Syarif Addi khilafah
Oleh : Ahmad Khozinudin | Pejuang Khilafah
Sebenarnya, saya ingin menulis sejak dua hari yang lalu. Karena tudingan jahat dan fitnah keji terhadap ajaran Islam Khilafah, apalagi dilontarkan dalam konteks terjadinya bencana, jelas tidak boleh didiamkan.
Sayangnya, hingga hari ini (Senin, 5/12) belum ada yang membantah atau menanggapi statemen ngawur yang disampaikan oleh Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDI). Padahal, tudingan jahat dan fitnah keji terhadap ajaran Islam Khilafah ini, jika didiamkan akan dianggap sebuah kebenaran dan dapat dijadikan dasar legitimasi untuk menyerang Khilafah dan para pengembannya.
Sebagaimana dikabarkan oleh sejumlah media, Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDI) membuat bantahan pandangan kelompok radikal yang menyebut bahwa bencana alam yang terjadi di Tanah Air akibat pemerintah tidak menerapkan sistem Khilafah.
"Ironisnya, musibah atau bencana terutama di Indonesia justru 'dimainkan' kelompok radikal dengan mengeklaim bencana itu akibat tidak diterapkannya sistem khilafah," kata Ketua Umum ADDI Moch Syarif Hidayatullah di Jakarta, Sabtu (3/12/2022).
Lalu Syarif yang juga dosen UIN Jakarta ini mengatakan, keputusan musibah atau azab apakah berhubungan dengan persepsi dan perspektif masih belum final, karena kondisi sekarang dengan zaman para nabi berbeda. Dia mengklaim, dahulu Nabi mendapat jawaban langsung dari Allah SWT apakah musibah atau azab.
Ini adalah pandangan yang sangat naif bahkan menyesatkan. Pandangan ini, akan menolak berbagai ketentuan syariat yang berkenaan dengan bencana, atau bahkan meluas pada berbagai aspek lainnya, hanya dengan dalih Nabi sekarang tidak ada.
Contohnya, ketika Allah SWT berfirman dalam QS Ar Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)"
Maka menurut penalaran Syarif ADDI, kita tidak boleh mengaitkan adanya bencana saat ini dengan maksiat yang dilakukan manusia, karena Nabi tidak ada. Kalau dahulu, Nabi masih ada, maka kaitan antara bencana dan maksiat itu diterangkan langsung oleh Nabi.
Logikanya, karena sekarang tidak ada Nabi, maka tidak ada informasi langsung dari Nabi yang mengaitkan bencana dengan maksiat dengan deskripsi yang kongkret. Karena itu, menurut Syarif fenomena bencana saat ini tidak dapat dikaitkan dengan maksiat, melainkan hanya fenomena alam biasa, hanya karena gerakan lempengan ini dan itu.
Logika Syatif ADDI ini jelas keliru, disebabkan:
Pertama, bahwa benar Nabi Muhammad SAW telah tiada, namun syariat Islam telah duturunkan sempurna. Nabi memang telah meninggal, tetapi al Qur'an dan as Sunnah akan tetap abadi.
Melihat peristiwa bencana, tidak kemudian wajib ditanyakan langsung kepada Nabi apa penyebabnya, namun bisa diambil jawabannya dari seluruh syariat yang dibawa Nabi baik yang bersumber dari Al Qur'an maupun as Sunnah. Para Sahabat adalah generasi terbaik, setelah Nabi meninggal para sahabat tetap mengikuti nabi dengan menjadikan al Qur'an dan as Sunnah sebagai tuntunan.
Misalnya, pada saat terjadi gempa pada era Khalifah Umar RA. Saat itu, Nabi Muhammad telah meninggal dunia, tidak ada deskripsi kongkret yang berasal langsung dari Nabi yang menyatakan gempa pada era Khalifah Umar RA adalah karena maksiat.
Namun, Khalifah Umar Bin Khatab ketika itu menyimpulkan gempa karena maksiat, dan segera mengingatkan kaum muslimin untuk bertaubat dari maksiat, sebagaimana hal itu juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saat terjadi gempa di Madinah.
Kedua, hari ini, seluruh masalah kehidupan bisa diketahui akar masalah dan solusinya dengan melakukan pengkajian terhadap al Qur'an dan as Sunnah. Meskipun Nabi tidak ada, tetapi peninggalan Nabi berupa al Qur'an dan as Sunnah akan mampu memberikan jawaban dan solusi bagi seluruh permasalahan umat manusia.
Sehingga, siapapun yang merujuk al Qur'an dan as Sunnah, pada hakekatnya mengikuti dan merujuk Nabi Muhammad SAW. Artinya, ketiadaan Nabi SAW tidak menghalangi manusia untuk taat, sebagaimana dikehendaki Nabi.
