kekerasan seksual
Oleh: Hasriyana, S.Pd (Pemerhati Sosial Asal Konawe)
Mengawali tahun ini rupanya negeri ini masih saja diselimuti berbagai macam persoalan yang kelihatannya tidak ada akhirnya. Misalnya saja pergaulan bebas yang sampai saat ini masih jadi masalah di tengah remaja. Pun pelecehan seksual, pemerkosaan sampai pada perzinahan yang notabene atas dasar suka sama suka. Hal itu baru beberapa dari sekian banyaknya persoalan yang belum ada akhirnya. Miris!
Dikutip dari media Telisik.id (27/12/2021) bahwa sepanjang tahun 2021, Kepolisian Resor (Polres) Kabupaten Konawe menangani setidaknya 35 kasus tindak kekerasan terhadap anak.
Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Konawe AKBP Wasis Santoso S.IK melalui Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Polres Konawe, AKP Mochamad Jacub Nursagli Kamaru mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak yang dimaksud yakni tindak pidana di mana anak menjadi korban, seperti persetubuhan anak, pencabulan, bawa lari anak serta kekerasan fisik terhadap anak. Ia pun menambahkan bahwa kasus persetubuhan anak yang lebih cenderung terjadi di Konawe.
Hal tersebut baru yang nampak dan terlapor, tentu tidak menutup kemungkinan jumlahnya masih banyak lagi yang tidak terlapor. Apalagi kasus kekerasan seksual kini menjadi momok menakutkan dan sekaligus sebagai aib di tengah masyarakat.
Persoalan tersebut jelas bukan tanpa sebab, mengingat ada faktor yang membuat makin meningkatnya kekerasan seksual, di antaranya:
Pertama, paham kebebasan yang diusung dalam sistem sekuler saat ini, nyatanya menjadi faktor tumbuh suburnya kekerasan seksual. Bagaimana tidak, kebebasan berekspresi di mana wanita boleh saja membuka auratnya atau bahkan tanpa memakai pakaian pun dianggap bagian dari nilai seni yang tak masalah jika diekspos. Sehingga tidak heran berseliwerannya faktor pembangkit syahwat yang menjadikan seseorang terdorong melakukan kejahatan seksual, meskipun awalnya tidak ada niat namun ada kesempatan di depan mata.
Kedua, banyaknya tayangan di TV yang minim edukasi bahkan tidak mendidik. Sehingga anak-anak remaja saat ini tidak sedikit melakukan perzinahan meskipun suka sama suka, di antaranya dari tontonan di TV atau media lainnya yang tidak berfaedah, seperti adanya adegan making love, kiss dan lain-lain. Film orang dewasa yang ditayangkan pun semakin vulgar, misalnya saja film "Layangan Putus". Adegan yang seharusnya menjadi konsumsi suami/istri ini justru menjadi konsumsi umum, bahkan hingga bisa diakses anak kecil.
Ketiga, tidak terpisahnya kehidupan laki-laki dan wanita. Dalam kehidupan sekuler saat ini bercampur baur merupakan hal yang biasa di tengah masyarakat, jalan bersama teman lelaki, berwisata bersama dengan teman wanita dan lain sebagainya, tanpa ada batasan dan keperluan yang penting. Semua dilakukan karena atas dasar kata "teman". Padahal kejahatan seksual bisa saja terjadi dari orang terdekat sekalipun, tak terkecuali dari keluarga sendiri, apalagi hanya sekadar teman.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam kehidupan antara pria dan wanita pada dasarnya terpisah kecuali ada keperluan yang dibolehkan syara, serta tetap pada aturan batasan pria dan wanita, misalnya tolong menolong. Sehingga tidak akan ditemukan antara pria dan wanita jalan bersama dengan yang bukan mahramnya. Pun antara pria dan wanita ada kewajiban menutup aurat pada batasan tertentu. Oleh karena itu tidak ada istilah seni, lalu seseorang membuka auratnya untuk bahan eksploitasi. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 59 yang artinya, "Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Begitu juga dalam sabda Rasullullah Saw., "Janganlah sekali-kali seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahramnya" (HR. Bukhari).
Di dalam sistem Islam pula, negara mengatur tontonan apa saja yang boleh ditayangkan. Tugas ini dilakukan oleh departemen penerangan yang akan memfilter setiap siaran yang ditayangkan. Tontonan yang ditayangkan pun sifatnya adalah mendidik masyarakat.
Selain itu, tak ada istilah kebebasan berekspresi, walau atas nama seni yang hal itu melanggar syariah. Seperti megumbar aurat atau hal-hal lain yang bertentangan dengan aturan-Nya.
Dengan demikian, tidak mudah menciptkan kondisi yang bebas dari kasus kekerasan seksual jika peran individu, masyarakat begitu juga negara kurang bersinergi. Belum lagi masih banyaknya hal-hal yang memicu tindakan kekerasan seksual tersebut. Karenanya, penting peran ketiga pihak tersebut, terlebih negara yang memiliki kekuatan hukum dan pembuat kebijakan dalam menindak tegas kasus-kasus tersebut. Wallahu a’lam.
COMMENTS