hukum marital rape
Oleh: Nur Rahmawati, S.H. (Penulis dan Pemerhati Keluarga)
Keluarga adalah instansi terkecil, di mana suami sebagai kepala rumah tangga atau pemimpinnya. Kebahagian keluarga adalah tanggungjawab suami dan istri, yang dapat diraih jika keluarga memiliki misi dan visi yang sama, yaitu menjadikan keluarga sebagai sarana beribadah kepada Allah Swt. Sayangnya, sakralnya pernikahan ini dinodai oleh tidak dijalankannya tanggungjawab masing-masing, alhasil pada saat kewajiban melayani suami justru dianggap sebagai marital rape (pemerkosaan suami terhadap istri).
Dimasukkannya maritel rape dalam definisi pemerkosaan di RUU KUHP adalah bentuk meluaskan definisi tersebut. Bahkan delik ini telah ada di UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan," kata Guru Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto dalam Diskusi Publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa (detik.com, 14/6/2021).
Marital rape istilah yang terus digaungkan kalangan sekuleris dan gender untuk menyerang hukum-hukum Islam tentang hak dan kewajiban suami istri serta melemahkan lembaga perkawinan Islam. Tindakan pemerkosaan tidak bisa disandingkan pada kekerasan yang terjadi dalam biduk rumah tangga, karena perbedaan persoalan yang jauh, bahwa melayani suami adalah kewajiban sehingga patuhnya istri sebagai bentuk ibadah. Berbeda persoalan dengan pemerkosaan yang pantas disandangkan pada upaya seseorang melakukan perbuatan asusila dengan yang bukan istri atau suami sahnya.
Sayangnya, saat ini pemaksaan untuk memasukkan pemerkosaan dalam maritel rape mencederai hukum Islam, sehingga dibuatnya hukum yang akan menjerat suami jika dilakukan. Coba kita amati, bahwa kasus kekerasan yang mungkin terjadi dalam keluarga antara suami dan istri memiliki fakta dan solusi hukum yang berbeda.
Kekerasan dalam Rumah Tangga (RT), justru niscaya terjadi ketika landasan rumahtangga dan negara tak berdasarkan Islam, sehingga solusinya bukan dengan menghapus hukum-hukum Islam tapi mencabut akar permasalahannya yaitu tidak diterapkannya sistem Islam dalam bangunan keluarga dan negara. Hal ini, harusnya menjadikan Islam sebagai landasan berkeluarga dan bernegara, karena akan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah.
Penerapan Islam dalam RT dan negara dipastikan akan mencegah segala bentuk kekerasan baik di dalam RT maupun di luar RT, karena adanya interaksi yang diatur berdasarkan hukum syara akan membangun pemahaman yang dibarengi dengan aplikasi yang benar. Memperlakukan pasangan dengan selayaknya sebagai bentuk beribadah kepada Allah SWT, itupun yang Rasulullah Saw contohkan. Dalam keluarga akan tegak mu'asyarah bil ma'ruf, dengan jaminan sistem yang mengokohkan oleh negara.
Islam memposisikan wanita sebagai Ummu wa rabbatul bait, ibu yang sekaligus pengurus rumah tangga. Selain itu, istri memiliki hak dinafkahi serta boleh beraktivitas asal tidak melepaskan pakaian taatnya sebagai seorang muslimah.
Allah Swt berfirman yang artinya:
“(Para istri) mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (TQS.al-Baqarah: 187).
Dalam surah tersebut, mengindikasikan bahwa peranan suami dan istri telah disyariatkan Islam, mereka saling melengkapi, menutupi kekurangan satu sama lain dan menjaga kehormatan bersama.
Maka tidaklah tepat jika saat ini memasukkan marital rape dalam hubungan suami istri.
Umat harus waspada akan agenda terselubung untuk menghancurkan dan menyasar keluarga muslimah, bahkan kalangan sekuler dan feminis yang ingin menghapus sisa-sisa hukum Islam dengan dalih pembelaan terhadap hak-hak perempuan melalui jalur legislasi akan dilakukan. Saatnya kembali pada sistem Islam untuk mengatur di segala lini kehidupan demi keselamatan umat termasuk keluarga.
Wallahu alam bishawab
COMMENTS