100 tahun tanpa khilafah
Oleh: Saptaningtyas
Keluarga adalah benteng peradaban. Sebab, sebagamana lazim dipahami bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Di dalam peradaban mulia suatu bangsa niscaya tersusun keluarga-keluarga yang kokoh, harmonis dan bahagia.
Namun demikian, keutuhan dan kekokohan bangunan keluarga juga tidak lepas dari penjagaan lingkungan dan sistem yang diterapkan negara. Sebab, negara adalah perisai bagi umat. Sementara individu-individu unsur keluarga juga merupakan bagian dari umat. Karenanya, ketahanan keluarga mesti dijaga oleh individu unsur keluarga dan sistem yang diterapkan negara.
Fakta hari ini sangat menyedihkan. Kondisi ketahanan keluarga, termasuk keluarga-keluarga muslim sangat rapuh. Ibarat bangunan, ia nyaris roboh. Keterpurukan ini bukan semata dan tiba-tiba terjadi hari ini. Bencana besar ini diawali seabad lalu, ketika Khilafah Utsmaniyyah berhasil diruntuhkan oleh kafir penjajah melalui tangan Mustafa Kemal Attaturk pada 3 Maret 1924. Pasca runtuhnya khilafah, hampir seratus tahun lalu hingga era milenial saat ini, ketahanan keluarga kian rapuh karena tidak ditopang dan dijaga oleh sistem yang kokoh.
Tingginya angka perceraian menjadi salah satu indikator kerapuhan ini. Melansir dari laman Merdeka.com (12 /09/2020), berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, Dirjen Bimas Islam mengatakan angka perceraian di Indonesia, khususnya yang beragama Islam, rata-rata mencapai seperempat dari dua juta jumlah peristiwa nikah dalam setahun. Yakni, berkisar 4000 ribu kasus perceraian setahun sejak 2015 sampai 2020.
Problem keluarga yang menjadi pemicu kehancuran bukan semata problem individual, melainkan juga problem struktural. Bukan semata individu yang menjadi unsur keluarga tersebut tidak tahan banting menghadapi permasalahan. Melainkan juga karena sistem yang rusak, yakni sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negara. Sistem inilah yang menyebabkan keluarga mengalami keguncangan hingga retak dan hancur.
Berbagai pemicu robohnya bangunan rumah tangga yang disebabkan penerapan sistem kapitalisme ini antara lain:
Pertama, sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan terbukti gagal memberikan jaminan kesejahteraan, bahkan dalam menjamin pemenuhan kebutuhan primer pun tidak. Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terus meningkat menjadi bukti akan hal ini. Tingginya harga-harga kebutuhan pokok, laju gelombang PHK yang menyebabkan pengangguran tidak terelakkan. Akhirnya, kepala keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sekalipun ibu telah mengubah fungsi utamanya menjadi ikut serta mencari nafkah.
Dalam sistem kapitalis ini, individu-individu keluarga berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, tanpa ada dukungan dari negara. Negara seakan abai terhadap penyediaan lapangan kerja dan harga-harga kebutuhan pokok dan layanan publik yang terjangkau. Kesulitan hidup tanpa dukungan negara ini nyatanya menjadi pemicu keretakan keluarga.
Kedua, penerapan sistem sosial yang berlandaskan pada sekularisme pada sistem kapitalisme ini telah menciptakan sistem pergaulan liberal. Laki-laki dan perempuan bergaul tanpa batas tanpa batasan. Pengabaian agama dalam aturan kehidupan menyebabkan lingkungan yang juga liberal. Konten-konten yang tersedia, juga perbincangan dan tingkah laku masyarakat cenderung mengumbar syahwat. Akibatnya, hal ini memicu terjadinya perselingkuhan yang berujung pada kehancuran rumah tangga.
Ketiga, sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah menjadikan tingkat spiritualitas keluarga tipis. Dalam sistem sekuler, agama dimaknai sebatas ibadah ritual, tidak dibangun kesadaran hubungan manusia dengan Allah sehingga seluruh aktivitas kehidupan mesti terikat dengan aturan-Nya. Sekularisme ini menyebabkan keimanan menjadi rendah sehingga ketika menghadapi permasalahan acapkali menjadi goyah, mudah putus asa hingga terjerumus dalam kemaksiatan.
