Fir’aun Minder Pagar laut
Fir’aun Minder
Fir’aun berdiri di atas singgasananya, sorot matanya tajam menatap lautan luas yang membentang di hadapannya. Angin padang pasir membawa bisikan kemenangan yang selama ini mengiringi langkahnya. Ia adalah penguasa Mesir, raja yang dielu-elukan sebagai dewa, didukung para penyihir terbaik yang mampu membuat mata manusia tertipu oleh sihir mereka. Ia telah menundukkan siapa pun yang menentangnya, bahkan berani menantang Tuhan yang dibawa Musa.
Namun, di dalam benaknya, masih tersimpan kenangan pahit yang berusaha ia kubur dalam-dalam—kematian tragisnya di dasar laut. Fir’aun memang telah mati, tubuhnya tenggelam dalam gelombang yang ia kira tak akan bisa menelannya. Tapi, anehnya, ia masih bisa berpikir, masih bisa merenungkan kesalahannya, seolah jiwanya terus dihukum dalam kesadaran yang tak berujung.
Hingga suatu hari, sebuah kabar datang dari dunia lain—dari sebuah tempat bernama Konoha. Kabar itu sampai kepadanya melalui bisikan para arwah penasaran yang mengembara di antara dimensi. Katanya, ada seseorang di sana yang lebih hebat darinya. Seorang pria yang mampu membelah lautan lebih jauh darinya, bukan hanya 20 kilometer, tapi 30 kilometer! Dan lebih mengejutkan lagi, pria itu tidak tenggelam seperti dirinya.
Fir’aun terkejut. Matanya membelalak, seakan-akan ia bisa merasakan kembali air asin yang menggenangi paru-parunya. "Siapa dia?" geramnya, suaranya menggema dalam kehampaan. "Penyihir macam apa yang bisa melakukan itu?"
Tidak ada yang bisa menjawab. Para arwah hanya berbisik samar, menyebut-nyebut tentang kekuatan yang belum terungkap, penyihir yang tak diketahui asal-usulnya.
Fir’aun merasakan sesuatu yang jarang ia rasakan selama hidupnya: minder. Selama ini, ia menganggap dirinya makhluk paling perkasa, tak tertandingi oleh siapa pun. Tapi kini, ia sadar bahwa ada seseorang yang lebih hebat.
Ia ingin marah, ingin menantang orang itu, ingin kembali hidup untuk membuktikan bahwa ia masih yang terkuat. Tapi ia hanya bisa terjebak dalam kehampaan, dalam bayangan kejayaan yang perlahan-lahan memudar.
Di tengah keputusasaan itu, lautan yang menelannya dulu seakan menertawakannya. Gelombang terus beriak, seakan membisikkan satu kebenaran yang selama ini ia abaikan: selalu ada yang lebih kuat di luar sana.
Dan kini, Fir’aun tak lagi sekadar mati. Ia kalah.
COMMENTS