hukuman Islam untuk predator seks
Oleh: Hanin Syahidah
Seolah tak cukup berbagai masalah di negeri ini dengan ulah manusia. Setelah sebelumnya viral kasus pegawai KPI pusat mengalami pelecehan seksual dan perundungan yang dilakukan oleh sesama pegawai, tak lama lembaga ini pun kembali menjadi sorotan. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) kembali menjadi sorotan lantaran sering mengeluarkan pernyataan atau kebijakan yang mengundang kontroversi. Sebagai contoh tak tegasnya KPI terhadap pengelola media yang mengundang Saipul Jamil tampil distasiun televisi.
Sebagai lembaga penegakan aturan terkait konten penyiaran yang seharusnya berpihak kepada kepentingan publik, KPI justru kerap menyulut kemarahan publik. Bahkan masyarakat menilai, KPI tidak diperlukan lagi. Alhasil, KPI yang mengobarkan api, KPI pula yang berusaha memadamkan apinya. Nama ketua KPI pusat, Agung Suprio pun akhirnya menjadi trending di Twitter pada Jumat (10/9/2021). Banyak warganet yang kesal karena menganggap Agung lebih peduli terhadap pelaku pencabulan ketimbang korbannya yang mengalami trauma. (suara.com, 10/9/2021).
Aturan di negeri ini telah jelas. Larangan kejahatan seksual berupa perbuatan cabul terhadap anak diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (BPSDM.kemenhukam.go.id). Meskipun pedofil sudah bebas dari penjara, bukan berarti urusan selesai dengan dihukumnya pelaku predator. Pasalnya, akan ada efek traumatik bagi korban yang bisa berdampak dalam jangka Panjang. Bahkan, bisa seumur hidupnya.
Dikutip dari laman alodokter.com, dr. Sienny Agustin menyebutkan bahwa ada beberapa kondisi atau penyakit yang dapat dialami oleh korban sodomi (pencabulan yang dilakukan penyuka sesama jenis laki-laki dengan laki-laki (homoseks) antaranya: Fisura anal atau anus robek, kutil dubur, Iritasi usus besar, nyeri perut dan nyeri panggul kronis, Penyakit menular seksual, seperti HIV, hepatitis B, dan gonore, gangguan otot anus, seperti buang kotoran di celana (encopresis) atau nyeri saat buang air besar.
Selain dampak secara fisik, pencabulan dengan sodomi ini juga dapat menyebabkan dampak psikis dan emosional bagi korbannya. Berikut ini adalah dampak psikis yang dapat dialami korban sodomi: rasa takut berlebihan, kecemasan, mudah marah dan gugup, PTSD (post-traumatic syndrome disorder), gangguan tidur, gangguan makan, rasa percaya diri rendah, depresi, stress.
Trauma yang dirasakan oleh korban sodomi juga bisa berdampak pada pekerjaan, termasuk penurunan kinerja atau bahkan tidak mampu bekerja sama sekali. Pada anak-anak, dampak sodomi bisa jadi menghambat aktivitas belajar mereka di sekolah. Selain itu, ada efek samping jangka panjang yaitu hilangnya rasa percaya diri, bingung dengan identitas seksualnya. Apabila trauma yang dialami cukup parah, sodomi dapat menyebabkan korbannya mengalami kecanduan alkohol, penyalahgunaan narkoba, dan bahkan mencoba untuk bunuh diri. Bisa juga sekarang dia jadi korban maka nanti dia akan menjadi pelaku. Sungguh mengerikan, sehingga hukuman penjara bagi pelaku seolah tidak bisa menghapus trauma berkepanjangan bagi korbannya.
Perilaku kekerasan seksual dan seksual menyimpang tetap menjadi momok menjijikkan di negeri ini. Negeri mayoritas berpenduduk muslim ini menjadi pesakitan karena rakyatnya harus hidup dalam sistem sekuler-demokrasi yang menjunjung kebebasan berperilaku. Ibarat ikan yang tak hidup di habitat seharusnya, akhirnya ikannya menggelepar.
Sistem hidup demokrasi-sekularistik menjadikan perilaku manusia dalam kehidupannya liberal niragama. Agama hanya urusan privat individu dengan Tuhannya, tidak berlaku dalam mengatur urusan interaksi publik. Akhirnya pergaulan bebas melanda dan menjadi ancaman terberat bagi perkembangan kualitas generasi muda negeri ini. Padahal mereka adalah penerus dan pemegang estafet kepemimpinan negeri ini ke depan.
Lantas bagaimana negeri ini bisa terbebas dari berbagai perilaku rusak tersebut? Jika negeri ini tidak lagi berkiblat pada sistem demokrasi ini, tentu akan sangat mudah menuntaskan berbagai problematika yang ada. Karena sejatinya sistem hidup demokrasi inilah yang melahirkan kondisi ini. Tayangan media yang minim nilai-nilai positif dan lebih banyak menjajakan hedonisme, budaya permisif yang kian memperburuk kondisi yang ada. Maka patut kiranya kita mulai berpikir satu sistem hidup alternatif yang bisa melahirkan ketenangan dan kesejahteraan bagi manusia.
