Distingsi Kekuasaan dan Kekuatan Negara Menurut Fiqih Siyasah
Distingsi Kekuasaan dan Kekuatan Negara Menurut Fiqih Siyasah
Seorang penguasa dalam fiqih siyasah, diangkat mewakili rakyat untuk menjalankan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan publik, namun ini bukan berarti seluruh rakyat wajib memeluk agama yang sama. Karena dalam perspektif sejarah politik, baik pada era Daulah Madinah maupun era Khulafaur Rasyidin, sistem pemerintahan Islam mampu membawahi pluralitas rakyatnya yang berasal dari beragam ras, bangsa dan agama.
Tetapi yang uniknya, pluralitas ini tidak menghalangi dakwah Islam baik di dalam maupun di luar negerinya. Semuanya diberi kesempatan mendiskusikan ajaran Islam sebagai sebuah aturan yang rasional dan potensial yang akan menjadi standar baru kemaslahatan seluruh umat manusia.
Maka dari itu, sistem pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam, secara otomatis tidak identik dengan sistem pemerintahan liberal atau diktator yang menjadikan kedaulatan atau penetapan hukum sangat subjektif berdasarkan ambisi kepentingan manusia, karena dalam Islam kedaulatan atau penetapan hukum wajib berdasarkan syariah Islam yang objektif. Inilah negara hukum yang sejati.
Meskipun mungkin ada penyalahgunaan wewenang oleh segelintir oknum penguasa muslim, seperti yang terjadi dalam sebagian kecil perjalanan sejarah para penguasa khilafah, namun itu semua berhasil diselesaikan melalui mekanisme sistemik ijtihad siyasah para sahabat dan ulama terdahulu sehingga “drama sejarah” berhasil diselesaikan, serta visi misi bernegara kembali ke jalan semula untuk menjalankan Islam dalam seluruh kehidupan publik dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru bumi. Ini artinya selama unsur masyarakat masih memegang komitmen kehidupan Islam, selalu ada jalan solusinya.
Sesuai penjelasan tersebut, konsep sistem pemerintahan Islam seharusnya akan menghilangkan kekhawatiran sebagian pihak, yang menganggap sistem ini mengarah ke despotik militeristik. Meskipun kita harus akui, menurut fiqih siyasah, sebuah daulah Islam, wajib memiliki militer terkuat di dunia, demi melindungi visi misi bernegara yang ideal dan mampu membebaskan akal manusia dari tekanan kekuatan fisik yang menghalangi dakwah Islam, yakni kebutuhan futuhat yang memang disyariatkan dalam ajaran Islam.
Secara lebih mendalam, ada hal penting yang harus dipahami, bahwa kekuasaan (as-sulthân) itu berbeda dengan kekuataan negara (al-quwwah). Kekuasaan adalah pemerintahan dan pemegang kebijakan, yaitu entitas pelaksana sekumpulan pemikiran, pemahaman dan standar yang diterima umat. Entitas ini fungsinya menerapkan hukum, mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat. Adapun kekuatan negara, dipahami sebagai entitas fisik berupa militer termasuk polisi, yang digunakan penguasa dalam menegakkan aturan, menghukum para penjahat dan pelaku maksiat, menundukkan pemberontak, mencegah para pelanggar, serta sebagai alat melindungi kekuasaan dan menjaga pemikiran, pemahaman dan standar yang berlaku.
Dari sini kita harus menyadari bahwa tidak boleh mencampur adukan antara entitas kekuasaan dan kekuatan negara. Jadi, kekuasaan pemerintahan bukanlah kekuatan negara, meskipun kekuasaan bisa ada karena perlindungannya. Begitupun juga kekuatan negara bukanlah kekuasaan pemerintahan, meskipun kekuatan negara akan tetap lurus karena kekuasaannya. Dengan demikian, jangan sampai menjadikan kekuasaan sebagai kekuatan negara, karena akan menghilangkan perannya dalam mengurus kepentingan publik, sebab prinsip dan standar kekuasaanya bakal menjadi represif dan bukan melayani publik, akibatnya pemerintahan berubah menjadi “rezim polisi” yang hanya mengandalkan terror, dominasi, pemaksaan dan pertumpahan darah. Demikian pula jangan menjadikan kekuatan negara sebagai kekuasaan pemerintahan, karena akan membuat penguasa memerintah dengan logika kekuatan, mengatur urusan publik dengan prinsip dan standar peraturan militeristik serta penindasan dan pemaksaan.
