PERJANJIAN HUDAIBIYAH SAMA DENGAN PERJANJIAN SURIAH - AMERIKA ?
PERJANJIAN HUDAIBIYAH SAMA DENGAN PERJANJIAN SURIAH - AMERIKA ?
Sebagian analisis ada yang mengatakan bahwa Al-Joulani menjalin perjanjian atau koordinasi dengan Amerika “demi maslahat Suriah” dan dengan niat “menundukkan Amerika di masa depan”, dimana perjanjian ini mirip perjanjian hudaibiyah, maka berikut argument bantahan tentang perkara tersebut
1. Kaidah Dasar: Tujuan Tidak Membenarkan Sarana yang Haram
"Islam tidak membenarkan penggunaan sarana haram meskipun tujuannya terlihat mulia. Hukum syara’ tidak dibangun atas asas maslahat menurut akal manusia, tetapi atas wahyu yang jelas." (Usul Fiqh Hizb ut-Tahrir, Bab Maslahah dan Hukum Syara’)
Penjelasan:
Jika Al-Joulani bekerja sama dengan Amerika, bahkan jika tujuannya untuk “mengalahkan Amerika di masa depan”, maka itu tetap haram secara syar’i. Menggandeng kafir harbi fi’lan untuk maslahat jangka panjang bukan strategi syar’i, melainkan tahannuts (berhukum dengan selain hukum Allah)
2. Sikap Tegas terhadap Kolaborasi dengan Musuh Islam
"Tidak ada istilah ‘strategi politik’ dalam Islam yang melegalkan menjadikan musuh Islam sebagai mitra atau pelindung. Itu bentuk keterikatan politik yang menjauhkan umat dari penerapan Islam kaffah." (Ad-Daulah al-Islamiyyah, hlm. 151)
Penjelasan:
Amerika adalah negara penjajah. Ia menumpahkan darah kaum Muslimin di Iraq, Afghanistan, Suriah, dan lainnya. Maka berkoordinasi, menerima bantuan, atau membuat perjanjian dengan mereka adalah tasyabbuh bil kufr (meniru jalan orang kafir) dan tidak akan melahirkan izzah Islam, hanya menunda kehancuran.
3. Analogi dengan Hudaibiyah Ditolak
Al-Joulani atau siapa pun tidak bisa menyamakan langkah ini dengan Hudaibiyah, karena:
* Nabi tak pernah bersekutu dengan Romawi atau Persia untuk melawan Quraisy.
* Hudaibiyah tidak melibatkan pengakuan, kerjasama, atau penerimaan dukungan militer dari pihak kafir harbi fi’lan.
* Strategi Nabi tidak mencampur adukkan loyalitas kepada Allah dengan diplomasi kepada thaghut.
Perjanjian Hudaibiyah (6 H) Ditandatangani oleh Nabi Muhammad SAW dengan Quraisy. Strategis secara politik untuk membuka jalan dakwah dan penaklukan Mekah. Meskipun tampak merugikan di permukaan, Nabi memiliki tujuan jangka panjang (bukan kompromi ideologis). Nabi tetap independen secara politik, militer, dan ideologis.
Perjanjian Suriah dengan Amerika (misalnya rekonsiliasi, normalisasi, atau kesepakatan damai) secara fakta kekuatan kafir imperialis yang menguasai politik internasional. Perjanjian seperti ini, adalah bentuk kompromi terhadap Islam. Suriah berada dalam posisi lemah dan tunduk kepada perjanjian internasional. Tidak ada indikasi untuk menegakkan Islam secara kaffah, malah justru mempertahankan sistem sekuler/nasionalis.
"Perjanjian Hudaibiyah adalah taktik syar’i yang lahir dari kekuatan akidah dan strategi kenabian. Bukan hasil dari ketundukan pada kekuatan kufur. Adapun yang dilakukan para penguasa Muslim hari ini, termasuk di Suriah, adalah bentuk tahaqquq bi masalih an-nufus (mengejar maslahat pribadi) bukan maslahah ummah. Itu bukan perjanjian strategis seperti Hudaibiyah, tapi pengkhianatan terhadap umat Islam dan Islam itu sendiri."
