Tagihan BPJS Macet, Rakyat Bersiap Terima Sanksi
Tagihan BPJS Macet, Rakyat Bersiap Terima Sanksi
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih | Institut Literasi dan Peradaban
Viral sebuah video seorang sopir angkutan umum yang menolong pria tua, naas, ketika pagi menjelang justru pria tua itu menyerang sopir hingga mengalami luka serius. Sopir langsung melaporkan kejadian tersebut di Polsek daerahnya dan bergegas ke rumah sakit berbekal KIS ( Kartu Indonesia Sehat). Sayangnya pihak rumah sakit menolak dengan alasan luka akibat kriminal tidak dikover KIS maupun BPJS.
Jadilah sopir itu menahan sakit, sebab meski di rumah sakit namun tidak ada tindakan apapun, ia juga tak bisa menyediakan uang sebesar Rp 20 juta sebagaimana permintaan rumah sakit. Akhirnya sopir itu meninggal, miris!
BPJS sebagai cara pemerintah menjamin kesehatan rakyatnya sudah seringkali tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Rakyat masih kesulitan mengakses, rumah sakit banyak menolak pasien BPJS karena klaimnya susah. Padahal biaya dokter dan operasional rumah sakit yang lain masih harus dibayar.
Pun tidak semua penyakit bisa dikover BPJS. Dengan alasan defisit penerimaan, sebagaimana pernyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ada 15,3 juta orang yang menunggak iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) per Maret 2025 (CNN Indonesia.com, 8-5-2025).
Sekretaris Jenderal Kemenkes Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan ada 222,7 juta peserta JKN per Maret 2025 alias 98,3 persen dari total penduduk Indonesia. Di lain sisi, peserta non-aktif meningkat cukup drastis dari 20,2 juta orang pada 2019 ke 56,8 juta di kuartal I 2025.
Kunta membagi alasan JKN non-aktif menjadi dua, yakni karena mutasi dan menunggak. Ada 41,5 juta orang berstatus non-aktif karena mutasi dengan sejumlah alasan, salah satunya penerima bantuan iuran (PBI) yang akhirnya mendapat pekerjaan atau meninggal dunia.
Padahal semakin tinggi jumlah peserta non aktif akan membuat penerimaan tidak optimal. Dan rendahnya penerimaan iuran berpotensi membuat program JKN tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan masyarakat baik di rumah sakit maupun Puskesmas.
Pemerintah pun merasa cukup clear menjatuhkan sanksi administratif bagi mereka yang menunggak padahal tergolong ekonomi mampu. Diistilahkan sebagai moral hazard (risiko karena susah ada dalam jaminan tapi melakukan pelanggaran).
Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Arief Witjaksono Juwono Putro mengutip Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024, yang menjelaskan penonaktifan JKN dilakukan jika peserta menunggak iuran selama sebulan. Dan dicabut kembali saat jumlah tunggakan terbayar. Jumlah iuran yang harus dibayar adalah paling banyak 24 bulan beserta iuran bulan berjalan.
Ketentuan denda yang lain, apabila dalam 45 hari sejak peserta melunasi tunggakan kemudian mengakses rawat inap, wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk satu kali rawat inap. Besarannya 5 persen dari perkiraan biaya Indonesian Case Based Groups (INA CBGs) dengan jumlah bulan tertunggak 12 bulan dan besaran denda paling tinggi Rp20 juta.
Denda dikecualikan untuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau bukan pekerja (BP) yang iuran seluruhnya dibayarkan oleh pemerintah daerah.
Rumitnya Aturan dan Ruwetnya Urusan Rakyat
Untuk sehat saja begitu rumit aturannya. Bahkan jika terjadi penunggakan dipastikan kena denda. Meski ada kelompok yang iurannya dibayarkan negara kemudian tidak mendapatkan sanksi apakah ini bisa disebut keadilan? Sebab sehat adalah kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Baik ia kaya maupun miskin. Jelas negara akan hancur jika sumber daya manusianya sakit-sakitan.
Mengapa pemerintah tidak peka melihat kesulitan rakyat hingga ia harus menunggak iuran BPJS, mengingat kesehatan adalah kebutuhan pokok maka siapa orangnya yang mau sakit? Benarkah meninggak membayar iuran semata karena rakyat tidak disiplin, abai peraturan atau memang mereka tidak punya uang akibat penghasilan menurun, banyak pengangguran akibat PHK, lapangan pekerjaan sempit , sementara biaya hidup terus meningkat. Belum lagi kewajiban membayar pajak untuk pendapatan APBN, lebih sengsaranya lagi, kesehatan pribadi masih diwajibkan membayar.
Ombudsman Republik Indonesia (RI) ikut mendorong pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 dan Inpres Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan Ekstrem. Dalam hal ini sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik, menyarankan pemerintah untuk meningkatkan kepersertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal.
Pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan jumlah pekerja bukan penerima upah (PBPU) alias pekerja informal di Indonesia saat ini mencapai 88,17 juta orang. Namun dari jumlah itu baru sekitar 10 juta pekerja yang sudah terlindungi BPJS Ketenagakerjaan (detikFinance, 7/5/2025).
Menurutnya salah satu penyebab rendahnya angka peserta BPJS Ketenagakerjaan dari sektor pekerja informal adalah kurangnya sumber pembiayaan iuran kepersertaan terutama bagi mereka masyarakat miskin dan miskin ekstrem. Para pekerja informal dari kelompok miskin dan miskin ekstrem, itu malah lebih banyak memilih untuk menggunakan sedikit uang yang mereka miliki untuk membeli kebutuhan pokok daripada membayarkan iuran.
