Reklamasi laut
Reklamasi dalam Sistem Demokrasi vs Islam
Reklamasi merupakan salah satu cara untuk memperluas daratan melalui pengurukan wilayah perairan seperti laut, sungai, atau rawa. Di Indonesia, reklamasi telah menjadi isu yang sensitif karena menyentuh banyak aspek, mulai dari lingkungan, ekonomi, hingga sosial. Lebih jauh lagi, reklamasi juga menimbulkan pertanyaan penting terkait kepemilikan dan pengelolaan: siapakah yang berhak atas tanah hasil reklamasi, dan untuk siapa manfaatnya diberikan?
Kasus terbaru di Indonesia, seperti pemasangan pagar laut yang terkait dengan reklamasi, menjadi sorotan tajam dan memperlihatkan bagaimana reklamasi dipraktikkan dalam sistem demokrasi. Hal ini kemudian dibandingkan dengan bagaimana Islam mengatur kepemilikan dan pengelolaan hasil reklamasi. Artikel ini akan membahas fakta reklamasi saat ini sebagai pengantar, lalu mengulas bagaimana perbedaan sistem demokrasi dan Islam dalam memandang reklamasi.
Fakta Reklamasi Saat Ini: Kasus Pagar Laut dan Privatisasi Milik Umum
Salah satu kasus terkini yang menarik perhatian publik adalah pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di kawasan Pantai Utara Tangerang, Banten. Pagar ini, yang dibuat di atas wilayah laut yang seharusnya menjadi milik umum, diduga terkait dengan proyek reklamasi. Fakta-fakta penting terkait kasus ini adalah sebagai berikut:
- Membatasi akses nelayan tradisional ke laut
Laut, sebagai salah satu sumber daya utama bagi nelayan tradisional, seharusnya dapat diakses oleh semua orang tanpa batasan. Namun, pemasangan pagar ini secara langsung merugikan nelayan yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka. - Dugaan pelanggaran hukum
Pemasangan pagar laut ini diduga melibatkan pengalihan kepemilikan wilayah laut menjadi sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (HGB), yang seharusnya tidak dimungkinkan secara hukum karena laut adalah milik umum. - Potensi kerugian negara
Diperkirakan kerugian negara akibat privatisasi ilegal ini mencapai Rp300 triliun, karena aset milik umum yang bernilai tinggi diserahkan kepada pihak-pihak tertentu tanpa kejelasan legalitas dan pengawasan.
Kasus seperti ini mencerminkan bagaimana sistem demokrasi membuka celah bagi privatisasi sumber daya publik. Reklamasi yang semula dimaksudkan untuk kemaslahatan umum, malah berujung pada ketimpangan akses dan monopoli oleh segelintir pihak.
Reklamasi dalam Sistem Demokrasi
Dalam sistem demokrasi, terutama yang menganut paradigma ekonomi kapitalis, reklamasi sering kali dilihat sebagai peluang untuk menciptakan nilai ekonomi baru. Pemerintah memberikan izin kepada pihak swasta untuk melakukan reklamasi dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan properti, infrastruktur, dan fasilitas komersial. Namun, sistem ini memiliki sejumlah kelemahan besar, terutama terkait dengan kepemilikan dan keadilan sosial:
-
Privatisasi Milik Umum
Dalam sistem demokrasi, aset publik seperti hasil reklamasi dapat dialihkan kepada pihak swasta melalui mekanisme perizinan atau jual beli tanah. Contohnya, proyek reklamasi di kawasan pantai sering kali berakhir dengan pembangunan apartemen mewah, pusat perbelanjaan, atau perumahan elit yang tidak dapat diakses oleh masyarakat umum. -
Keberpihakan pada Kapital
Pemerintah dalam sistem demokrasi sering kali lebih berpihak kepada pemodal besar yang memiliki kapasitas finansial untuk menjalankan proyek reklamasi. Akibatnya, rakyat kecil seperti nelayan atau masyarakat pesisir sering kali dirugikan karena kehilangan akses ke sumber daya yang sebelumnya mereka gunakan. -
Kesenjangan Sosial
Reklamasi dalam sistem demokrasi cenderung memperbesar kesenjangan sosial. Wilayah hasil reklamasi biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan komersial yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu, sementara masyarakat miskin semakin terpinggirkan.
