lebaran dalam khilafah
LEBARAN YANG TENANG DAN NYAMAN, HANYA BISA TERWUJUD DENGAN ISLAM
Oleh: Irohima
Meski bulan puasa baru memasuki minggu pertama, wacana mudik lebaran selalu menjadi topik pembicaraan utama di kalangan masyarakat. Setiap tahun, mudik lebaran menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Mengapa demikian? Karena berbagai permasalahan, seperti potensi kemacetan serta harga tiket dan tarif tol yang kerap mengalami kenaikan, seolah menjadi tren tahunan menjelang hari raya kemenangan.
Tahun ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait harga tiket dan tarif tol. Pemerintah memberikan potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada penerbangan domestik, yang dapat menekan harga tiket pesawat hingga 14%. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Maret 2025. Sementara itu, Presiden Prabowo juga memastikan adanya penurunan tarif jalan tol hingga 20% saat arus mudik dan arus balik lebaran 2025. Selain itu, Kementerian Perhubungan RI dan Kementerian BUMN bekerja sama mengadakan program mudik gratis dengan kuota 100.000 orang, baik melalui bus, kereta api, maupun kapal laut. Program mudik gratis ini dapat diakses melalui aplikasi Mitra Darat, yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub (sumber: Viva.co.id, 01/03/2025).
Hampir setiap tahun, ketika momen hari libur atau hari besar keagamaan—khususnya Hari Raya Idul Fitri—tiba, persoalan yang sama terus berulang. Harga tiket yang tinggi, tarif tol yang ikut naik, serta kemacetan parah menjadi ritual tahunan. Meski tahun ini terdapat kebijakan baru yang tampak sebagai solusi, pada hakikatnya kebijakan tersebut bukanlah jawaban sesungguhnya. Transportasi yang mahal dan tarif jalan tol yang tinggi bukan hanya terjadi saat lebaran, tetapi juga di hari-hari biasa. Tarif tol dan harga tiket sering mengalami kenaikan secara tiba-tiba.
Transportasi Mahal: Dampak Sistem Kapitalisme
Mahalnya harga tiket, tarif jalan tol yang tinggi, serta berbagai permasalahan transportasi lainnya merupakan dampak dari diterapkannya sistem kapitalisme. Seperti yang kita ketahui, kapitalisme berlandaskan pada prinsip meraup keuntungan maksimal dalam setiap kegiatan ekonomi. Begitu pula dengan tata kelola transportasi publik—pengelolaan transportasi, dari infrastruktur hingga harga tiket, dikomersialisasi. Akibatnya, muncul jalan raya berbayar (tol) dan sistem transportasi yang dibedakan berdasarkan level ekonomi.
Dalam kapitalisme, kenyamanan, keselamatan, dan kemanusiaan bukan prioritas utama, karena semuanya diukur berdasarkan nilai materi. Peran negara pun bukan sebagai pelayan atau pengurus rakyat, melainkan hanya sebagai regulator yang melayani kepentingan swasta. Akibatnya, rakyat dipaksa untuk mengurus sendiri kebutuhan transportasi mereka dan harus menerima kebijakan yang merugikan.
Islam Menjadikan Negara sebagai Pengurus Transportasi Publik
Transportasi merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memudahkan mobilisasi, meningkatkan kualitas hidup, serta mendukung pengembangan ekonomi. Dalam sistem Islam, tata kelola transportasi publik didasarkan pada akidah Islam, sehingga Islam memandang bahwa negara bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan transportasi rakyat.
Prinsip tata kelola transportasi publik dalam Islam tidak hanya berlaku saat lebaran atau hari besar lainnya, tetapi secara universal, tanpa mengenal batas waktu dan tempat. Berikut adalah beberapa prinsip utama yang diterapkan dalam Islam:
- Transportasi publik adalah kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup, baik secara rutin maupun insidental (seperti lebaran atau hari libur). Oleh karena itu, tidak boleh dikomersialisasi.
- Negara bertanggung jawab penuh dan wajib menjamin setiap individu memiliki akses terhadap transportasi yang murah, aman, selamat, manusiawi, bahkan gratis.
- Pengelolaan infrastruktur transportasi dan segala kelengkapannya harus sepenuhnya dilakukan oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada swasta atau individu.
- Jalan raya tidak boleh dijadikan komoditas, seperti sistem jalan tol saat ini yang mengharuskan pengguna membayar untuk menggunakannya.
- Jika ketiadaan transportasi berakibat dharar (kerugian) bagi masyarakat, maka negara wajib menyediakannya, meskipun dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, hal ini hampir tidak mungkin terjadi, mengingat sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan sumber pemasukan negara.
- Teknologi transportasi harus digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk dikomersialisasi, dan kebijakan transportasi harus mengacu pada politik dalam dan luar negeri yang berlandaskan Islam, bukan kepentingan kapitalisme global.
- Negara wajib menjamin keselamatan dan keamanan setiap individu dalam transportasi publik.
- Birokrasi dan prosedur yang rumit akan dihilangkan, dan negara akan menerapkan strategi pelayanan berbasis kesederhanaan aturan, kecepatan layanan, serta profesionalisme dalam pengelolaan transportasi.
Hanya Islam yang Mampu Menyelesaikan Masalah Transportasi
Masalah tahunan transportasi saat lebaran hanya bisa diselesaikan dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Dengan sistem ini, masyarakat akan merasakan keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan dalam menyambut hari kemenangan—tanpa harus menghadapi kesulitan seperti mahalnya harga tiket, kemacetan, atau ketidakpastian kebijakan transportasi.
Wallahu a'lam bish-shawab.
COMMENTS