FANTASI SEDARAH : SKANDAL DIGITAL YANG DISUSUI SEKULARISME
FANTASI SEDARAH : SKANDAL DIGITAL YANG DISUSUI SEKULARISME
Oleh: La Ode Mahmud
Normalisasi penyimpangan seksual bukan terjadi secara tiba-tiba. Ketika grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah” muncul dan isinya ternyata adalah ratusan anggota yang berbagi konten pornografi bertema incest, sebagian masyarakat terperangah. Tapi seharusnya kita tidak kaget. Inilah adalah buah dari sistem yang membiarkan kebebasan tanpa iman menggerogoti akal dan hati manusia.
Enam pelaku telah ditangkap. Kominfo memblokir beberapa grup. Tapi kita tahu, ini baru permukaan. Masalah utamanya bukan pada admin grup, melainkan pada sistem yang membuka kran budaya sesat seperti ini berkembang. Sekularisme, sejak lama, telah mencabut agama dari urusan publik, termasuk urusan moral.
Bayangkan, di negara yang katanya beradab, seseorang bisa mengakses konten porno dalam tiga klik. Remaja bisa membentuk komunitas seksual menyimpang di platform publik. Kita hidup dalam iklim digital yang permisif dan negara hanya bisa bereaksi saat sudah viral.
Inilah kegagalan besar. Negara gagal menjadi penjaga akhlak. Pendidikan gagal membentuk rasa malu. Media gagal menjadi penjernih, malah menjadi penggoda. Dan masyarakat? Terpecah antara yang sekadar mencela dan yang ikut menormalisasi.
Islam tidak tinggal diam dalam menghadapi hal semacam ini. Dalam pandangan Syakh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagaimana tertuang dalam Sistem Pergaulan Islam dan Sistem Peraturan Hidup dalam Islam, ada tiga lapis solusi yang wajib dijalankan:
Pertama, sistem pendidikan Islam membentuk syakhsiyah Islamiah. Bukan sekadar mendidik anak menjadi “cerdas”, tapi membuat mereka takut kepada Allah dan malu pada maksiat. Mereka diajari berpikir halal dan haram, bukan sekadar berpikir untung dan rugi.
Kedua, masyarakat Islam menjadi benteng akhlak. Amar ma’ruf nahi munkar bukan sekadar jargon, tapi kerja kolektif. Ruang digital pun harus dibersihkan oleh masyarakat yang peduli, bukan dibanjiri oleh “influencer” yang menjual aurat demi traffic.
Ketiga, negara Islam (Khilafah) hadir bukan sebagai komentator, tapi sebagai penjaga kehormatan publik. Ia wajib menutup akses pada semua media mesum, membina pelaku, dan menghukum penyebar penyimpangan dengan hukum syar’i. Bukan hanya blokir simbolik, tapi penataan ulang sistem informasi dan interaksi sosial.
“Fantasi Sedarah” bukan kasus pertama. Dan jika kita hanya mengandalkan reaksi sesaat, ini juga bukan yang terakhir. Jika sekularisme terus dibiarkan mendikte moral publik, maka kita sedang menyusui generasi dengan racun ideologis. Mereka tumbuh besar dengan definisi kebebasan yang menyimpang, lalu kita pura-pura terkejut saat mereka menjadi monster moral.
Kita tidak sedang butuh lebih banyak regulasi. Kita sedang butuh sistem hidup yang benar. Islam datang bukan untuk menambal, tapi untuk mengganti sistem rusak ini dengan sistem yang berakar pada wahyu. Dan inilah saatnya kita menyuarakan perubahan itu dengan tegas, lugas, dan tanpa kompromi [].
COMMENTS