Islam Solusi Dari Jerat Korupsi
Islam Solusi Dari Jerat Korupsi
Oleh : Anindya Vierdiana
Kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara kembali mencoreng wajah bangsa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya manipulasi dalam sistem e-katalog pengadaan barang dan jasa. Alih-alih menjadi sistem yang transparan, e-katalog justru masih menyisakan celah untuk penyelewengan. Lima orang, termasuk pejabat Dinas PUPR dan pihak swasta, telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga terlibat dalam praktik suap demi memenangkan proyek senilai lebih dari Rp231 miliar. Sejumlah uang tunai turut disita sebagai barang bukti.
Sayangnya, ini bukanlah kasus pertama, dan bukan pula yang terakhir. Korupsi sudah menjadi penyakit kronis di negeri ini. Meski berbagai lembaga anti-korupsi telah dibentuk dan regulasi diperketat, praktik korupsi tetap berulang. Maka, penting untuk menelisik akar persoalan mengapa korupsi begitu sulit diberantas.
Sekularisme: Sumber Krisis Moral
Salah satu sebab mendasar sulitnya memberantas korupsi adalah sekularisme, ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, nilai moral dan agama tidak lagi menjadi rujukan utama dalam bertindak. Akibatnya, banyak pejabat dan individu yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi ketimbang integritas dan amanah. Masyarakat pun menjadi semakin individualis, materialistis, dan minim kontrol moral.
Politik Transaksional dalam Demokrasi Sekuler
Sistem demokrasi yang kita anut meniscayakan biaya politik yang mahal. Untuk maju dalam pemilu, calon pejabat memerlukan dana besar yang seringkali berasal dari para cukong politik. Setelah duduk di kursi kekuasaan, balas jasa menjadi praktik lumrah. Ini membuka jalan lebar bagi kolusi, suap, dan korupsi demi mengembalikan “modal politik”.
Kondisi ini makin parah karena jabatan dalam sistem ini seringkali dianggap sebagai jalan untuk memperkaya diri, bukan sebagai amanah untuk mengurus rakyat. Maka, tak mengherankan jika praktik jual-beli jabatan, proyek siluman, hingga penyalahgunaan anggaran menjadi hal yang biasa.
Lemahnya Hukuman: Tidak Ada Efek Jera
Lemahnya sanksi juga menjadi penyebab utama kenapa korupsi sulit diberantas. Rata-rata hukuman bagi koruptor hanya dua tahun penjara, bahkan tak sedikit yang mendapat keringanan atau remisi. Penjara mewah, perlakuan istimewa, hingga vonis ringan membuat korupsi seakan tidak menakutkan lagi. Alih-alih memberi efek jera, sistem hukum yang lemah justru memberi ruang nyaman bagi pelaku korupsi.
Islam Menawarkan Solusi Sistemik
Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh (syamil dan kaffah), menawarkan solusi yang tidak hanya menyentuh permukaan tetapi menyasar akar masalah korupsi.
Pertama, Islam menjadikan akidah sebagai pondasi perilaku. Seorang Muslim yang meyakini bahwa Allah Maha Melihat akan berhati-hati dalam setiap perbuatannya. Ketika iman tertanam kuat, akan muncul rasa takut kepada azab Allah jika melakukan kecurangan atau pengkhianatan.
Kedua, sistem pemerintahan dalam Islam menjadikan penguasa sebagai pelayan umat, bukan penguasa atas rakyat. Pemimpin adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyejahterakan rakyat dan menghindarkan mereka dari kemungkaran. Dalam sistem Khilafah, jabatan bukan diperebutkan melalui biaya mahal, tapi diangkat berdasarkan kapasitas, amanah, dan kepercayaan umat.
Ketiga, sanksi dalam Islam sangat menjerakan. Korupsi termasuk dalam kategori takzir, dan hukuman disesuaikan dengan tingkat bahayanya terhadap masyarakat. Khalifah Umar bin Khattab pernah menerapkan sanksi berat, termasuk penyitaan harta, pengumuman publik (tasyhir), bahkan hukuman mati jika korupsi menimbulkan kerugian besar bagi umat.
Korupsi adalah buah dari sistem yang rusak. Selama sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan masih dijadikan dasar, maka korupsi akan terus beranak pinak. Hanya dengan sistem Islam yang kaffah, di mana aturan Allah diterapkan secara menyeluruh, korupsi bisa diberantas dari akarnya. Inilah solusi hakiki yang ditawarkan Islam, tidak sekadar tambal sulam, tetapi menyeluruh dan fundamental.
Wallahu a'lam bish-shawab.

COMMENTS