Dua kondisi tadi, bakal menyebabkan keruntuhan dan kehancuran negara, yang melahirkan ketakutan, kekhawatiran dan terror, yang akan menghantarkan masyarakat menuju jurang yang dalam yang menyebabkan bahaya dahsyat bagi umat. Padahal kaidah syariah menyatakan: lâ dharar wa lâ dhirâr (Tidak boleh menimbulkan bahaya dalam bentuk apapun terhadap diri maupun orang lain).
Ibnu Khaldun rahimahullah telah memperingatkan kita semua mengenai betapa bahayanya rezim diktator dan represif, serta betapa baik dan beruntungnya negara yang memiliki penguasa yang melayani rakyat, sang penulis kitab muqaddimah ini menjelaskan:
فإنّ الملك إذا كان قاهرا باطشا بالعقوبات منقّبا عن عورات النّاس وتعديد ذنوبهم شملهم الخوف والذّلّ ولاذوا منه بالكذب والمكر والخديعة فتخلّقوا بها وفسدت بصائرهم وأخلاقهم وربّما خذلوه في مواطن الحروب والمدافعات ففسدت الحماية بفساد النّيّات ... وإذا كان رفيقا بهم متجاوزا عن سيئاتهم استناموا إليه ولاذوا به وأشربوا محبّته واستماتوا دونه في محاربة أعدائه فاستقام الأمر من كلّ جانب
"Penguasa yang bengis dan sewenang-wenang menerapkan sanksi, memata-matai dan mencari-cari kesalahan rakyatnya, maka rakyat akan diselimuti ketakutan, kerendahan dan mencari aman dari penguasa itu dengan berbohong dan tipu daya, sehingga sifat buruk tersebut menjadi kebiasaan rakyat. Pikiran dan akhlak mereka jadi buruk. Bahkan dalam medan perang dan pertahanan bisa saja mereka berkhianat. Karena motivasi yang buruk itu maka tiada lagi perlindungan terhadap negara. Sedangkan jika penguasa baik dan mengayomi, serta mudah mengampuni kesalahan rakyat, maka rakyat pun merasa aman dan tenteram bersama penguasa itu, mencitainya setulus hati, serta rela mati membelanya ketika memerangi musuhnya. Dengan kondisi yang kondusif seperti ini, segala bidang pemerintahan akan berjalan baik."
Tentu siapapun pasti ingin memiliki penguasa yang baik dan melayani rakyat, bukan penguasa yang bengis dan diktator. Maka dari itu, untuk menghindari sebuah pemerintahan berubah menjadi “rezim polisi atau militer” yang represif, ada beberapa rumusan fiqih siyasah yang bisa jadi pedoman bagi umat yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, keterbukaan pemilihan dan pengangkatan penguasa. Dalam sejarah peradaban Islam, seluruh khalifah pada era Khulafaur Rasyidin diangkat melalui baiat. Para ahli syura’ kala itu berhak mencalonkan dan dicalonkan, sedangkan hasil akhir ditentukan oleh bai’at ahlul halli wal aqdi serta umat secara umum. Karena itu sebagai konsekuensi pengangkatan kepala negara melalui baiat, maka sang kepala negara otomatis mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan yang akan menerapkan suatu sistem peraturan spesifik, yakni menerapkan hukum Islam dalam segala bidang kehidupan (yajîb tathbîq al-Islâm kâmilân daf’ah wâhidah). Dengan misi pemerintahan yang jelas seperti ini, beragam aturan pun tentu tidak bisa dibuat sewenang-wenang.
