Masa Depan Umat
Liputan Acara: Refleksi Akhir Tahun dan Masa Depan Umat
Oleh: Muflihatul Chusnia
Tak terasa, kita sudah berada di penghujung tahun 2024. Sebelum melangkah ke tahun 2025, alangkah baiknya kita melakukan perenungan dan muhasabah, baik pada diri sendiri maupun terhadap kondisi umat. Sebab, tak ada yang lebih merugi dibandingkan mereka yang tidak merenungkan perjalanan hidup yang telah lalu.
Tanpa perenungan, kita dan umat tidak akan mampu memperbaiki kesalahan. Justru dari kesalahan itulah kita belajar, agar tidak terulang kembali. Dalam acara Refleksi Akhir Tahun dan Masa Depan Umat, Prof. Suteki menyampaikan bahwa tahun 2024 bisa disebut sebagai "tahun politik," di mana kekuasaan diperebutkan dan jabatan seakan menjadi prasmanan. Dalam refleksi di bidang hukum, indeks hukum Indonesia masih stagnan dengan "rapor merah," berada di peringkat 68 dari 142 negara. Hal ini menunjukkan bahwa hukum masih digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, seperti terlihat pada kasus korupsi Harvey Mois dan Harun Masiku. Prof. Suteki bahkan mengatakan hukum di Indonesia masih berlandaskan prinsip “suka-suka kami.”
Berita terbaru dari situs resmi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menyebutkan bahwa mantan Presiden Jokowi masuk dalam daftar pemimpin terkorup di dunia. Hal ini semakin menandakan bahwa kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Refleksi Sosial dan Pendidikan
Ustadzah Iffah Ainur Rochmah dan Ustadz Iwan Januar menyampaikan refleksi dari segi sosial dan parenting. Pendidikan bagi anak-anak, perempuan, dan keluarga masih jauh dari perbaikan karena didominasi oleh liberalisme. Akibatnya, kondisi perempuan, anak-anak, dan keluarga semakin menjauh dari nilai-nilai syariat. Fenomena seperti childfree, mental illness, emansipasi wanita, dan independent women menjadi penyebab fenomena resesi seks, yang berdampak pada menurunnya angka kelahiran dan mengarah pada krisis kependudukan, selain disebabkan oleh faktor ekonomi.
Refleksi Ekonomi
Bung Rizal, pakar ekonomi dari INDEF, menyoroti isu kenaikan PPN 12% yang sangat berdampak pada perekonomian masyarakat. Hampir seluruh barang terkena pajak, yang tentu saja memengaruhi semua sektor, terutama keluarga menengah ke bawah. Alih-alih memperbaiki perekonomian dan menjaga kesehatan APBN, kebijakan ini justru semakin membebani rakyat. Ketimpangan sosial pun semakin nyata, dengan yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Ini adalah efek dari kapitalisme yang hanya menghasilkan kesenjangan. Meskipun pemerintah memberikan subsidi listrik dan pembagian beras 10 kg setiap bulan, hal itu tidak cukup untuk menutupi dampak kebijakan pajak.
Refleksi Dunia
Pada skala global, kondisi saudara-saudara Muslim kita juga belum terselesaikan. Uighur, Rohingya, dan Afghanistan masih teraniaya dan terjajah, sementara identitas keislaman mereka terus dihapuskan. Di Gaza, Palestina, genosida terus berlangsung sejak 7 Oktober 2023. Korban syahid telah mencapai lebih dari 45 ribu jiwa, sementara blokade oleh Zionis menyebabkan rakyat Palestina kelaparan. Tragedi ini menjadi sejarah kelam, di mana genosida dipertontonkan tanpa ada pertolongan.
Bung Hasbi Azwar, Ph.D., pakar hubungan internasional, menyebutkan bahwa para penguasa Muslim seolah buta, tuli, dan bisu, karena tidak menjawab seruan pertolongan dari anak-anak Palestina. Mereka terbelenggu oleh nasionalisme dan hubungan diplomatik.
Mencari Solusi dari Akar Masalah
Berbagai persoalan penting yang menimpa umat membutuhkan solusi mendalam dari akarnya, bukan sekadar tambal sulam. Sistem yang ada saat ini jelas gagal total dalam menyelesaikan permasalahan individu, masyarakat, dan negara.
Lantas, refleksi seperti apa yang harus kita ambil dari tahun kemarin?
Pakar cendekiawan Muslim, Ustadz Ismail Yusanto, menyampaikan bahwa dalam Al-Qur'an terdapat dua pelajaran penting, yaitu berkah atau rahmat, dan fasad. Berkah adalah segala hal yang membawa kebaikan, sedangkan fasad adalah segala hal yang membawa kerusakan. Secara fitrah, manusia menginginkan kebaikan dan menolak keburukan.
Namun, bagaimana cara mendapatkan keberkahan dan menghindari keburukan?
Jawabannya adalah dengan menaati Allah SWT. Dalam hadits Qudsi disebutkan:
"Jika Aku ditaati, Aku akan ridha. Jika Aku ridha, Aku akan memberikan berkah yang tiada batas."
Keberkahan berbanding lurus dengan ketaatan, sedangkan ketaatan membutuhkan aturan. Aturan ini hanya berasal dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-A'raf ayat 96:
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Kerusakan yang terjadi di dunia ini adalah akibat perbuatan manusia sendiri. Hal ini ditegaskan dalam Surat Ar-Rum ayat 41:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar."
Maka, mencari akar masalah menjadi hal yang sangat penting. Tidak cukup hanya melihat dari perspektif politik, ekonomi, atau filosofi. Semua perspektif tersebut harus dipahami secara benar agar kesalahan tidak terus berulang. Sebagaimana kata bijak: "Jangan mengharapkan hasil yang berbeda jika caranya tetap sama."
Allahu a'lam bish shawab.
COMMENTS