Oleh : Yenny Haifa | Ibu Rumah Tangga Fantastis posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Oktober 2022 tercatat sebesar 390,2 mili...
Oleh : Yenny Haifa | Ibu Rumah Tangga
Fantastis posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada
akhir Oktober 2022 tercatat sebesar 390,2 miliar US$. Dinyatakan mengalami penurunan dibandingkan dengan posisi ULN pada September 2022, yakni sebesar 395,2 miliar US$. Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan ULN sektor publik maupun sektor swasta. ULN pemerintah pada Oktober 2022 masih melanjutkan tren penurunan sejak bulan Maret 2022. Posisi ULN pemerintah pada bulan Oktober 2022 sebesar 179,7 miliar US$ lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, yakni sebesar 182,3 miliar US$.
Penurunan ULN Indonesia pada bulan Oktober 2022 dan tren penurunan ULN pemerintah sejak Maret 2022 ini dianggap sebagai suatu hal yang positif. Apalagi posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali, mengingat hampir seluruhnya merupakan ULN jangka panjang, dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah.
Hal ini tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto yang tetap terjaga dikisaran 29,6% menurun dibandingkan dengan rasio bulan sebelumnya yakni 30,1%.
Sebagaimana diketahui berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang dibatasi sebesar 60%.
Dalam sistem kapitalisme, utang pemerintah dianggap sebagai satu hal yang wajar karena dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan. Sesungguhnya utang sebagai sumber pemasukan utama negara adalah satu paradigma yang keliru. Dilihat dari sisi hubungan luar negeri, utang dapat menjadi alat pengendali negara pemberi utang. Posisi ULN bukan sekadar urusan pinjam meminjam biasa antar negara. Abdurrahman Al Maliki menyebutkan, bahwa ULN adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara.
Utang berjangka pendek akan dapat memukul mata uang domestik negara yang mengalami pengurangan dan akhirnya memicu kekacauan ekonomi, serta kerusuhan sosial dalam negeri. Hutang jangka pendek ini jatuh tempo pembayarannya tidak menggunakan mata uang domestik, melainkan harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk hard currency, maka dari itu negara pengutang tidak akan mampu melunasi hutangnya dengan dolar AS. Jika pun dipaksakan membeli dolar, maka dollar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal. Akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal.
Utang jangka panjang juga berbahaya, karena semakin lama jumlahnya, semakin menggila. Jika ini terus berlanjut, akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara pengutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya. Pada saat inilah negara pemberi utang akan menyeret aset-aset strategis negara pengutang sebagai alat pelunasan, hingga akan dapat mengintervensi kebijakan publik negara pengutang.
Adapun dari sisi dalam negeri, utang sebagai sumber pemasukan negara menunjukkan adanya salah kelola sumber daya alam yang notabene sangat melimpah. Pengelolaan sumber daya alam yang tepat sesungguhnya dapat menjadi sumber pemasukan negara dalam skala besar. Namun penerapan sistem ekonomi kapitalis telah menjebak negara berkembang menjadi negara tidak berdaya. Karenanya negara menjadi tidak dapat mengatur kepemilikan dengan benar. Potensi-potensi alam yang sejatinya adalah milik umum atau rakyat justru dikuasai individu atau korporasi. Rakyat pun dibiarkan ikut menderita dalam tumpukan utang luar negeri.
Keadaan ini jauh berbeda dengan penerapan sistem politik ekonomi Islam yang menjadikan kekhilafahan Islam yang kita dapati jejaknya pada saat kejayaannya itu kuat, berdaulat dan tidak tunduk pada asing. Hal ini didukung dengan sistem keuangan negara yang tidak bertumpu pada utang maupun pajak, melalui mekanisme baitul mal. Baitul mal adalah sebuah sistem keuangan negara yang memiliki beragam penerimaan yang memicu produktifitas.
Terdapat tiga pos penerimaan besar dalam baitul mal, masing-masing memiliki pemerincian pos yang beragam pula. Meliputi pos penerimaan dari zakat mal, dari aset kepemilikan umum, dan dari aset kepemilikan negara. Pemasukan baitul mal akan selalu mengalir dari berbagai sumber dan anti ribawi. Karenanya negara tidak akan terbebani jeratan utang dan berikut bunganya. Kemandirian dan kedaulatan negara pun dapat terjaga, sehingga potensi penutupan kebutuhan anggaran dari ULN pun dapat dihindari.
Khilafah juga akan menyelesaikan berbagai problem ekonomi yang memicu terjadinya defisit anggaran, diantaranya dengan menekan segala bentuk kebocoran anggaran seperti korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat. Khilafah juga akan mencegah segala bentuk pemborosan dana, proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang dan yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat, tidak akan dijalankan. Khilafah akan melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian, serta ketahanan pangan, sehingga terhindar dari ketergantungan impor.
Sistem ini sudah dijalankan lebih dari 1300 tahun. Keberhasilan sistem ekonomi di masa kejayaan khilafah nampak pada masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz. Di masa itu negara bahkan kesulitan mendistribusikan zakat mal, karena kesejahteraan rakyatnya sudah merata. Demikian pula berbagai kisah lainnya dalam peradaban kekhilafahan Islam. Tidak ada sistem mana pun yang dapat menandinginya hingga hari ini.
Berdasarkan semua itu, jeratan utang pada keuangan negara hanya bisa diselesaikan dengan menerapkan sistem keuangan Islam yang dijalankan oleh institusi khilafah.
Wallahua’lam bishshawaab.
COMMENTS