jargon keadilan demokrasi
Oleh: St. Hartanti (Aktivis Dakwah Kampus)
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menegakkan, menuntaskan, dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku pelanggaran HAM berat. Komitmen tersebut dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini disampaikan Presiden dalam sambutannya pada acara Peringatan Hari HAM Sedunia Tahun 2021, di Istana Negara, Jumat lalu. (https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/dari-istana/presiden-jokowi-tegaskan-komitmen-pemerintah-dalam-penuntasan-pelanggaran-ham-berat)
Akan tetapi, janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat nyatanya dinilai hanya omong kosong belaka. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, terus mempertanyakan komitmen pemerintah menyelesaikan kasus tragedi 1965. Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung menilai, selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu justru melemah bahkan cenderung jalan di tempat. Ia mengaku bahwa Jokowi tidak pernah membuka peristiwa 65 secara direct. (https://kbr.id/nasional/10-2021/penanganan_kasus_ham_berat_selama_pemerintahan_jokowi/106600.html)
Tak hanya itu, upaya pengusutan guna penyelesaian kasus pelanggaran HAM di negeri ini menemui sejumlah kendala. Pembela HAM kerapkali mengalami teror, diantaranya diduga ada keterlibatan negara. Misalnya dilakukan TNI, Polri hingga pejabat pemerintah. (https://www.suara.com/news/2021/12/13/160334/klaim-janji-tuntaskan-kasus-ham-berat-jokowi-ditantang-keluarkan-keppres)
dilansir dari cnndotindonesiadotcom, Salah satu kasus pelanggaran HAM oleh pihak kepolisian yang paling kontroversial adalah penembakan terhadap 4 laskar FPI dalam insiden KM 50. Komnas HAM mengungkapkan 4 orang laskar FPI dalam kondisi masih hidup dalam penguasaan resmi petugas negara yang kemudian ditemukan tewas, maka peristiwa tersebut bentuk pelanggaran HAM berat. Penembakan sekaligus 4 orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain untuk menghindari jatuh korban jiwa mengindikasikan ada tindakan unlawful killing terhadap laskar FPI.
Kasus pelanggaran HAM tidak akan pernah selesai. Kasus-kasus yang terdahulu belum selesai, sudah bermunculan kasus yang baru. Ini membuktikan bahwa tidak ada keseriusan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM. Penindakan kasus tersebut juga bersifat subjektif. Bagaimana tidak, jika yang menjadi korban adalah muslim, rakyat kecil, oposisi rezim,orang-orang yang tidak seirama dengan kebijakan penguasa, maka dianggap sebagai pelanggaran biasa yang tidak menjadi prioritas utama. Bahkan, definisi tentang pelanggaran HAM berat pun disesuaikan dengan standar yang mereka buat, walau sudah menyebabkan korban meninggal dunia. Janji manis beserta klaim keberhasilan penindakan pelanggaran HAM oleh pemerintah sejatinya hanya pencitraan untuk menenangkan kemarahan publik saja.
Sederet fakta diatas menunjukkan kepada kita betapa rumit dan sulitnya mencari keadilan di era sistem demokrasi. Pelanggaran HAM terus-menerus terjadi, tanpa ada kejelasan tindak pidana. Keadilan diera sistem demokrasi hanya sebatas mimpi. Jargon keadilan untuk rakyat faktanya omong kosong belaka. Demokrasi yang lahir dari sistem kapitalisme-sekularisme hanya menjadikan manfaat dan materi sebagai tujuan utama. Akibatnya, keadilan seperti barang mewah yang hanya boleh dimiliki segelintir orang saja.
Ini jelas berbeda dengan islam. Islam memandang bahwa jaminan keadilan adalah hak umat yang wajib dipenuhi negara, tanpa pandang bulu, sekalipun yang bersalah adalah anak dari penguasa.
Hal ini dikarenakan, islam dan keadilan adalah satu-kesatuan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am [6]:115 yang artinya: “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.”
Tidak aneh jika para ulama mendefinisikan keadilan (al-‘adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari islam. Imam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah, baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya. (Ibnu Taimiyah, as-Siyasah as-Syar’iyyah, hlm. 15)
Secara historis pun, keadilan tanpa pandang bulu sangat dirasakan oleh kaum muslimin ketika islam diterapkan secara kaffah. Misalnya kisah Khalifah Umar bin Khathab yang dengan tegasnya menghukum kembali anaknya di Madinah setelah sebelumnya dihukum cambuk di Mesir oleh Amr bin Ash akibat khilaf minum khamr lalu berzina. Adapula kisah Khalifah Ali bin Abi Thalib yang saat itu bersengketa dengan Yahudi tentang baju besi, namun harus mengalah karena tidak mempunyai bukti yang cukup kuat, padahal saat itu ia seorang penguasa.
Belum lagi, negara islam benar-benar menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Inilah potret keadilan yang berhasil diwujudkan negara Islam tatkala menerapkan syariat secara kaffah ditengah-tengah masyarakat. Keadilan dirasakan tak hanya oleh umat Islam, namun juga oleh kafir dzimmi yang hidup dibawah naungan negara Islam. Wallahua’lam
COMMENTS