Realita Politik "Suriah Baru" Jawaban atas Narasi Wawancara Jaulani
Realita Politik "Suriah Baru" Jawaban atas Narasi Wawancara Jaulani
Oleh: [Analis trenopini - Geopolitik]
Baru-baru ini muncul sebuah artikel wawancara yang diklaim dilakukan oleh jurnalis Yahudi terhadap presiden baru Suriah, Ahmad Al-Syara' (https://jewishjournal.com/commentary/opinion/381746/a-conversation-with-president-ahmed-al-sharaa-syrias-journey-beyond-the-ruins/)
Wawancara tersebut dibungkus dengan gaya yang emosional, elegan, dan naratif, penuh dengan kata-kata yang menyanjung kesederhanaan, visi damai, serta janji rekonsiliasi.
Namun, di balik gaya bahasa yang memesona, kita perlu mengajukan satu pertanyaan krusial:
Apakah narasi tersebut dapat dibenarkan dalam perspektif fiqih politik Islam?
Mari kita telaah, bukan dengan kacamata emosi, tapi dengan timbangan Siyasah Islam.
1. Rekonsiliasi yang Tak Mengenal Haram
Al-Syara' menawarkan pendekatan pluralistik: menyatukan sekuler, suku, agama, oposisi, bahkan mengundang pihak Yahudi dan Amerika ke dalam proses rekonstruksi nasional. Ia mengatakan ingin membangun “Suriah baru” yang terbuka dan multikultural.
Sekilas, ini terdengar seperti langkah visioner. Namun dalam fiqih politik Islam, rekonsiliasi tidak boleh mencampuradukkan haq dan batil.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batil dan kamu sembunyikan yang haq, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)
Pluralisme ala demokrasi yang menyamakan semua nilai dan suara, bukanlah solusi dalam Islam, melainkan jalan menuju hilangnya identitas umat. Islam tidak memaksa non-Muslim masuk Islam, namun sistem Islam tidak membuka peluang untuk ideologi kufur ikut mengatur masyarakat.
2. Normalisasi dengan IsraeI adalah Kekalahan Ideologis
Dalam wawancara tersebut, Al-Syara’ menyebut perlunya “menahan diri” terhadap IsraeI, bahkan ingin menjadikan Perjanjian Pemisahan 1974 sebagai basis untuk “keamanan regional.” Ia mengaku tidak akan menegosiasikan nyawa warga Druze, tapi diam seribu bahasa soal nyawa umat Islam Palestina.
Pernyataan ini mengkhianati darah para syuhada. Menganggap bahwa IsraeI bisa diajak berdamai adalah bentuk kekalahan ideologis, bukan kemenangan diplomatik.
Palestina bukan sekadar konflik geopolitik. Itu adalah tanah wakaf umat Islam, tanah yang disucikan, yang wajib dibebaskan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Satu jengkal tanah kaum Muslimin yang dirampas, maka membelanya lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Ahmad)
3. Menerima Campur Tangan AS = Menyerahkan Kedaulatan
Presiden Suriah baru ini bahkan menyebut nama Donald Trump dengan penuh harap, sebagai perantara damai dan “satu-satunya orang yang mampu memperbaiki kawasan.”
Ironis. Seorang pemimpin Muslim berharap kepada sosok yang tangannya berlumuran darah umat Islam, termasuk melalui dukungan terhadap penjajahan IsraeI.
Dalam Islam, kedaulatan bukan milik rakyat atau PBB, tapi milik syariat. Maka menyerahkan masa depan umat kepada institusi-institusi kufur internasional adalah bentuk kejahatan politik.
“Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (terjemah QS. Al-Ma'idah: 44)
4. Pemimpin Baik Bukan Berarti Pemimpin Sah
Narasi dalam artikel itu menonjolkan kesederhanaan Al-Syara', kepeduliannya terhadap rakyat, dan semangat perbaikannya. Tapi kita tidak tertipu oleh casing.
Dalam Islam, legitimasi kepemimpinan bukan dinilai dari moral pribadi, tapi dari sistem yang diterapkan. Bila sistemnya sekuler, maka sebaik apa pun pemimpinnya, tetap thaghut dalam pandangan syariat.
Bukan kebetulan jika para sahabat dan tabi’in dahulu tidak pernah menerima pemimpin yang tidak menerapkan hukum Allah. Bahkan Umar bin Khattab sekalipun, sosok paling adil setelah Nabi ﷺ diancam akan diluruskan dengan pedang jika menyimpang.
Kesimpulan: Jangan Tertipu "Narasi Damai"
Suriah boleh berubah wajah. Tapi jika Islam tidak menjadi landasan politik, maka perubahan itu hanya kosmetik. Kita tidak butuh "pemulih" yang membungkus sekularisme dengan retorika islami. Kita butuh pemimpin yang menjadikan Islam sebagai ideologi, hukum, dan sistem hidup, yang itu semua bisa diaplikasikan dengan tegaknya Khilafah ala Minhaj an-Nubuwwah.
Maka penegakan Khilafah ini sangat urgent, karena :
→ Solusi tuntas bukan hanya bagi Suriah, tapi seluruh negeri kaum Muslimin.
→ Bukan pluralisme, tapi keadilan Islam.
→ Bukan demokrasi, tapi syura dalam bingkai syariat.
→ Bukan rekonsiliasi dengan penjajah, tapi pembebasan negeri-negeri yang dijajah.
Penutup: Dari Suriah ke Palestina, Menuju Kembali Khilafah
Suriah bukan proyek pribadi Al-Syara’. Ia milik umat. Dan umat ini hanya akan kembali jaya ketika ia kembali kepada ideologi Islam sebagai sumber satu-satunya hukum dan pemersatu.
Al-Quds tidak akan dibebaskan dengan pidato di istana, tapi dengan pasukan dari Damaskus, Kairo, Ankara, dan seluruh negeri kaum Muslimin yang bersatu di bawah satu panji:
Lā ilāha illallāh, Muhammadur Rasūlullāh
Wallāhu a’lam wa ahkamu bihādza.
COMMENTS