Kebanyakan mereka menyebutnya sebagai 'membeli risiko' sewaktu-waktu yang belum tentu akan dia peroleh secara pasti, sementara sembako jelas mereka butuhkan setiap hari agar tetap bertahan hidup.
Robert berharap pemerintah baik pusat maupun daerah hingga para pengurus BPJS Ketenagakerjaan sendiri dapat memperluas sumber pendanaan di luar kepesertaan mandiri untuk menjangkau pekerja informal khususnya untuk pekerja miskin dan miskin ekstrem. Misalnya dengan menggunakan APBN/APBD untuk membayarkan iuran kepersertaan para pekerja miskin/miskin ekstrem. Atau bisa juga pemerintah menggandeng sektor swasta untuk ikut membiayai kepersertaan pekerja dari CSR.
Kapitalisme Kesehatan Membuat Rakyat Sengsara
BPJS kesehatan dan BPJS tenaga kerja sama-sama dimaksudkan untuk menjamin kesehatan rakyat, sehingga bisa sejahtera. Namun pada praktiknya tidak sesuai dengan apa yang dirancang.
Inilah bukti penerapan sistem Kapitalisme yang membawa mudharat terus menerus. Yang seharusnya negaralah penjamin kebutuhan rakyatnya dengan segenap kemampuan, dialihkan kepada pihak ketiga, dalan hal ini BPJS Kesehatan / ketenagakerjaan.
Prinsip kerja Kapitalisme adalah membuka peluang swasta selebar mungkin dan meminimalisir peran negara. Bahkan pemberian subsidi berupa bansos dan BLT dianggap candu yang tidak boleh diberikan terus menerus sebab berakibat rakyat kehilangan kemandirian. Secara logika ini adalah pemahaman batil, mengingat tidak semua individu rakyat mampu dan negaralah pemegang wewenang terbesar atas kekayaan SDA dan SDM. Lantas apa fungsi negara jika rakyat dianggap beban?
Jelas ini bertentangan dengan apa yang disabdakan Rasûlullâh Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Dengan demikian, Kapitalisme memang terbukti tidak bisa memberikan kesejahteraan secara hakiki. Bagaimana dengan Islam?
Islam Mewujudkan Kesejahteraan Hakiki
Dalam Islam, kesehatan adalah salah satu dari enam kebutuhan pokok rakyat yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan dan keamanan yang harus dipenuhi negara.
Pelayanan dan jaminan itu jelas bukan pada sesuatu yang haram. Baik benda, maupun muamalah. BPJS jelas asuransi yang berbasis riba. Dimana di dalamnya ada iuran yang harus dibayarkan peserta, tidak bisa diambil sewaktu-waktu. Hanya jika peserta sakit, itupun tidak selalu sesuai dengan jumlah iuran yang ia bayar, bisa lebih sedikit bisa pula lebih banyak.
BPJS juga akadnya bukan menabung, arisan atau taawun. Sebab, jika peserta sehat tetap tidak bisa mengambil haknya. Sebab uangnya telah berputar dalam bisnis kesehatan. Membayar biaya kesehatan bagi peserta yang lain, padahal akad di awal tidak demikian. Rekening yang ia buka atas namanya, untuk pembayaran biaya kesehatannya. Disinilah letak ketidakjelasan akadnya, bisa dibilang multi akad yang itu haram.
Lebih parahnya ketika menunggak peserta wajib bayar denda, lebih mirip transaksi pinjam meminjam dalam Kapitalisme. BPJS sendiri adalah badan yang tidak berwenang mengelola, ia hanya pencatat iuran, jika ia membayarkan klaim ia bertindak seolah pemilik harta. Jelas batil. Bagaimana bisa berkah jika penjaminan kesehatan dilakukan dengan cara yang haram?
Miris, negeri muslim terbanyak di dunia, namun menghalalkan praktik riba dan tidak jelas akadnya yang hukumnya haram. Islam sebagai agama mayoritas semestinya berkuasa mengatur setiap perbuatan, malah mengedepankan manfaat, siapa kuat dia berkuasa. Dunia kesehatan dalam pusaran Kapitalisme hanya menjadi bulan-bulanan para pemilik modal.
Kita harus kembali kepada syari'at, hukum dan aturan yang berasal dari Zat yang Maha Hidup. Yang menggengam jiwa setiap makhluk ciptaanNya. Lantas atas dasar apa kita malah tunduk kepada hukum manusia?
Peradaban Islam yang mulia, telah menjadi mercusuar dunia, sebab dipenuhi dengan para ilmuwan di sebagai bidang, semisal kesehatan. Dunia Islam peletak pertama dasar-dasar kedokteran, pembangunan rumah sakit pertama yang sudah dilengkapi dengan universitas hingga laboratorium.
Negara hadir secara utuh, membangun banyak fasilitas kesehatan, melayani kesehatan bagi masyarakat kota maupun pinggiran, bahkan dahulu ketika Rasûlullâh menerima hadiah seorang dokter dari Raja Muqauqis, Raja Mesir. Beliau langsung menempatkan dokter itu sebagai dokter umum, bukan pribadi, yang tugasnya melayani kesehatan rakyat Madinah kala itu.
Di saat Eropa masih berada dalam kegelapan, membuang kotoran sembarangan, tidak mengenal mandi, sabun, dan lainnya , Islam memberi contoh nyata, sebagai sebuah sistem terbaik. Wallahualam bissawab.
COMMENTS