Islam sebenarnya menawarkan solusi yang jitu terkait hukuman bagi pelaku pelecehan seksual dan penyimpangan seksual -dalam hal ini kasus pencabulan sesama jenis (homoseks)-. Islam memiliki upaya pencegahan dan penanganan dengan hukuman had atau ta'zir terkait hal ini. Dari sisi pencegahan Islam sangat tegas mengaturnya. Seperti hadis Rasulullah: "Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki (HR. Imam Bukhori).'' Sehingga perilaku yang menyimpang itu dicegah sejak awal. Karena mereka baik laki-laki dan perempuan harus berjalan sesuai dengan fitrahnya masing-masing sejak dia dilahirkan.
Sementara jika kasus pencabulan itu terjadi, maka hukuman yang ada dalam Islam cukup tegas untuk memberi efek jera didalamnya berup had atau ta'zir. Dalam Syariat Islam ada istilah liwath dan musahaqah yakni homoseks (penyuka sesama jenis). Liwath sama dengan gay sedangkan musahaqah disebut dengan lesbian. Dalam Islam para ulama’ sepakat dengan keharaman liwath, yang merupakan perbuatan keji dan merusak akhlak. Tetapi, dalam masalah hukuman para ulama’ berbeda pendapat apakah di had atau di ta’zir.
Imam Maliki, Hanbali dan Syafi’i dalam satu riwayat mereka berpendapat bahwa pelaku liwath di had dengan dirajam sampai mati baik muhshan maupun ghairu muhshan. Dalam riwayat lain Imam Syafi’i berpendapat bahwa pelaku liwath di had dengan had zina, yaitu didera (dicambuk) 100 kali jika ghairu muhshan dan dirajam jika muhshan. Sementara Ibnu Taimiyyah berpendapat menghukumnya dengan rajam baik yang menjadi objek maupun yang menjadi subjeknya. Pendapat tersebut sudah sesuai dengan tujuan hukum yaitu memelihara masyarakat, upaya pencegahan, upaya pengajaran dan balasan atas perbuatan. Sedangkan kalau istinbath hukum yang digunakan adalah hadis. Kemudian mengapa Ibnu Taimiyyah berpendapat seperti itu, dikarenakan adanya perbedaan antara zina dengan liwath dan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan. (eprints.walisongo.ac.id).
Ada juga hukuman yang diberikan oleh pelaku liwath itu dengan membakarnya atau melemparnya dari bangunan yang paling tinggi di wilayah itu sampai mati sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh sahabat terbaik Rasulullah yang mujahid Islam yang tangguh Khalid bin Walid. Alkisah Khalid bin Walid pernah menemui pelaku homoseks di salah satu daerah di pinggiran Arab. Seorang pria dinikahi (disetubuhi) sebagaimana halnya wanita.
Dikutip dari buku Ad-Daa wad Dawaa karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Khalid bin Walid menulis surat kepada Abu Bakar ash-Shiddiq ra. tentang peristiwa ini. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabat. Ketika itu, pendapat yang paling dominan dalam masalah ini adalah milik Ali bin Abi Thalib. Dia berkata, "Tidak ada yang melakukan hal ini kecuali satu umat saja dan kalian telah mengetahui apa yang Allah Swt. perbuat terhadap mereka. Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa dia harus dibakar." Lantas, Abu Bakar menuliskan hal tersebut kepada Khalid bin Walid, hingga kemudian Khalid bin Walid pun membakar pelaku homoseks tersebut. (Riwayat al-Ajurri, al-Baihaqi, dan Ibnu Hazm).
Abdullah bin Abbas berkata, "Dicari bangunan yang paling tinggi di daerah tersebut, lalu pelaku homoseks dilemparkan dari atasnya dalam kondisi terbalik (kepala di bawah dan kaki di atas), sambil dilempari dengan batu." (Riwayat ad-Duri, al-Ajurri, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi). Ibnu Abbas mengambil hukuman had tersebut dari hukuman Allah Swt. kepada kaum Luth. Sahabat ini meriwayatkan dari Nabi saw., bahwasanya beliau bersabda:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
"Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah kedua pelakunya." (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis ini diriwayatkan para penyusun kitab Sunan, serta disahihkan Ibnu Hibban dan selainnya. Imam Ahmad juga berdalil dengan hadits ini. Sanadnya sesuai dengan syarat al-Bukhari.
Mereka melanjutkan, "Telah ditetapkan hadits dari Nabi SAW beliau bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ, لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ, لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
"Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth."
Laknat sebanyak tiga kali dalam satu hadis tidak terdapat untuk pelaku zina. Nabi juga melaknat sejumlah pelaku dosa besar, tetapi tidak pernah mengucapkan laknat lebih dari sekali. Namun, beliau melaknat pelaku homoseks dan menegaskannya sebanyak tiga kali. Para sahabat Nabi saw. sepakat bahwa hukuman pelaku homoseks adalah dibunuh. Tidak ada sahabat yang berselisih dalam hal ini. (Republika.co.id, 29/6/2020).
Begitulah Islam memberikan solusi secara jelas terkait masalah ini. Karena Islam berasal dari Allah yang Maha mengetahui bagaimana fitrah manusia sebagai makhluk ciptaa-nNya. Pun dengan hukuman yang diberikan sebegitu kerasnya, karena efek buruk yang dihasilkan juga sangat besar dan harus dihentikan. Maka, hukum mana lagi yang akan kita ambil selain hukum yang berasal dari Allah Zat Pencipta alam semesta ini? Yang kepada-Nya nanti semua akan dipertanggungjawabkan, yakni di Yaumil Hisab. Wallahu a'lam bi ash-shawab
COMMENTS