kemenag agama bahai
Oleh : Soelijah Winarni
Beredarnya ucapan selamat dari Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas kepada komunitas agama Baha'i pada hari raya Naw-ruz 178 EB memantik pro kontra. (detiknews.com, 27 Juli 2021).
Kemenag lewat tulisan Abdul Jamil Wahab, Peneliti Puslitbang Kemenag, 30 Juli 2021 menyatakan, bahwa agama Baha'i, seperti agama-agama lainnya seperti Sikh, Tao, Yahudi dan lainnya berhak hidup di Indonesia, dan Negara harus menghormati dan menjamin hak sipil mereka.
Ucapan selamat itu juga disambut hangat dan harus diteruskan sebagai perlindungan dan pelayanan sipil bagi berbagai agama-agama lain, oleh pengusung kebebasan beragama, melalui Penrad Siagian, Peneliti dari Paritas Istitute (detiknews.com, 30/7/2021).
Sikap kontrapun muncul dari kalangan masyarakat umum, tokoh hingga politisi, menganggap pidato Menag off-side seperti yang disampaikan oleh MUI, hendaknya pemerintah tidak salah mensikapi status Baha'i, dengan menyamaratakan pensikapannya dengan enam agama resmi di Indonesia.
Hal serupa disampaikan oleh ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, melihat keanehan dari ucapan tersebut, beliau mempersilahkan jika Kemenag hendak merangkul semua agama, namun hanya diucapkan pada perayaan agama yang resmi diakui pemerintah (detiknews.com, 30/7/2021).
Demikianlah jika sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi, maka kebebasan beragama haruslah dijamin. Hal ini berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Agama apapun menjadi wajib dilindungi. Negara harus menjamin semua agama yang berkembang, meski telah nyata agama tersebut dinyatakan sesat. Apa yang dilakukan oleh Menag Yaqut dan aktivis pembela kebebasan beragama sudah sesuai dengan prinsip demokrasi.
Bagi pihak yang kontra kebebasan dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) karena sama dengan melakukan intoleransi mayoritas atas minoritas, diskriminatif dan menghalangi bebas beragama.
Jadi jelaslah kebebasan beragama menumbuh suburkan aliran sesat yang akhirnya bertransformasi menjadi agama baru seperti antara lain Ahmadiyah dan Baha'i.
Umat diminta permisif dalam mensikapi keberadaan aliran dan agama-agama baru yang timbul.
Memang tak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam), (QS Al Baqarah [2] :256) namun Islam melarang seorang muslim mengikuti ritual keagamaan dari agama lain termasuk mengucapkan hari raya kepada mereka yang non-muslim.
Hal ini tentu saja sangat berbahaya karena mengancam akidah umat muslim yang diakibatkan oleh masifnya serangan kebebasan dan moderasi beragama yang disuarakan.
Hal ini akan berbeda dalam negara yang diatur berdasar sistem Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Khalifah sebagai kepala negara bersifat sebagai perisai, tempat seluruh warganegara berlindung. Rasulullah SAW, bersabda "Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang dibelakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah'Azza wa Jalla, dan adil maka dengannya, dia akan mendapat pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya." (HR Bukhari dan Muslim).
Negara Khilafah wajib menjaga aqidah umat Islam dari berbagai penyimpangan, pendangkalan, serta penyesatan. Syariat Islam yang diterapkan berfungsi menjaga, agama, akal, jiwa, harta, kehormatan dan keamanannya.
Khilafah menjaga agama lainnya serta memberikan perlindungan pada pemeluk agama lain untuk tetap melaksanakan keyakinannya dan dapat hidup berdampingan dengan tenang bersama kaum muslim.
Terhadap aliran-aliran sesat, negara Khilafah akan menghentikan aktifitasnya, membubarkan jamaah dan organisasinya serta membinanya agar kembali pada pemahaman aqidah yang lurus. Menunjukkan kesesatan dan kepalsuan ajaran sesat yang diyakini dengan bukti dan argumentasi yang sesuai fitrah, memuaskan fikiran, sehingga dicapai ketentraman hati.
Wallahua'lam bishawwab
COMMENTS