sengketa agraria
Oleh : Sari Ramadani (Aktivitas Muslimah)
Embun pagi membasahi bumi. Burung-burung pun bernyanyi bak menyambut hangatnya sinar mentari. Sungguh indahnya alam di negeri ini. Namun sayang, kecintaan manusia hanyalah soal materi, sehingga lupa bahwa tidak ada yang abadi. Mati-matian memperebutkan kekuasaan seolah-olah tidak akan mati. Tanpa pernah hirau dengan kondisi para petani juga rakyat di negeri ini.
Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan tentang kronologi 40 orang petani yang mendapat penyiksaan dan juga ditangkap secara paksa di Provinsi Bengkulu Kabupaten Mukomuko, pada Kamis 12 Mei 2022. Koalisi Masyarakat Sipil pun menduga bahwa anggota BRIMOB melakukan penindasan terhadap anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) dan masyarakat di sekitar area lahan dengan memukul dan menangkap. Dari kejadian ini, sudah terkonfirmasi satu orang yang mengalami luka robek di bagian kepala akibat mendapat penyerangan oleh aparat. (kabartrenggalek.com, 15/05/2022).
Menanggapi hal ini, Akar Law Office (ALO) menyebutkan bahwa aparat telah menyalahgunakan kekuasaannya. Seharusnya pihak kepolisian bersikap netral dan tidak menangkap masyarakat. Begitu juga dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh anggota brimob yang menggunakan seragam lengkap dengan membawa laras panjang telah diduga kuat mengintimidasi para petani yang sedang melakukan aktivitas panen di lahannya. (infonegeri.id, 15/05/2022).
Sungguh miris mendengar 40 petani yang ditangkap oleh anggota brimob, yang parahnya lagi, para petani ini tidak hanya ditangkap, tetapi juga disiksa setelah kedapatan memanen tandan sawit di lahan sengketa. Para petani ini beralasan, bahwa panen tersebut adalah hasil dari kerja kerasnya namun, aparat lebih condong berpihak pada korporasi yang menjadi lawan bagi para petani dalam konflik agraria ini.
Sengketa agraria yang terjadi dalam alam kapitalisme merupakan derita yang tidak berkesudahan. Karena, agregasi sebuah modal yang salah satunya adalah lahan, merupakan ciri dari kapitalisme. Para pemodal akan mati-matian berpikir bagaimana memonopoli lahan demi mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara, penguasa hari ini hanyalah sebagai regulator semata. Mereka akan memberikan izin usaha kepada para kapital untuk menguasai lahan. Hingga akhirnya, hal ini mengakibatkan kondisi tidak ideal antara lahan yang dikuasai korporasi dengan para petani juga masyarakat secara umum.
Jika melihat dari penanganan sengketa agraria ini, begitu banyak kerugian yang harus ditanggung oleh para petani. Bahkan, di saat para petani kehilangan lahan miliknya, mereka sama sekali tidak mendapat ganti rugi yang setimpal. Bukan itu saja, penangkapan dan kekerasan yang diterima oleh para petani ini seolah menjadi solusi utama bagi aparat untuk menjalankan kepentingannya. Padahal, para petani ini hanyalah ingin mempertahankan hak-hak miliknya atas tanah yang mereka punya.
Dari sini dapat kita lihat bahwa model kepemimpinan yang menindas akan lebih dipertahankan sebab, segala kebijakan diterapkan bukan berdasarkan kepentingan seluruh masyarakat, tetapi untuk memenuhi keinginan segelintir pihak. Padahal dalam Islam, status kepemilikan itu jelas, terlebih kepemilikan lahan. Bila dalam tiga tahun sebuah lahan tidak digarap, maka ini akan ditarik oleh negara agar kemudian dapat diserahkan kepada masyarakat yang dirasa mampu untuk menggarapnya. Sehingga dari sini jelaslah, bahwa solusi tunas agraria ada pada Islam, bukan sistem yang hari ini sedang diterapkan.
Selain itu, negara dan seluruh aparat pemerintahan dalam sistem Islam wajib berpihak pada hukum syara dan tidak pula mengambil sebuah keuntungan dari segala proses dalam melayani masyarakat. Karena penguasa dalam sistem pemerintahan Islam, paham betul jika masyarakat adalah amanah yang harus diurusi dan dipenuhi hak-haknya, juga kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Dalam hal ini, penguasa juga tidak akan memberi kesempatan kepada pihak-pihak tertentu untuk dapat menguasai lahan yang menjadi kepemilikan umum, misalnya saja tanah yang menjadi jalan umum, mengandung sumber air, barang tambang yang melimpah, dan lain sebagainya, yang tentu saja ini tidak boleh dikuasai oleh orang-orang tertentu. Juga soal aparat, dalam sistem pemerintahan Islam, seluruh aparat penegak hukum akan menjalankan tugasnya dengan ketentuan hukum syarak. Sehingga, tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang dapat menyakiti bahkan menyiksa masyarakat demi kepentingannya sendiri atau segelintir orang.
Maka benarlah jika solusi terbaik dalam sengketa agraria yang terus terjadi dan mustahil terselesaikan dalam sistem hari ini, hanyalah dengan kembalinya Islam secara keseluruhan sebagai sistem kehidupannya. Sudah saatnya kita bangun dan sadar dari tidur yang panjang untuk ikut andil dalam memperjuangkan tegaknya Islam, agar tidak ada lagi kezaliman yang terus merajalela.
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya. Tidak ada hak bagi orang yang memagari (tanah mati) setelah tiga tahun.” (h.r. Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).
Wallahualam bissawab.
COMMENTS