Kedua, jaminan muhâsabah al-hukkâm atau akuntabilitas para penguasa. Konsep ini dasarnya bersumber dari dalil mutawatir dorongan saling memberi nasihat, dakwah dan amar makruf nahi munkar. Kita bisa lihat dalam sejarah peradaban umat Islam, betapa mudahnya para ulama dan rakyat mengkritik para pejabat dan penguasa yang dianggap menyalahi aturan Islam agar kembali ke jalan yang benar. Berdasarkan hal tersebut, muncullah kaidah fiqih siyasah: daulah al-khilâfah daulah basyariyyah wa laisat daulah ilahiyyah (negara khilafah merupakan negara manusiawi dan bukan negara teokrasi) dan muhâsabah al-hukkâm min qibal al-muslimîn haqq min huqûqihim wa fardh kifâyah ‘alaihim (mengkritik penguasa merupakan hak kaum muslim dan hukumya fardhu kifayah).
Ketiga, independensi mahkamah atau peradilan mazhalim. Dalam sejarah hukum Islam, posisi qadhi sebuah peradilan memiliki derajat tersendiri yang mulia, pasalnya seorang qadhi menjadi salah satu jabatan terdepan dalam memutuskan perkara publik berdasarkan hukum Islam. Termasuk bila ada konflik antara penguasa dan rakyat, serta masalah penafsiran konstitusi, qadhi mazhalim memainkan peranan vital. Bahkan sang qadhi berdasarkan ketentuan fiqih siyasah memiliki kewenangan memakzulkan penguasa yang sudah kehilangan kelayakan dalam memimpin negara yang seharusnya menerapkan Islam. Kaidah mengatakan: li mahkamah al-mazhâlim haqq ‘azl ayyi hâkim au mwazhzhaf fi ad-daulah kamâ lahâ haqq ‘azl ra’îs ad-daulah (peradilan mazhalim berwenang memberhentikan para penguasa atau pegawai negara manapun, juga berhak memakzulkan kepala negara) dan lâ yashihh ‘azluh atsnâ’ qiyâmih bi an-nazhar fi mazhlamah ‘ala al-khalîfah (qadhi mazhalim tidak bisa dipecat saat menangani kasus yang melibatkan khalifah atau pemimpin negara).
Keempat, komitmen para tokoh dan ahlul quwwah dalam mengawal visi misi bernegara sesuai ideologi Islam. Umat Islam bersama para tokoh dan ahlul quwwah, yakni pihak yang memiliki pengaruh dan kekuatan, tentu sebelum memilih pemimpin negara, bahkan sebelum negara Islam itu berdiri, telah dan harus memiliki komitmen bersama dalam menjaga visi misi bernegara untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan menjadikan Islam sebagai solusi dalam seluruh problem bernegara dan bermasyarakat. Karena itu, peran mereka juga sangat vital dalam menjaga agar kekuasaan yang ada tidak menyimpang. Pasalnya mereka adalah pihak yang paling memiliki kesadaran tinggi sebagai negarawan, Hal ini bisa kita teladani dari peristiwa hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, yang mana para tokoh dan ahlul quwwah Madinah benar-benar mengawal negara madinah menjadi negara yang melayani dan melindungi rakyatnya. Mereka mengawal negara madinah dari semenjak menjelang berdiri hingga perpindahan menuju era para khalifah.
Demikianlah kurang lebih beberapa kaidah fiqih siyasah yang bisa menjadi gambaran, bagaimana peradaban Islam mampu menjaga agar para penguasa tidak berubah menjadi diktator yang menjalankan kebijakan tangan besi yang otoriter. Wallahu a’lam. (Oleh: Yan S. Prasetiadi).
Referensi:
- Afkâr Siyâsiyyah, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum.
- As-Sulthân wa al-Quwwah, dalam Majalah al-Wa’ie Arab edisi 31, thn 1989.
- Muqaddimah Ibn Khaldûn, karya Al-‘Allamah Ibnu Khaldun.
- Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum.
COMMENTS