Kemunafikan Ideologi Pancasila
Kemunafikan dalam Ideologi: Mengaku Ekonomi Pancasila, Mempraktikkan Ekonomi Neoliberal
Pierre Suteki
Pendahuluan
Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa Indonesia tidak menganut pemahaman ekonomi neoliberal. Prabowo berujar, ekonomi Indonesia disusun atas dasar asas kekeluargaan. Pemerintah pun tidak hanya menjadi wasit, tetapi bertanggung jawab, harus mengayomi, memimpin, mempelopori pengelolaan dan manajemen ekonomi, serta menjaga segala kekayaan bangsa Indonesia.
"Dalam pemahaman ekonomi sekarang, wajib dan pantas untuk menyebut ekonomi kita adalah Ekonomi Pancasila," kata Prabowo saat berpidato dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Bappenas, Senin, 30 Desember 2024.
Pertanyaan yang muncul adalah: "Benarkah selama ini kita yang konon berideologi Pancasila itu menerapkan prinsip-prinsip dasar ideologi tersebut? Benarkah ekonomi Indonesia diselenggarakan dengan Sistem Ekonomi Pancasila (SEP)? Cukupkah dengan adanya 'perencanaan' lalu kita mengklaim kita telah menerapkan SEP?" Jawabannya adalah: Tidak! Kita belum menerapkan SEP, melainkan lebih sangat condong pada Sistem Ekonomi NeoLiberal. Sila ke-5 Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 tidak menjadi acuan utama penyelenggaraan ekonomi di Indonesia, melainkan ekonomi liberal atau pun neoliberal. Itulah akibatnya jika kita hanya menyandarkan ideologi buatan manusia (Sosialisme, Liberalisme, dan juga Pancasila). Sebab, beberapa penyebab ideologi itu gampang sekali menjadi kolaps, sekarat (dying), bahkan mati.
Kelemahan Ideologi Buatan Manusia
Apabila hanya sekadar ideologi buatan manusia, maka ideologi tersebut dapat saja rapuh. Rapuhnya KESAKTIAN ideologi buatan manusia dijelaskan secara apik oleh John T. Jost (New York University) dalam The American Psychological Association (2006), disebabkan karena empat faktor, yaitu:
- Kurangnya Konsistensi Logis dan Koherensi Internal Sikap Politik Warga Biasa
- Sebagian Besar Orang Tidak Tergerak oleh Panggilan Ideologis
- Tidak Ada Perbedaan Substantif dalam Isi Filosofis atau Ideologis
- Tidak Ada Perbedaan Psikologis Fundamental Antara Pendukung Ideologi Kiri dan Kanan
Penjelasan lebih lanjut tentang empat faktor tersebut
Saya mencoba mengelaborasi penyebab keruntuhan sebuah ideologi dengan menyitir pendapat John T. Jost di atas dan akan saya gunakan sebagai pisau analisis terkait dengan ideologi Pancasila.
PERTAMA
Klaim pertama memiliki dampak yang paling besar dalam psikologi, dan ini berkembang dari argumen terkenal Converse (1964) bahwa sikap politik warga biasa tidak memiliki konsistensi logis dan koherensi internal yang seharusnya ada jika mereka terorganisir menurut skema ideologi yang rapi.
Contoh: Ketuhanan Yang Maha Esa bisa dimaknai esa dalam pluralitas; ketuhanan berkebudayaan, komunisme ateis diberi ruang gerak leluasa. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab: HAM diredam; Persatuan Indonesia: bercerai berai, pseudo unity, mudah terbakar laksana daun kering; Kedaulatan rakyat: kedaulatan partai, demokrasi tak langsung: demokrasi langsung; Keadilan sosial: keadilan individual dan sebagainya. Yang ada adalah: LOGICAL INCONSISTENCY.
KEDUA
Klaim kedua terkait dengan fakta bahwa sebagian besar orang tidak tergerak oleh panggilan ideologis, dan kredo abstrak yang terkait dengan liberalisme dan konservatisme tidak memiliki potensi motivasional yang kuat.
