perbedaan psbb dengan ppkm
Oleh: Laily Ch. S.E (Pemerhati Ekonomi)
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia masih belum berakhir, termasuk di Indonesia. Sudah satu tahun lebih negri ini terkungkung dengan virus Corona. Bahkan menurut data tanggal 30 Juni 2021 kemarin, kasus positif Covid-19 bertambah 21.807 orang. Jika ditotal, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah menjangkit 2.178.272 orang. (Merdeka.com, 1/7/2021)
Berbagai macam kebijakan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi problem pandemi ini. Tak sedikit para ahli menyarankan pemerintah menerapkan penguncian wilayah atau lockdown. Cara itu dinilai paling ampuh. Sebab aktivitas masyarakat benar-benar dibatasi dengan ketat.
Tetapi, dengan sejumlah pertimbangan, pemerintah memilih opsi lain. Kebijakan yang diambil adalah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aturan dibuat untuk sejumlah sektor. Tujuannya, mengurangi aktivitas masyarakat di luar rumah, sehingga kemungkinan terpapar virus menurun.
Adapun aturan yang dibuat saat penerapan PSBB, antara lain pusat perbelanjaan ditutup. Aktivitas belajar dialihkan ke rumah sepenuhnya. Sedangkan perkantoran hanya diizinkan setengah dari kapasitas gedung.
Beberapa bulan kebijakan PSBB diterapkan, pemerintah melakukan evaluasi. Melihat kasus positif harian Covid-19 menurun, masyarakat diajak beradaptasi dengan tatanan kehidupan baru atau new normal. Sehingga bisa kembali beraktivitas di luar rumah dengan menerapkan protokol kesehatan. Seperti memakai masker, cuci tangan, hindari kerumunan, dan jaga jarak.
Istilah PSBB kemudian berubah menjadi PPKM skala Mikro. Aturan dalam kebijakan ini sedikit melonggarkan operasional sejumlah sektor. Misalnya saja, kapasitas perkantoran menjadi 50 persen, operasional mal kembali dibuka dengan jumlah pengunjung dan jam dibatasi. Bahkan di lokasi zona hijau Covid-19, belajar tatap muka diuji coba.
Kebijakan ini kembali dipilih pemerintah saat kasus positif Covid-19 melonjak naik beberapa pekan terakhir. Banyak yang menyayangkan, sebab harusnya ada pengetatan lebih ekstra untuk menekan sebaran kasus positif. Tetap Presiden Jokowi berpandangan lain. Kebijakan PPKM skala mikro dianggap paling memungkingkan karena aktivitas ekonomi masih bisa berjalan meski dibatasi.
Covid Meningkat, Terapkan PPKM Darurat
Mulai 3 Juli hingga 20 Juli 2021 pemerintah resmi memberlakukan aturan PPKM Darurat. Peraturan ini diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 15 Tahun 2021, sesuai dengan arahan Presiden Jokowi. Dikutip dari setkab.go.id, pemberlakukan aturan PPKM darurat ini berlangsung di sekitar wilayah Jawa dan Bali, sesuai dengan kriteria level pandemi berdasarkan asesmen.
Salah seorang anggota DPR RI Komisi XI Ahmad Yohan memberikan kritiknya terhadap kebijakan PPKM Darurat ini. Dia menilai terjadi anomali kebijakan yang diambil pemerintah saat ini. Sebab menurutnya di saat yang bersamaan, celah-celah peningkatan kasus COVID-19 yang menjadi penyebab terinfeksinya ekonomi tidak ditangani dengan baik.
Dia mencontohkan, pada bulan April 2021 saat terjadi tsunami COVID-19 varian delta di India, dengan penularan yang begitu cepat, membuat rata-rata negara melakukan disconnect dengan negara tersebut. Namun anehnya, otoritas Indonesia, dalam hal ini Dirjen Imigrasi dan Dirjen Perhubungan Udara-Kemenhub, membiarkan flight carteran yang memuat ratusan WNA India ke Indonesia dengan masa karantina cuma lima hari. "Tentu ini langkah yang keliru dan membahayakan, karena sudah pasti, COVID-19 ini tertular akibat kontak sesama manusia, baik dari dalam dan luar negeri," kata Yohan.