Setiap hubungan dengan negara kafir penjajah, seperti AS, harus dilihat dari aspek ideologis. Tidak boleh ada tawar-menawar, apalagi perjanjian damai yang mempertahankan status quo sekuler.
“Menyamakan perjanjian Suriah-Amerika dengan Hudaibiyah adalah penyesatan sejarah dan penyimpangan manhaj nabawi. Yang satu berdasarkan wahyu dan strategi kenabian. Yang satu lagi berdasarkan kepentingan rezim yang mempertahankan kekuasaan dengan restu kafir imperialis. Ini bukan taktik syar’i, ini adalah bentuk tathbiq lil kufr (penerapan kekufuran).”
berikut adalah kutipan dari karya-karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, untuk lebih menguatkan analisa secara ideologis.
A. Kutipan dari Nizham al-Islam (Sistem Islam)
Dalam pembahasan tentang hubungan luar negeri: "Islam melarang negara untuk tunduk kepada negara kafir, apalagi menjadikan mereka sebagai penentu hukum atau penjamin keamanan. Hubungan internasional harus berdasarkan dakwah dan jihad, bukan perjanjian kompromi yang menjadikan kaum Muslim tunduk." ( Nizham al-Islam, Bab Siyasah Kharijiyyah)
Analisis:
Perjanjian seperti yang dilakukan oleh Suriah dengan AS, bukanlah siasat syar’i karena tunduk pada kekuatan kafir yang memusuhi Islam. Ini jelas bertentangan dengan prinsip dakwah dan jihad.
B. Kutipan dari Ad-Daulah al-Islamiyyah (Negara Islam) "Negara Islam tidak akan pernah menjalin hubungan damai permanen dengan negara kafir harbi fi’lan. Setiap perjanjian hanya dibolehkan bila itu bersifat taktik sementara dan tidak mengandung pengakuan terhadap kekuasaan kufur." (Ad-Daulah al-Islamiyyah, hlm. 142)
Analisis:
Amerika dalam pandangan beliau adalah kafir harbi fi’lan (kafir yang aktif memerangi umat Islam). Maka segala bentuk perjanjian damai atau kolaborasi strategis dengannya bukan taktik syar’i seperti Hudaibiyah, melainkan pengkhianatan ideologis.
C. Kutipan dari Khilafah (al-Khilafah)
"Penguasa yang membuat perjanjian dengan kafir penjajah untuk mempertahankan kekuasaan atau demi stabilitas adalah penguasa yang telah menanggalkan akidah Islam sebagai asas dalam tindakan politiknya." ( al-Khilafah, hlm. 103)
Analisis:
Kalau penguasa suriah menjalin perjanjian demi menjaga kursinya, itu bukan sekadar kesalahan taktis, tapi pengkhianatan terhadap asas kekuasaan Islam.(mudah2an tidak demikian)
4. Tentang Niat Baik
"Niat baik tidak mengubah hukum suatu perbuatan. Jika jalan yang ditempuh bertentangan dengan syariah, maka niat sebaik apa pun tak bisa memutarnya menjadi ketaatan." (Muqaddimah ad-Dustur, pasal niat dan amal)
Penjelasan :
Kalaupun niat Al-Joulani baik, yakni “demi kebaikan Suriah” atau “untuk melawan Amerika nanti”, itu tidak sah jika jalan yang dipilih adalah berkoordinasi, kompromi, atau perjanjian dengan musuh umat. Itu adalah bentuk tadhiyyah (pengorbanan prinsip), yang dilarang keras dalam Islam.
Kesimpulan
“Siapa pun yang menjalin hubungan dengan kafir penjajah—meskipun dengan niat strategi jangka panjang—telah keluar dari manhaj Nabawi dalam perjuangan. Tidak ada jalan menuju kemuliaan Islam kecuali dengan tegaknya kekuasaan Islam yang mandiri, bebas dari campur tangan kufur.
Al-Joulani, jika benar melakukan itu, telah menyimpang dari jalan dakwah dan menjauh dari nashrah yang diridhai Allah.”
COMMENTS