Sistem demokrasi memungkinkan privatisasi milik umum melalui reklamasi, yang sering kali berujung pada ketidakadilan sosial. Negara hanya bertindak sebagai regulator, sementara kepemilikan dan pengelolaan hasil reklamasi diserahkan kepada swasta.
Reklamasi dalam Islam
Berbeda dengan sistem demokrasi, Islam memiliki aturan yang jelas terkait kepemilikan umum. Laut, sungai, dan sumber daya alam lainnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyyah 'ammah), yang harus tetap dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Prinsip ini didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya:
-
Hadits tentang Milik Umum
Rasulullah SAW bersabda:"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api."
(HR. Abu Dawud)Hadits ini menunjukkan bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, termasuk laut, tidak boleh dimiliki atau dimonopoli oleh individu maupun swasta.
-
Larangan Privatisasi Milik Umum
Contoh nyata dalam sejarah Islam adalah kisah Rasulullah SAW yang menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadh bin Hammal setelah diketahui bahwa tambang tersebut adalah sumber daya yang melimpah. Nabi bersabda:"Kembalikan tambang itu karena ia seperti air yang mengalir."
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)Kasus ini menunjukkan bahwa sumber daya melimpah yang menjadi kebutuhan masyarakat luas tidak boleh dimiliki secara privat.
-
Prinsip Pengelolaan oleh Negara
Dalam Islam, negara bertindak sebagai wakil umat untuk mengelola milik umum. Negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan hasil reklamasi kepada individu atau swasta, tetapi harus memastikan bahwa hasilnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, seperti pembangunan pelabuhan, pasar, atau fasilitas umum lainnya.
Reklamasi dalam Islam diperbolehkan hanya jika:
- Tujuannya adalah kemaslahatan umum.
- Hasil reklamasi tetap menjadi milik umum dan dikelola oleh negara.
- Tidak merugikan pihak lain, seperti masyarakat pesisir atau nelayan.
Reklamasi dalam Sistem Demokrasi vs Islam: Perbandingan
Aspek | Sistem Demokrasi | Sistem Islam |
---|---|---|
Kepemilikan Laut | Bisa diprivatisasi oleh individu atau swasta. | Tetap menjadi milik umum yang tidak bisa diprivatisasi. |
Pengelolaan | Diserahkan kepada swasta, negara sebagai regulator. | Dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. |
Akses Masyarakat | Cenderung terbatas akibat privatisasi. | Terjamin, karena sumber daya tetap milik umum. |
Tujuan Reklamasi | Berorientasi pada profit. | Berorientasi pada kemaslahatan umum. |
Keadilan Sosial | Sering memperbesar kesenjangan. | Menjamin keadilan bagi seluruh rakyat. |
Penutup
Kasus pemasangan pagar laut di Tangerang menjadi cerminan nyata bagaimana sistem demokrasi membuka ruang bagi privatisasi milik umum yang seharusnya dikelola untuk kepentingan bersama. Dalam Islam, praktik seperti ini bertentangan dengan prinsip syariah yang menegaskan bahwa laut dan sumber daya alam lainnya adalah milik masyarakat, bukan individu atau korporasi.
Dengan prinsip kepemilikan Islam, reklamasi dilakukan semata-mata untuk kemaslahatan umum. Hasilnya tidak boleh dimonopoli oleh segelintir pihak, tetapi harus dikelola negara dengan adil dan transparan demi kesejahteraan seluruh umat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem Islam memiliki solusi yang lebih manusiawi dan berkeadilan dalam mengelola sumber daya alam.
COMMENTS