idul fitri tanpa khilafah
Oleh: Yuni Masruroh, Aktivis Muslimah Perduli Umat
Apa yang kita rasakan pasca melaksanakan shaum Ramadhan, bergembira merayakan idul fitri bersama sanak keluarga. Tapi tidak demikian dengan saudara muslim kita di China. Di sebuah sudut kota Hotan, Xinjiang, China, kini berisi tumpukan puing-puing bangunan. Sudut itu, dulu adalah lokasi Masjid Heyitkah yang kemudian dirobohkan dan jadi puing di tempatnya pernah berdiri.
Suasana akhir Ramadan dan Idul Fitri bagi masyarakat Muslim di kota ini tak semeriah saudara seiman mereka yang lain di dunia. Masyarakat Muslim yang kebanyakan adalah bagian dari suku Uighur dan minoritas lainnya merayakan Idul Fitri kali ini dengan tekanan, setelah puluhan masjid dihancurkan.(CNN Indonesia)
Mungkin bagi sebagian kaum muslimin yang lain, idul fitri saat ini sama saja seperti idul fitri sebelum-sebelumnya. Mereka bisa merayakan kemeriahan dan kegemberiaan berhari raya dengan sanak saudara. Tapi tidak untuk saudara-saudara muslim kita yang ada di china, atau mungkin dibelahan bumi lainnya. Seperti di Palestina yang tak pernah sepi dengan hujan roket membantai saudara muslim bahkan anak-anak tak berdosa. Ataupun muslim di Myanmar yang diperangi oleh pemerintahannya.
Lalu apa sesungguhnya makna dari kebahagiaan itu sendiri. Bahagia dan gembira merayakan idul fitri bersama keluarga. Bahagia yang tidak hanya dirasakan oleh sebagian kaum muslim didunia. Karena sejatinya, umat Islam laksana satu tubuh yang akan merasakan rasa yang sama saat bagian yang lain merasakan sakit atau bahagia. Rasulullah SAW bersabda:
''Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Namun hal itu saat ini seakan tak nampak ditengah-tengah kita. Satu tubuh ini sekarang sedang tidak baik-baik saja. Karena dia tak mampu lagi menyembuhkan bagian yang sakit lainnya. Bahkan untuk merasakan sakit yang sama pun seolah sudah tak bisa.
Racun nasionalisme yang berasal dari asas sekulerisme telah merasuk dalam diri umat ini sejak sekian lama. Umat yang telah disebut dalam kitab suci kita sebagai umat terbaik dan mulia, saat ini telah kehilangan jatidirinya.
Nasionalisme telah mencabut semua rasa kita. Rasa untuk bisa mengetahui bagian mana yang sakit dari anggota tubuh lainnya. Ya, akibat paham nasionalisme yang telah mengakar dalam diri kaum muslim, menjadikannya tak perduli dan mati rasa.
Umat Islam butuh Junnah
Apa yang dialami oleh kaum muslim di china dan dibelahan bumi lainnya, sesungguhnya adalah bukti nyata bahwa kita saat ini tak punya Junnah yang mampu melindungi kita dari segala marabahaya. Dari ketertindasan dan kesewenang-wenangan kafir durjana. Mereka dengan mudahnya merobek-robek kesatuan kita. Menjadikannya sebagai negara-negara kecil yang tak tau siapa saudara. Yang tak kenal dengan sejarah agamanya.
Bahwa dulu, umat Islam pernah merasakan rasa yang sama, saat sakit dan bahagia. Dalam sebuah institusi yang menjadi pelindungnya. Yang selalu ditakuti dan disegani oleh bangsa-bangsa disekitarnya. Yang saat ini sangat dikhawatirkan kemunculannya. Karena akan menghentikan kekejaman kafir laknatullah yang tak berhenti untuk menghancurkan persatuan kita. Umat Islam diadu domba antara yang satu dan yang lainnya. Dengan isu terorisme, radikalisme, dan lain sebagainya. Sehingga umat Islampun menjadi takut akan kembalinya sebuah negara yang justru akan menyelamatkan mereka.
Itulah Khilafah Islamiyah, sebuah institusi yang akan mampu menjadi pelindung bagi umat Islam diseluruh dunia. Sebuah institusi yang menjadikan ketaatan pada Allah sebagai asasnya. Yang akan meriayah dan menjaga warga negaranya dari ancaman semua musuh-musuhnya. Dan saat ini kita harus bersatu untuk bisa kembali mewujudkannya. Mengesampingkan semua perbedaan ditengah-tengah kita. Karena umat Islam saat ini sudah amat sangat membutuhkannya.
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Wallahua'lam bi shawab
COMMENTS