kepemilikan sumber air
Tanggapan Mendasar terhadap Tulisan “Air: Komoditas Sederhana, Ladang Emas Bernama AMDK”
Tulisan ini menyajikan gambaran yang menarik sekaligus mengkhawatirkan tentang bagaimana air—sebagai kebutuhan pokok umat manusia—telah berubah menjadi komoditas kapitalistik yang diperebutkan oleh korporasi besar. Dari perspektif pemikiran Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, fenomena ini mencerminkan ketimpangan sistemik yang merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Berikut beberapa poin kunci tanggapan dalam kerangka pemikiran beliau:
1. Air adalah Kepemilikan Umum, Bukan Komoditas
Syekh Taqiyuddin menegaskan dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam bahwa air termasuk dalam kepemilikan umum (milkiyah 'ammah). Rasulullah SAW bersabda:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Maka, air tidak boleh dikuasai oleh inpidu, korporasi, atau negara untuk diperdagangkan secara eksklusif. Ketika air dijadikan komoditas seperti dalam industri AMDK, maka hal itu bertentangan secara fundamental dengan hukum syariah.
2. Privatisasi Sumber Air adalah Kezaliman
Ketika konglomerasi berebut sumber mata air untuk dikomersialkan, maka itu sejatinya adalah bentuk perampasan hak umat. Dalam Islam, negara adalah pihak yang wajib mengelola dan mendistribusikan air secara adil untuk seluruh rakyat, tanpa memungut bayaran kecuali sebatas biaya layanan (jika ada), bukan keuntungan.
Dalam sistem Islam (Khilafah), negara akan melarang privatisasi sumber air, dan justru mengelola serta mendistribusikannya dengan mekanisme yang memastikan ketersediaan air bersih untuk semua kalangan masyarakat.
3. Kesenjangan dan Ketidakadilan Struktural
Tulisan ini menyingkap realitas bahwa perusahaan-perusahaan besar berlomba memonetisasi air di tengah kesulitan masyarakat mendapatkan akses air bersih. Ini adalah buah dari sistem ekonomi kapitalis yang mengabaikan asas keadilan sosial dan pemerataan sumber daya.
Syekh Taqi menentang keras sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang dan membiarkan mayoritas rakyat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok. Islam memandang pengelolaan sumber daya vital sebagai amanah, bukan peluang bisnis.
4. Solusi Islam: Negara Pengurus, Bukan Pedagang
Dalam pandangan Syekh Taqiyuddin, "negara memiliki peran utama sebagai rā‘in (pengurus), bukan sebagai tājir (pedagang).Negara harus mengelola air sebagai pelayanan publik, mendirikan infrastruktur yang menjamin distribusi air bersih ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk desa terpencil maupun daerah miskin".
Negara juga tidak akan membiarkan sektor vital dikuasai korporasi, apalagi yang didanai oleh asing. Semua bentuk penjajahan ekonomi seperti yang dilakukan oleh perusahaan multinasional akan diberantas.
5. Sustainabilitas dalam Islam: Menjaga Amanah, Bukan Branding
Isu keberlanjutan dan lingkungan dalam tulisan ini justru menjadi bukti bahwa ketika air dijadikan bisnis, maka orientasinya tetap profit. Bahkan kampanye "green" atau "sustainability" hanya dijadikan strategi branding. Dalam Islam, menjaga alam adalah bagian dari taklif syar'i (kewajiban syariat), bukan sekadar strategi pemasaran. Negara Islam akan mengintegrasikan penjagaan lingkungan dalam sistem hukumnya, bukan menyerahkannya kepada goodwill perusahaan.
Kesimpulan
Dari kaca mata Islam, fenomena bisnis AMDK mencerminkan kerusakan mendalam dari sistem kapitalisme yang menjadikan kebutuhan pokok manusia sebagai ladang bisnis tanpa batas. Air adalah milik umat, dan wajib dikelola oleh negara Islam untuk kemaslahatan rakyat, bukan diperebutkan untuk keuntungan pribadi.
Solusi mendasarnya bukan sekadar regulasi atau CSR, melainkan perubahan sistemik menuju sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah yang menerapkan syariat secara menyeluruh, termasuk dalam pengelolaan air.
COMMENTS