polemik sesajen
Oleh : Asyifa’un Nisa (Mahasiswi Pascasarjana dan Pegiat Komunitas Literasi Islam)
Pasca terjadinya letusan gunung Merapi di akhir tahun 2021, publik kembali dihebohkan dengan beredarnya video seseorang berinisial HF yang didapati menendang sebuah sesajen di sekitar lokasi erupsi gunung Merapi. Aksi HF ini, memunculkan sejumlah respon dari masyarakat setempat dan juga para netizen Indonesia. Tak sedikit pihak yang mengkritik dan menyayangkan, hingga menghujat tindakan yang dilakukan HF. Menurut
Bupati Lumajang Thoriqul Haq, tindakan yang dilakukan HF berpotensi menimbulkan kegaduhan dan mengganggu kestabilan sosial ditengah masyarakat, baik masyrakat lumajang maupun masyarakat Indonesia pada umumnya.
Bupati Lumajang juga memerintahkan aparat kepolisian hingga para relawan di gunung Merapi turut andil dalam pencarian dan penangkapan HF. Setelah sebelumnya sempat menjadi buronan hingga kasusnya diambil alih oleh Polda Jatim, saat ini HF telah berhasil diamankan oleh jajaran Ditreskrim Polda Jatim di Bantul pada Kamis (13/01/2022). Dilansir dari suarajogja.id Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin meminta masyarakat dan aparat penegak hukum untuk memaafkan tindakan penendang sesajen di Gunung Merapi. “Saya sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga memohon kepada seluruh masyarakat Indonesia terutama masyarakat Kabupaten Lumajang di Semeru, tolong maafkan saudara HF ini,” ungkapnya, Jumat (14/1/2022). Al Makin menganggap pemberian maaf bakal menunjukkan masyarakat Indonesia telah hidup selaras dan harmonis.
Lalu bagaimana sejatinya pandangan Islam? Jelas ritual pemberian sesajen, tumbal dan semacamnya merupakan tindakan yang diharamkan oleh Islam, karena termasuk kedalam perbuatan syirik atau menyekutukan Allah. Berbagai dalil telah menjelaskan secara gamblang bahwa suatu persembahan yang diberikan kepada selain Allah adalah haram. Terlebih lagi perbuatan tersebut disertai dengan keyakinan terhadap makhluk lain yang dianggap memiliki kemampun memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya “Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (TQS. al-Jin: 6).
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.” (HR. Muslim no. 1978). Imam al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan, “Makna laknat (al-la’n) adalah terhempas dan masuk ke jalan kemurkaan, yakni terhempas dan terjauhkan dari Allah, di akhirat mendapat iksa dan di dunia ia terputus dari rahmat dan taufik-Nya” (Al-Mufradat fii Gharbi Al-Qur’an).Berdasarkan ayat dan hadits diatas telah jelas menunjukkan ancaman yakni laknat Allah dan dosa yang besar bagi pelakunya.
Lantas mengapa aktivitas seperti ini seolah menjadi tradisi turun-temurun yang dianggap sakral dan wajib dilakukan dalam budaya Indonesia? Sejatinya aktivitas pemberian sesajen, tumbal dan semacamnya menjadi hal yang wajar dalam pengaturan kehidupan sekuler kapitalis hari ini. Dalam kehidupan sekuler kapitalis, aturan agama menjadi perkara yang dipisahkan dari pengaturan kehidupan manusia. Selain itu penerapan sistem sekuler yang disokong oleh 4 pilar kebebasan, termasuk salah satunya kebebasan beraqidah menjadikan masyarakat melupakan aturan agama sebagai landasan. Aqidah masyarakat dengan mudah rusak akibat keyakinan-keyakinan yang menyimpang dan mendatangkan murka Allah.
Bahkan opini masyarakat saat ini digiring untuk menghujat tindakan penendangan tersebut dan menganggap aktivitas pemberian sesajen sebagai suatu kewajaran yang boleh dilakukan dalam tradisi budaya di Indonesia. Tindakan ini juga dianggap sebagai suatu yang tidak bertengtangan dengan agama padahal jelas hal ini merupakan perusakan aqidah yang tersistem. Sebagaimana yang terjadi di kota Malang, Jawa timur pada Sabtu (22/01/2022) diadakan forum doa lintas agama dan orasi budaya berjudul “Ngaji Budaya, 1000 sajen dan dupa” sebagai bentuk pembenaran atas aktivitas pemberian sesajen dan dupa. Tentunya ini menjadi ajang pengarusan isu moderasi beragama, toleransi yang kebablasan dan semakin menampakan arus kebebasan dalam sistem sekuler kapitalis. Dalam sistem sekuler kapitalis, standar benar salah hanya berpatokan pada akal terbatas manusia yang mangagungkan budaya semata tanpa menghiraukan aturan yang telah Allah turunkan.
Sungguh sistem hari ini sangat jauh berbeda dengan penerapan sistem Islam yang mampu menjamin akidah kaum muslim dan menghentikan berbagai kesyirikan yang terjadi. Sebagaimana Islam telah mampu merubah masyarakat jahiliyyah arab menjadi masyarakat yang seutuhnya dipimpin oleh ideologi Islam dalam naungan daulah Islam. Sejatinya Islam tidak hanya datang sebagai agama ritual semata, tetapi Islam juga memiliki seperangkat aturan yang sempurna untuk mengatur kehidupan manusia. Maka solusi tuntas polemik sesajen ini bukan hanya sebatas kebolehan atau keharamannya semata, tapi jauh kepada pentingnya penerapan aturan Islam yang menyeluruh sebagai suatu aturan kehidupan dalam naungan daulah khilafah. Allah berfirman,
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (Qs. An-Nisa : 13)
Hadanallah waiyyakum, Wallahu a’lam bishawwab
COMMENTS