paradoks benci produk asing
Oleh : Ummu Zanki
“Seperti unta di padang pasir yang mati kehausan, sedangkan di pundaknya membawa air”
Syair ‘arab di atas, sinkron dengan kondisi negeri hari ini. Diapit 2 benua dan 2 samudera, menjadikan negeri ini memiliki tanah yang subur dan potensi kekayaan alam melimpah baik di darat maupun laut. Gemah Ripah Loh Jinawi. Itulah sebutannya. Realitasnya diakui atau tidak, negeri ini sebenarnya ‘mati’ (baca : menderita). Kemiskinan sistemik disertai dengan angka pengangguran tinggi. Indikator lainnya adalah ketergantungan impor bahkan menjadi rutinitas kebijakan pemerintah.
Nilai impor produk asing masih tinggi di negeri ini. Data bulan Januari- Desember 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor masih USD 141.568,8 juta. Ada beberapa jenis barang impor dengan kapasitas yang cukup besar. Diantaranya mesin, alat angkut, barang buatan pabrik, produk bahan kimia, bahan bakar minyak, bahan makanan dan hewan. Untuk awal tahun 2021 ini, pemerintah memutuskan impor beras sebesar 1 juta ton, garam 3 juta ton dan gula 646.944 ton (kompas.com, 17/03/2021).
Mirisnya impor ini dilakukan saat stok dalam negeri melimpah dan mendekati masa panen raya dalam negeri. Nampak ketidakberpihakan pemerintah pada petani. Jelas kebijakan impor memukul petani. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib petani.
Seruan Tanpa Bukti
Kebijakan impor ini kontraproduktif dengan seruan Presiden Jokowi untuk membenci produk asing. Bahkan Beliau meminta produk asing ditaruh di tempat yang sepi pembeli. Agar masyarakat menjadi konsumen yang loyal untuk produk- produk Indonesia (kompas.com, 04/03/2021).
Seruan benci produk asing nampaknya hanya retorika politik untuk memikat hati rakyat. Di tengah kepercayaan rakyat mulai turun, seruan ini dianggap bisa menaikkan pamor. Realitasnya impor terus berlangsung dalam jumlah besar, bahkan di sektor vital strategis.
Seruan benci produk asing juga tak diimbangi dengan kesungguhan disertai peta jalan yang jelas dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri secara mandiri. Seharusnya pemerintah berupaya dengan segenap potensi SDA dan SDM yang ada, meningkatkan kualitas produk dalam negeri. Sehingga produk yang dihasilkan bisa layak dikonsumi rakyat dan mampu bersaing di pasaran internasional.
Nampak tak ada upaya pemerintah untuk menghilangkan impor. Karena impor selalu dijadikan solusi pemerintah dalan menghadapi masalah kelangkaan barang. Terkesan setengah hati dalam mengatasi masalah kebutuhan rakyat. Jangankan berpikir untuk kemandirian bangsa, untuk melelas diri dari jerat hutang saja tak mampu.
Di era kapitalisme saat ini menjadi negara mandiri dan bebas impor bagaikan mimpi. Hanya sebatas keinginan tanpa upaya yang signifikan. Kekuasaan hari ini tunduk pada pemilik modal. Atas nama liberalisasi ekonomi, kebijakan pemerintah disetir untuk mendapatkan keuntungan materi bagi segelintir pemilik modal. Tak peduli nasib rakyat kecil. Negara akan sulit untuk mandiri. Alhasil ajakan benci produk asing hanya ilusi.
Syari’at Islam Sebagai Solusi
Islam dapat mewujudkan kemandiran negara tanpa ada campur tangan asing, dan tak disetir pemilik modal. Karena pengurusan dan pelayanan pemerintah terhadap kebutuhan rakyat didasarkan pada syari’at Islam bukan materi atau kepentingan. Semuanya dikaitkan dengan pertanggungjawaban pada Allah dalam menjalankan amanat sebagai penguasa.
Kewajiban negara memenuhi kebutuhan rakyat secara mandiri. Diberlakukan sistem pertanahan, pertanian, kepemilikan, industri dan perdagangan sesuai Islam, baik hulu maupun hilirnya.
Dalam Islam mulai dari proses mengambil barang mentah, mengolah hingga menjadi barang siap pakai akan didukung negara. Selain memastikan produksi dalam negeri, negara juga mengawasi mekanisme distribusi barang jasa, agar tepat sasaran.
Dalam Islam, negara akan menjamin persaingan usaha yang sehat. Didukung dana dari baitul mal, pemerintah memberikan hibah atau subsidi pada rakyat yang ingin mengembangkan produknya. Negara menolak intervensi dan tekanan global atas nama perdagangan bebas. Karena perdagangan dengan luar negeri terikat pada hukum syara’.
Pemerintah akan menindak tegas praktik kotor dalam perdagangan seperti penimbunan, penipuan keji, monopoli dan sebagainya. Karena kewajiban negara menjamin regulasi barang atau jasa dengan lancar. Sehingga barang selalu tersedia ditengah- tengah masyarakat dengan harga yang terjangkau. Dengan begitu ketergantungan akan produk asing dapat teratasi. Semua itu hanya dapat terwujud dengan menjadikan Islam sebagai landasan bernegara.
Wallahu'alam bishawab
COMMENTS