Misalnya saja, saat ini tidak ada seorangpun yang melihat Nabi sholat. Kemudian, ada yang berdalih semua praktik sholat saat ini yang dijalankan umat Islam tidak bisa disebut sesuai praktik sholat Nabi, karena Nabi telah tiada, Nabi tidak dapat memferifikasi praktik sholat umat Islam saat ini.
Ini jelas pandangan yang sesat. Karena, benar bahwa Nabi sudah tidak ada, tapi warisan Nabi berupa al Qur'an dan As Sunnah abadi. Dari keduanya, umat Islam dapat mempelajari dan mempraktikan amalan sholat sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi. Terlepas ada ijtihadiyah, tetapi semua ada rujukan dalilnya dan sah dipraktikan dan disebut sholat yang sejalan dengan ajaran Nabi.
Yang konyol, Syarif ADDI ini mengklaim bencana yang bertubi-tubi saat ini karena pemerintah tidak menerapkan Khilafah. Lalu, dari mana rujukannya?
Selama ini tidak ada yang ngomong begitu, kecuali si Syarif ADDI sendiri. Jelas, ini hanyalah narasi karangan si Syarif untuk mengedarkan tuduhan dan fitnah keji terhadap ajaran Islam Khilafah. Apalagi, dibumbui dengan stigma kelompok radikal.
Syarif ikut menarik Hizbut Tahrir dalam narasi radikal ini. Sebuah tuduhan keji, nir empati dan bahkan konfirmasi kebencian yang mendarah daging terhadap ajaran Islam Khilafah.
Syarif juga mendaur ulang pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD soal Khilafah tak baku, sambil menyitir praktik pemilihan Khulafaur Rasyidin yang berbeda teknisnya. Padahal, dalam Islam untuk mendapatkan jabatan Kekhilafahan telah diatur dalam norma yang baku, yakni dengan akad Bai'at.
Abu Bakar RA menjadi Khalifah setelah dibai'at oleh kaum muslimin. Umar RA menjadi Khalifah setelah dibai'at oleh kaum muslimin. Utsman RA menjadi Khalifah setelah dibai'at oleh kaum muslimin. Ali RA menjadi Khalifah setelah dibai'at oleh kaum muslimin. Semua khalifah kaum muslimin baik dari Bani Umayyah, Abassyiyah, hingga Turki Ustmani, mendapatkan jabatan Khalifah setelah dibai'at oleh kaum muslimin.
Soal teknis pembaiatan, itu perkara rincian. Ada yang menggunakan ahlul hal wal aqdi seperti saat pembaiatan Abu Bakar RA, ada yang melalui pencalonan tunggal seperti era Umar RA, ada beberapa calon bersaing seperti era Utsman RA, dan seterusnya. Tetapi pada akhirnya, semuanya harus dibaiat. Baiat inilah, kaidah baku untuk mengisi jabatan kekhilafahan.
Sama seperi jabatan Presiden, diperoleh melalui sistem Pemilu. Baik langsung maupun lewat parlemen. Tidak ada yang mempersoakan baku tak baku dalam Pemilu, baik dengan sistem distrik, langsung, perwakilan, dll. Kenapa hanya proses pembaiatan Khalifah saja yang dipersoalkan dengan narasi baku tak baku?
Sistem kerajaan juga dengan Putra Mahkota. Tapi praktiknya, putra mahkota ada yang jalur laki laki, maupun perempuan. Ada jalur permaisuri, ada pula yang selir asal bernasab pada Raja dan laki-laki. Ini juga tidak dipersoalkan, karena kaidah bakunya adalah sistem putra mahkota.
Sekali lagi, masalah negeri ini -dalam berbagai dimensinya- adalah karena negeri ini tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah. Karena itu, solusinya tentu saja dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan penerapan ini harus melalui institusi Khilafah, bukan sekulerisme demokrasi.
Walau bukan berarti, setelah Khilafah tegak tidak ada bencana, tidak ada maksiat. Manusia tempatnya salah dan lupa, karena itu penting membimbing dan menjaga manusia dengan syariat.
Nabi saja yang menerapkan Islam secara kaffah di Madinah, juga terjadi bencana. ada kasus pencurian dan zina. Namun, hanya terjadi satu gempa di Madinah sepanjang 10 tahun era kekuasaan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Khalifah Umar menjabat Khalifah selama 13 tahun. Selama itu, hanya terjadi satu kali gempa.
Bandingkan dengan era rezim saat ini, berapa kali gempa dalam setahun? berapa kasus pencurian? perzinahan? kenapa maksiat yang terjadi di negeri ini oleh Syarif ADDI seperti korupsi, pembunuhan, narkoba, judi, dll, tidak dipersoalkan? Kenapa malah mengedarkan narasi fitnah keji dan tuduhan jahat kepada ajaran Islam Khilafah? [].
COMMENTS