Lebih lanjut lagi dari aspek ekonomi, dia mengaku sangat khawatir bahwa ratusan triliun dana PEN dari APBN dan PPKM Darurat ini ibarat 'membuang garam di laut', karena pembatasan mobilitas hanya dilakukan secara domestik. Akibatnya, mata rantai penyebaran COVID-19 dengan berbagai varian yang datang dari luar Indonesia, tidak bisa terputus penyebarannya. Karena percuma bila PPKM Darurat diberlakukan secara domestik, sementara WNA diberikan keleluasaan masuk Indonesia.
Kebijakan Yang Mensolusi
Selama pandemi berlangsung beragam istilah kebijakan atasi wabah telah banyak dikeluarkan. Padahal sudah jelas wabah nya sudah mendunia, bahkan negri ini sudah memiliki seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang karantina kesehatan. Namun dengan pertimbangan ekonomi supaya tetap berjalan, maka karantina total wilayah (lockdown) tidak dilakukan. Mengapa pemerintah tidak fokus pada penyelamatan nyawa rakyat terlebih dahulu ketimbang memikirkan ekonomi negara? Inilah yang menjadi pertanyaan besar.
Berbagai sanggahan dilontarkan pemerintah bahwa kondisi ekonomi juga harus distabilkan. Oleh karena itu dikeluarkan dana Penyelamatan Ekonomi Nasional dimana prosentase untuk sektor kesehatannya justru sangat minim. Ironis sekali.
Semua ini disebabkan karena sistem kapitalisme yang mementingkan materi dan keuntungan diatas segalanya. Hampir semua negara menerapkan sistem kehidupan yang diemban oleh negara adidaya Amerika Serikat. Asas utama dalam sistem ini adalah sekularisme dan materialisme. Sekulerisme telah mengabaikan keberadaan Allah sebagai Pencipta sekaligus Pengaturan manusia dan alam semesta. Akibatnya, kehidupan serba bebas sangat diagungkan. Materialisme telah menjadikan manusia bertindak sebatas ada kemanfaatan yang diperolehnya, mengabaikan aturan Sang Pemberi Kehidupan. Lebih jauh lagi, tentu saja akibatnya bukan kesejahteraan yang dirasakan, namun penderitaan akan penjajahan sistem ini membuat jutaan nyawa dikorbankan demi kepuasan materi golongan tertentu saja.
Jika menilik kepada syariat islam, maka kita akan jumpai persoalan wabah tidak sampai berlarut-larut hingga menjadi pandemi yang mendunia. Kebijakan lockdown akan sesegera mungkin ditetapkan, dan negara akan menjamin penuh kebutuhan masyarakat selama lockdown. Sumber dana baitul mal kekhilafahan Islam mampu memenuhi itu semua. Sebab pengelolaan kepemilikan dalam negara khilafah berjalan sesuai prinsip syariah yakni terbagi menjadi kepemilikan individu, umum dan negara.
Dengan pengelolaan maksimal sumber daya alam oleh negara khilafah yang merupakan kepemilikan umum, maka akan menjamin ketersediaan dana dan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat terutama di saat pandemi wabah. Selain itu harta dari kepemilikan negara berupa zakat, jizyah, ghanimah, kharaj, dan lainnya juga akan didistribusikan kepada masyarakat tanpa memandang status sosial maupun agama.
Beginilah seharusnya penguasa mengurusi rakyatnya. Totalitas dan penuh pertanggungjawaban dalam melayani rakyat adalah menjadi nafas dalam menjalankan fungsi kekuasaan. Bukan malah menjadikan penderitaan rakyat sebagai ajang bisnis demi keuntungan sendiri hingga mengorbankan nyawa jutaan rakyatnya. Wallahu'alam bisshowab.
COMMENTS