keterbatasan, dan lebih tekun dalam menunaikan amanahnya. Ia tidak lagi terjebak pada sempitnya ukuran kapitalistik, melainkan bergerak dalam bingkai ibadah. Dengan begitu, kebahagiaan sejati dapat diraih: bahagia karena materi halal yang cukup, bahagia karena amal yang sahih, dan bahagia karena ridha Allah yang menjadi tujuan akhir.
Wallahu alam bishowab

COMMENTS