logo halal diganti
OLEH : GITA AGUSTIANA, S.Pd ( AKTIVIS PERUBAHAN )
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuat terobosan taktis dengan mengambil alih wewenang penerbitan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Bukan hanya itu, Kemenag juga menetapkan logo halal terbaru yang berlaku nasional sejak 1 Maret 2022.
Logo Halal baru ini mendapat banyak kritik ditengah masyarakat. Dikarenakan sangat berbeda dengan bentuk dan warna dengan sebelumnya. Label Halal Indonesia berbentuk gunungan dengan warna keunguan, dan menghilangkan tulisan Majelis Ulama Indoensia (MUI) serta bentuk tulisan Arab halal kurang familiar dan susah dibaca.
Wakil ketua umum Fadli Zon menyatakan Logo baru itu terkesan etnosentris dan kelihatan menyembunyikan tulisan Halalnya. Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas. Dia mengatakan banyak orang yang nyaris tidak lagi tahu itu adalah kata halal dalam bahasa arab karena terlalu mengedepankan kepentingan artistik untuk mengangkat budaya. Padahal logo halal harusnya jelas dan terang, dan mudah dipahami masyarakat, bukan yang penuh filosofi. Karena ini bukanlah perkara main-main, tetapi perkara syariat.
Namun ada hal yang lebih penting lagi, adanya logo baru ini ditakutkan akan semakin membebani pelaku-pelaku usaha. Salah satunya akan menyulitkan konsumen luar negeri untuk memahami produk ekspor Indonesia yang sudah bersertifikasi halal, sebab sudah menjadi bahasa universal umat Islam tulisan halal adalah dalam bahasa Arab. Ditambah lagi dengan produsen dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berorientasi ekspor produk halal ke negeri Islam akan memerlukan biaya sosialisasi dan promosi lebih besar untuk menyampaikan kepada konsumen tentang produk mereka adalah halal dan sudah bersertifikasi.
Selain itu, dalam hal peralihan wewenang sertifikat halal kepada BPJPH perlu dipertimbangkan. Sebab, BPJPH yang dibawah Kemenag untuk mengeraskan suara azan masih dipermasalahkan lantas dengan ketetapan apa pemerintah/BPJPH membuat standar halal untuk produk umat Islam. Tentu hal ini sangat mengkhwatirkan.
Penetapan sertifikat halal ditentukan oleh tiga aktor utama, yaitu BPJPH dalam wilayah administrasi, LPH dalam wilayah scientific dan MUI dalam wilayah agama. Walaupun peran MUI tidak dihapuskan, tetapi ada dua pihak lain yang mengambil keputusan.
Kapitalisme yang syarat akan kepentingan akan menghalalkan segala cara, termasuk dalam penetuan sertifikat halal. Halal menurut MUI, belum tentu menurut BPJPH, begitupun sebaliknya. Sehingga jaminan halal bagi konsumen menjadi kabur karena yang diutamakan hanyalah kepentingan saja. Hal ini tentu sangat berbeda ketika islam diterapkan.
Di dalam Islam, pemerintah akan memastikan setiap produk yang beredar adalah halal. Produk haram tidak memiliki tempat kecuali pada tempat-tempat tertentu yang memang menjadi kebutuhan umat lain selain Islam. Setiap produk yang keluar dipasaran sudah dipastikan kehalalannya. Bahkan disetiap pasar akan selalu ada syurthah (polisi) yang berkeliling untuk memastikan transaksi muamalah setiap warga negara sesuai dengan syariat yang Islam. Hal ini tentu berlaku di dalam kehidupan negara yang menerapkan syariat Islam. Umat tidak kesulitan dalam menemukan produk halal.
Dalam khilafah Islamiyah, banyak ditemui kasus pedagang yang berbuat curang namun dengan cepat dapat diketahui sebab banyaknya pengawas yang beredar di pasar. Mulai dari mencurangi timbangan, sampai.mencampur susu murni dengan air agar terlihat lebih banyak, namun semua itu dapat dihentikan dengan pengawasan yang ketat dan jaminan yang diberikan pemerintah agar masyarakat mendapatkan produk yang terbaik. Apalagi untuk menjamin produk halal, tentu hal ini merupakan keutamaan dan prioritas bagi negara Islam.
Maka, untuk produk yang tidak bisa dikonsumsi dan digunakan umat Islam, maka negara memiliki aturan khusus akan hal ini. Barang tersebut hanya boleh beredar dikalangan kaum tertentu, dan tidak diperdagangkan bebas. Setiap jaminan produk halal akan ditangani dengan serius mengingat hal itu merupakan kewajiban terhadap umat Islam, melanggarnya berarti telah melanggar syariat Islam pula. Maka, sejatinya umat Islam seharusnya mendapatkan kemudahan akan hal tersebut dan hal itu hanya akan terjadi di dalam sistem Islam, Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bishshawab. []
COMMENTS