islam bukan liberalisme
Oleh : al-Ustadz Sa’id Ridwan al-Qaisi (Abu ‘Imad)
Akidah atau pemikiran mendasar, adalah yang membentuk berbagai konsep tertentu pada diri manusia. Misalnya, wanitu itu realitasnya sama menurut setiap orang, akan tetapi cara pandang terhadap wanita, menurut perspektif pemikiran mendasar tertentu pasti berbeda-beda.
Seorang muslim memahami wanita sebagai ibu pengatur urusan rumah tangga, wanita adalah kehormatan yang wajib dijaga dan sebagai sosok pendidik generasi sejak dini.
Sedangkan kapitalisme memahami wanita adalah sesuatu yang bisa taksir nilainya secara materi, artinya wanita adalah komoditas penghasil keuntungan; jadi wanita itu boleh menjadi seorang model atau peragawati, pramugari, sekretaris pribadi, penari dan objek kenikmatan seksual. Jadi nilai seorang wanita akan semakin tinggi sesuai manfaat kegunaannya.
Demikian pula berkaitan dengan konsep lainnya, termasuk paham kebebasan yang sangat ditentukan oleh faktor pemikiran mendasar tertentu.
Islam memahami kebebasan adalah kebalikan dari perbudakan, yang tetap terbatas. Kebebasan adalah kepemilikan atas kehendak dan bertindak sesuai kehendak dirinya. Siapa saja yang memiliki kehendak dan mampu bertindak sesuai kehendak dirinya, maka dia bebas. Siapa saja yang tidak memiliki kehendak dan tidak bisa bertindak sesuai kehendak dirinya, namun dikendalikan orang lain, maka dia adalah seorang budak.
Kapitalisme sebagai ideologi yang dilandasi pemikiran mendasar pemisahan agama dari kehidupan alias sekularisme, mendefinisikan konsep kebebasan sebagai keterbebasan dari segala macam batasan, baik batasan agama, moral maupun kemanusiaan, dan nilai yang diakui hanyalah materi belaka.
Sehingga muncullah kebebasan beragama, berpendapat, berbisnis dan berperilaku; artinya manusia bisa berbuat sesuai keinginannya, meskipun melakukan zina, penyimpangan seksual dan kehinaan, atau berjudi dan bertransaksi riba.
Paham tersebut sedikit pun bukan berasal dari Islam, dan bertentangan dengan Islam. Sebagaimana sosialisme atau demokrasi tidak dianggap berasal dari Islam, maka demikian pula paham kebebasan pun tidak dianggap berasal dari Islam. Kaum muslimin haram menggunakan paham kebebasan, meskipun dibatasi dengan label syariah sebagaimana klaim pihak tertentu, sebab termasuk mendustakan konsep yang sebenarnya.
Sebetulnya, hamba Allah sendiri adalah penghormatan dan sebutan Allah bagi para nabi. Kita semua adalah hamba Allah dan merasa mulia dengan sebutan ini. Allah tanpa memberikan pilihan membatasi kita dengan hukum wajib dan haram. Allah pula yang membatasi kita dengan hukum mubah, dan bukan kita yang berwenang. Allah berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut lidah kalian secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (QS. An-Nahl [16]: 116).
Kaidah syariah menyebutkan:
الأصل في الأفعال التقيُّد في الحكم الشرعي، وأي خروج عن الحكم الشرعي معصية وقد تصل إلى الكفر
Hukum asal perbuatan adalah terikat hukum syara, segala pembangkangan terhadap hukum syara adalah kemaksiatan, dan kadang menghantarkan kepada kekufuran.
Perhatikanlah, berbagai undang-undang yang ada justru membatalkan kebebasan, sehingga merampas kebebasan dan memaksa bertingkah laku sesuai undang-undang, jadi hakikatnya kebebasan itu tidak mungkin ada bersama undang-undang.
Karena mustahil masyarakat eksis tanpa undang-undang, maka dengan demikian tidak ada kebebasan. Penyebutan istilah kebebasan sendiri adalah omong kosong dan penipuan publik. Berbagai undang-undang menjadikan manusa tunduk pada pembuat hukum; jika pembuat hukum ini adalah Allah, maka manusia adalah hamba Allah, ini adalah kemuliaan dan kehormatan bagi manusia.
Jika pembuat hukum ini adalah manusia, maka mereka hamba manusia lainnya, ini merupakan kekufuran, perbudakan, kerendahan dan penghinaan kehormatan, serta kemerosotan manusia pada level binatang.
Walhasil, Islam mengeluarkan seorang hamba dari menyembah manusia yang lain, menjadi hanya menyembah Allah, tentu hal ini cukup sebagai kenikmatan dan kemuliaan. Wallahu a’lam.
(Halaman facebook, 20/9/2021, Alih bahasa: Yan S. Prasetiadi)
COMMENTS