solusi islam dalam pertanian
Oleh : Ira Fuji Lestari
Baru-baru ini, beredar video yang memperlihatkan seorang petani cabai mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Video viral tersebut sempat beredar di akun instagram @andreli48 pada Rabu (4/8) lalu. Kemarahannya ini diduga akibat harga cabai di pasaran turun. Petani tersebut kesal dan melampiaskannya dengan cara menginjak-injak tanaman cabai di kebunnya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta, Hempri Suyatna menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi. Berdasarkan data yang dihimpunnya pada Januari-Juni 2021, Indonesia melakukan impor cabai hingga mencapai 27.851,98 ton atau senilai Rp8,5triliun. Adapun India merupakan pemasok paling besar.
Dirinya mengatakan negara sebenarnya bisa memfasilitasi pengembangan industri industri olahan cabai dan juga membangun sistem atau teknologi penyimpanan cabai agar tahan lama. Namun sayangnya tidak pernah dilakukan. (ayoyogya.com, 29/8/2021)
Ketua Forum Petani, Klasa Janu Riyanto mengeluh harga cabai di tingkat petani merosot hingga 50% dari harga normal, yaitu dari harga kisaran Rp.11.000 per kilogram anjlok keharga Rp.5000 per kilogram. (Yogyakarta.ayoindonesia.com, 29/8/2021)
Petani merupakan orang yang berjasa pada setiap bangsa. Tanpa petani, bagaimana bangsa bisa menjamin pangan rakyatnya? Wajar, petani disebut sebagai sokoguru pangan.
Di tengah pandemi, sektor pertanian di gadang-gadang menjadi salah satu sektor yang bisa bertahan. Sayangnya, kondisi memprihatikan tengah terjadi di hadapan kita, dimana impor pangan justru menyerbu komoditas pertanian Indonesia. Padahal, impor merupakan musuh terberat bagi petani. Bagi negara penganut demokrasi kapitalisme, pemenuhan kebutuhan negaranya sangat bergantung pada impor. Walaupun di dalam negaranya memliki SDA dan SDM yang mumpuni untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Anjloknya harga cabai disebabkan oleh sepinya pasar (akibat PPKM) dan Impor. Di dalam negara kapitalisme, impor dipandang sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Hal inilah yang membuat negara menjadi ketergantungan. Alih alih menstabilkan harga cabai yang sedang anjlok, pemerintah menyolusinya dengan membuka lebar kran impor cabai. Inilah bentuk lepas tanggung jawab pemerintah dalam mengurus rakyat, khususnya petani.
Rezim demokrasi telah gagal mengurus pemenuhan kebutuhan rakyat. Karena mereka lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi. Padahal, tak pantas rasanya ketika penderitaan dan kesedihan menyelimuti para petani, pejabat malah menikmati keuntungan dalam jumlah besar.
Negara seharusnya melindungi para petani dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan para petani di seluruh Indonesia, seperti menyediakan lahan, bibit, pupuk, perairan hingga menjamin hasil panen bisa terdistribusi dengan baik hingga sampai ke tangan konsumen/rumah tangga. Selain itu, di tengah permasalahan umat yang semakin pelik, tentu saja umat membutuhkan solusi yang menjadikan hidup mereka lebih baik. Solusi tersebut hanya berasal dari Islam.
Di dalam Islam negara memiliki peran mengurus (ra’in) dan menjamin kebutuhan dasar rakyat, baik pangan, pendidikan dan kesehatan. Dalam memenuhi kebutuhan pangan, penguasa di dalam negara Islam tidak akan bergantung pada komoditas impor. Sebab hal ini akan melemahkan potensi SDA dan SDM yang ada di dalam negara Islam sendiri. Penguasa akan mengoptimalkan itu semua, dengan cara :
Pertama, menggali potensi para petani dengan baik.
Kedua, menggunakan SDA dengan mumpuni
Ketiga, memberikan modal kepada para petani
Keempat, memberikan lahan yang banyak untuk ditanami
Kelima, memberikan pupuk yang berkualitas baik
Keenam, membuat irigasi untuk pengairan lahan
Ketujuh, mengatur pendistribusian hasil pangan hingga sampai ke tangan konsumen.
Demikianlah cara Islam dalam rangka mendukung sektor pertanian. Ketika Islam diterapkan secara kafah, maka petani akan sejahtera dan pertanian pun tak harus bergantung pada impor. Dengan begitu, keberkahan dari langit dan bumi akan senantiasa menyinari dunia.
Allahua’lam bi showwab.
COMMENTS