kurikulum Pendidikan Agama
Kurikulum Berbasis Cinta, Ancaman Halus bagi Aqidah?
Oleh: Dea Nusaibah (Aktivis Remaja PPU)
Menteri Agama Nasaruddin Umar memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai solusi untuk memperkuat pendidikan inklusif, moderasi beragama, dan perlindungan hak-hak minoritas di Asia.
Menurut Menag, Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar teori, melainkan praktik sehari-hari yang ditopang oleh empati, belas kasih, dan rasa hormat. “Untuk benar-benar mencintai Tuhan, seharusnya juga mencintai manusia. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk takut, tetapi peluang untuk saling belajar,” jelasnya. Ia mencontohkan implementasi Kurikulum Berbasis Cinta yang diwujudkan di Masjid Istiqlal, di antaranya pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral Jakarta. (Kemenag, 17 September 2025).
Ia menekankan bahwa pendidikan berbasis kasih sayang adalah alat terkuat untuk perubahan. Melalui Kurikulum Berbasis Cinta, generasi muda dididik untuk melihat kemanusiaan dalam diri orang lain, menolak potensi kekerasan, dan tumbuh menjadi warga yang melindungi hak semua orang, termasuk kelompok rentan.
“Melindungi kebebasan beragama bukan hanya kewajiban konstitusional, tetapi juga tugas spiritual. Setiap tindakan toleransi, setiap penghormatan atas hak asasi manusia, adalah refleksi kasih sayang kita kepada Tuhan,” tutur Menag.
Panca Cinta
Sebagaimana yang dikutip dari Republika.co.id (26/6), Kurikulum Berbasis Cinta dibangun di atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yaitu:
1. Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Cinta kepada diri dan sesama
3. Cinta kepada ilmu pengetahuan
4. Cinta kepada lingkungan
5. Cinta kepada bangsa dan negeri.
Kelima nilai tersebut akan diterapkan ke dalam keseluruhan kurikulum, tidak terbatas hanya pada pelajaran agama. Kurikulum ini diyakini memberikan dampak positif bagi perkembangan peserta didik selain membentuk generasi yang toleran dan terbuka.
Dari namanya, sekilas kurikulum cinta ini seolah menawarkan ide yang sangat bagus, hanya dengan konsep cinta yang universal seperti itu. Tapi benarkah demikian?
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru Pendidikan Islam yang pada dasarnya bagian program moderasi beragama. Pergantian nama kurikulum menunjukkan lemahnya kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini berpotensi memutarbalikkan konsep cinta yang seharusnya dipahami oleh generasi Muslim.
Kurikulum ini juga mengajarkan generasi Muslim bersikap keras hati terhadap sesama Muslim. Mereka yang hendak menerapkan Islam secara menyeluruh diberi label radikal dan ekstrim.
Sementara itu, terhadap non-Muslim, mereka diperlakukan dengan penuh hormat, kelembutan, kesantunan, dan kepatuhan atas nama menjaga perdamaian, meskipun ada menghina Syariat Islam. Rumah ibadahnya dijaga, bahkan ikut merayakan hari raya bersama-sama.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kurikulum cinta ini berlandaskan sekularisme. Kurikulum ini menjauhkan generasi dari aturan agama dan menjadikan akal sebagai sumber hukum dan penentu segalanya.
Solusi Islam Terhadap Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)
Dalam Islam, cinta harus berlandaskan iman, sedangkan kebencian didasarkan pada kekufuran. Cinta universal yang ditawarkan KBC dikhawatirkan menumbuhkan paham pluralisme (semua agama sama), relativisme (benar-salah, baik-buruk, itu relatif), dan sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan), sehingga melemahkan kemurnian akidah. Konsep moderasi beragama di dalamnya juga dianggap mendorong toleransi berlebihan yang menjauhkan Muslim dari identitas sejatinya.
Ibnu Mas'ud, meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Wahai Abdullah bin Mas'ud!” Ibnu Mas'ud berkata, "Ada apa Ya Rasulullah” (ia mengatakan tiga kali). Rasulullah bertanya, "Apakah engkau tahu, tali keimanan manakah yang paling kuat?" Aku berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Rasulullah bersabda, "Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah, dengan mencintai dan membenci (segala sesuatu) hanya karena-Nya." (HR. al Hakim dalam al Mustadrak
Islam tidak hanya sebagai agama ruhiah tetapi Islam merupakan pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur’an. Islam menegaskan bahwa kurikulum harus berlandaskan akidah Islam, dengan tujuan utama membentuk kepribadian Islami: pola pikir (aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah). Kurikulum harus disusun dan dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Pendidikan diarahkan untuk menyiapkan anak-anak Muslim agar diantara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli dalam setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman seperti ijtihad, fiqih, peradilan, dan lain-lain, maupun ilmu-ilmu terapan seperti teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan sebagainya.
Akidah adalah asas kehidupan setiap Muslim, termasuk asas negara Islam. Dengan tujuan kurikulum pendidikan yang demikian, Negara mampu menjalankan kewajiban menjaga akidah generasi. Bila akidah generasi kuat, maka mereka akan taat secara totalitas kepada syariat Allah. Sehingga mempu menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupannya.
Generasi tersebut juga dapat memahami dan menjauhkan diri dari pemikiran yang menyesatkan akidah, seperti ide moderasi beragama. Namun kurikulum demikian tidak akan dapat diterapkan, kecuali dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah, yaitu Daulah Khilafah.

COMMENTS