Contoh: Dulu #2019GantiPresiden yang mengedepankan kebebasan HAM, ternyata tetap ada persekusi, pelarangan yang tak mendasar, padahal sudah dijelaskan secara hukum bahwa itu bukan makar, melainkan hak kebebasan berbicara. Dengan Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 sudah diingatkan bahwa negara akan terjun bebas menjadi negara kekuasaan (bukan kedaulatan rakyat dan hukum). Pembubaran Ormas (HTI dan FPI) tanpa due process of law bertentangan dengan sila 2 tentang HAM, berhak berkumpul dan berserikat, dan lain-lain. Perppu Corona No. 1 Tahun 2020 juga banyak kontroversi, tetapi tetap disetujui oleh DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020. Belum lagi soal UU Cipta Kerja yang sangat kontroversial. Yang ada: WEAK MOTIVATION.
KETIGA
Klaim ketiga adalah bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan substansial antara pandangan ideologis kiri dan kanan, baik dalam politik maupun ekonomi.
Contoh: Tidak ada perbedaan substantif antara ideologi Pancasila, sosialisme komunis, dan liberalisme kapitalis dalam hal berpolitik, berekonomi, dan berbudaya. Semua berada dalam area abu-abu. Kita mengaku berdemokrasi ekonomi Pancasila, tetapi semua lini ekonomi kita dasarkan pada liberalisme kapitalisme, sedangkan di lini pemerintahan terkesan dijalankan secara represif otoritarian layaknya komunisme yang menyebabkan esensi atau sendi demokrasi mati. Lalu, adakah perbedaan substantifnya? Yang ada adalah PRAGMATISM IDEOLOGY.
KEEMPAT
Klaim keempat, yang pertama kali muncul sebagai kritik terhadap Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson, dan Sanford (1950) dalam The Authoritarian Personality, adalah bahwa tidak ada perbedaan psikologis yang fundamental antara pendukung ideologi kiri dan kanan.
Contoh: Tidak ada perbedaan psikologis yang fundamental antara para pendukung ideologi sayap kanan dan sayap kiri. Perangai, karakter, dan gaya mereka dalam meraih dan memperebutkan kekuasaan sama saja. Tanpa visi jangka panjang, apalagi kehidupan setelah mati. Yang ada adalah: OPPORTUNIST PROPONENTS.
Kesimpulan
Secara teoretik, bahkan terbukti secara empirik bahwa ideologi buatan manusia itu sangat rapuh sehingga rentan untuk kolaps, dying, bahkan mati. Semua kembali pada pendukungnya, apakah mereka mempunyai pemahaman yang baik yang disertai dengan kejelasan blue print, kepatuhan dan loyalitas, serta dinamikanya untuk menyesuaikan dengan konteks kontemporer yang terjadi tanpa menyimpangi prinsip-prinsip dasar ideologi tersebut. Sepanjang para pendukung ideologi Pancasila tidak mempunyai tekad tersebut, mustahil dalam kehidupan mereka tercermin prinsip-prinsip ideologi tersebut. Yang ada adalah paradoks dari ideologi tersebut bahkan saya pernah menulis buku: "Pancasila 404: Not Found". Mau kita menemukan SEP? Benahi dulu moralitas para pejabat dan rakyatnya untuk membaca, memahami dan mengamalkan ideologi yang dianut tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam konteks global agar tidak terwujud slogan: "Mengaku Sistem Ekonomi Pancasila, Menerapkan Sistem Ekonomi NeoLiberal". Itu namanya munafik, yakni munafik dalam ideologi. Mampukah BPIP menjebol kejumudan praktik paradoksal ideologi Pancasila yang telah mengerak di dasar ekonomi liberal (neoliberal) selama lebih dari 57 tahun sejak 1967?
Tabik,
Semarang, Selasa: 31 Desember 2024
Penulis: Dosen MK Pancasila di Universitas Pekalongan (Unikal)
Referensi
- Prabowo Subianto, Pidato Musrenbang di Bappenas, 30 Desember 2024.
- Jost, J. T. (2006). "The Enduring Appeal of Political Ideologies," American Psychological Association.
- Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33.
- Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017; UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020.
- Suteki, P. (2024). Pancasila 404: Not Found. Semarang: Penerbit Lokal.
COMMENTS