perempuan terorisme feminism
Oleh: Titi Ika R. A.Ma.Pust*
Publik dikejutkan dengan adanya peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (28/03/2021). Kepala Kepolisian RI Jenderal Sulistyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri di Makassar adalah pasangan suami istri (tempo.co 03/04 ).
Tidak berselang lama, terjadi peristiwa tembak-menembak antara personil Polri dan terduga teroris di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Rabu 31/3/2021 sekitar pukul 16.30 WIB. Berdasar rekaman CCTB, pelaku memakai baju hitam dan kerudung biru.
Hasil penyelidikan pihak kepolisian menemukan bahwa pelaku bernama Zakiah Aini adalah simpatisan ISIS yang melakukan aksi seorang diri (kompas.com, 1/4/2021)
Kedua Kejadian ini menambah perbendaharaan kata dalam aktivitas terorisme yakni munculnya aksi terorisme berbasis gender. Dimana perempuan menjadi pelaku teror.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid mengatakan, kelompok teroris kerap melibatkan atau merekrut perempuan karena dinilai peka dan lebih perasa. Selain itu, kata Nurwakhid, perempuan cenderung memiliki sikap militan dan patuh pada pemimpin. "Biasanya perempuan totalitas kalau sudah berbuat atau melakukan tindakan itu (terorisme)," kata Nurwakhid dalam diskusi daring. Kompas.com (7/4/2021). Alasan lainnya, kata Nurwakhid, kelompok teroris berharap perempuan dapat meneruskan atau menyebarkan paham ekstremisme yang dianut kepada generasi penerus.
Feminisme mengganggap keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme adalah buah dari ketergantungan perempuan terhadap laki-laki. Sehingga, upaya untuk menghilangkan budaya patriarki adalah langkah efektif dalam menghilangkan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Menurut mereka pula, budaya patriarki yang masih kental di negeri ini disebabkan ajaran agama Islam yang mendiskreditkan perempuan.
Oleh karenanya, selain mengutuk aksi terorisme ini, para pegiat kesetaraan gender pun menuduh ajaran Islam yang mendiskreditkan perempuanlah menjadi biang keladi keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Adanya narasi yang menggambarkan bahwa ajaran Islam bisa meradikalisasi perempuan hingga hilang rasa keibuan, jelas merupakan fitnah yang sangat keji. Selain tidak sesuai dengan realita ajaran Islam, tudingan ini pun terkesan dipaksakan. Bagaimana tidak, perempuan yang dituding pelaku terorisme selalu dikaitkan dengan mereka yang memiliki pemahaman Islam yang kaffah.
Penggiringan opini publik terkait dengan perempuan dan terorisme, benar-benar nyata menjadi serangan terhadap Islam dan ajaran Islam. Serangan ini juga diduga kuat mengarah kelompok dakwah tertentu, termasuk yang dilakukan para aktivis muslimah yang benar-benar berjuang demi kebaikan umat tanpa kekerasaan. Banyak pihak Kapital Sekuler yang merasa terancam dengan geliat kebangkitan Islam. Hingga mereka sangat berkepentingan menjauhkan umat manusia dari Islam.
Islam mengharuskan seluruh umat muslim laki-laki maupun perempuan untuk menerapkan hukum syariat di seluruh aspek kehidupan secara Kaffah. Islam menerap syariat Islam dalam rangka menjamin eksistensi manusia berdasarkan pengamatan bahwa agama dan keamanan tetapi untuk menerapkan syariat Islam tidak dapat dilakukan dengan tindakan kekerasan ataupun teror dan sejenisnya. Islam secara tegas melarang tindakan kekerasan seperti perusakan fasilitas umum, penganiayaan, maupun pembunuhan.
Kedudukan perempuan dan laki-laki dalam Islam adalah sama perbedaannya adalah ketakwaan perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda tapi perbedaan tersebut akan bentuk diskriminasi gender pekan juga untuk merendahkan perempuan peran inilah yang menjadi pelengkap dalam menjalankan peran kehidupan sebagai manusia terorisme sebagaimana dalam terminologi barat hukumnya haram dalam Islam tidak ada dalam literatur Islam yang menempatkan tindakan terorisme sebagai bagian dari ibadah. Menggunakan alasan agama sebagai landasan aksi teror adalah kesalahan besar.
*Penulis Freelance
COMMENTS