Negara yang sekuler mengabaikan kondisi keimanan keluarga dan masyarakat. Keluarga harus berjuang sendiri menjaga anggota keluarganya dari kemaksiatan dan segala hal yang merusak keimanan. Sebab, negara tidak memberikan perlindungan baik melalui sistem pendidikan maupun aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat.
Sistem pendidikan di negara sekuler pun sekuler sehingga anak-anak terdidik sekuler, bahkan liberal. Hal ini tentu menambah berat beban keluarga. Keluarga harus berjuang sendiri dalam menjalankan fungsi edukasi. Tak jarang, kenakalan anak buah dari sistem sekuler ini memicu perselisihan dan keretakan bangunan keluarga.
Peraturan yang diterapkan negara sekuler ini tidak mampu mencegah tergerusnya spiritualitas keluarga. Di samping itu gagal membentuk lingkungan sosial yang mendukung keharmonisan keluarga. Hal utama yang menyebabkan kehancuran ketahanan kelarga ini karena hilangnya sistem negara yang mampu menjadi perisai, yakni Khilafah Islamiyyah.
Berbeda dengan negara bersistem kapitalisme yang tegak atas asas sekularisme, khilafah tegak dengan landasan akidah Islam. Khilafah mengatur kehidupan masyarakat, termasuk keluarga karena perintah Allah dan untuk menerapkan aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ....” (TQS. At- Tahrim:6)
Dalam negara khilafah, perintah Allah ini tidak dipandang menjadi perintah kepada keluarga semata sehingga negara mengabaikannya. Sebaliknya, negara akan hadir dan berperan besar menerapkan aturan agar keluarga-keluarga terjaga, terhindar dari kemaksiatan.
Negara khilafah akan menjaga aspek spiritual masyarakat. Keluarga-keluarga juga hidup dalam suasana keimanan yang tinggi, hal-hal negatif seperti tontonan-tontonan yang merusak akhidah dan tingkah laku, baik yang tayang di dunia nyata maupun dunia nyata akan disaring sehingga tidak menghancurkan keluarga. Khilafah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok. Laki-laki dan para suami pencari nafkah diberikan lapangan pekerjaan dan gaji yang layaksehingga fungsi ekonomi berjalan dengan baik.
Dalam hal pendidikan, khilafah akan menjamin hak-hak setiap warga negara. Khilafah menciptakan dan mewujudkan sistem pendidikan yang berbasis akidah islamiyah yang mampu menjaga spiritual maupun menjaga aqliyah dan nafsiyah peserta didik. Sehingga, kepribadian individu-individu yang hidup di dalam negara khilafah berkepribadian luhur (sakhsiyah Islam) dan berakhlak mulia.
Individu-individu yang bersakhsiyah Islam tinggi ini akan menjadi individu yang kuat, sehingga mampu menjadi benteng ketahanan keluarga yang juga kuat. Dengan begitu, keluarga ini akan kompak menjalankan satu visi besar, sebagai hamba yang diciptakan Allah untuk menjaga bumi dengan menerapkan aturan Allah sehingga ketika kelak kembali menghadap Allah, akan mendapat ridha-Nya. Bukan sebagaimana ideologi kapitalis yang menjadikan manusia hidup di dunia sekadar untuk mewujudkan kebahagiaan secara materi.
Individu yang bersakhsiyah Islamiyah bervisi dunia dan akhirat ini membuat ketahanan keluarga kuat, keluarga utuh, harmonis dan bahagia sehingga akan melahirkan generasi cemerlang, pemimpin dunia membawa kemanfaatan untuk umat, baik di dunia maupun di akhirat.
Karena itu, penting untuk menegakkan kembali sistem Islam. Karena sistem Islam inilah yang dapat mewujudkan suatu peradaban mulia, peradaban yang baik. Peradaban yang baik ini juga yang akan menjadi perisai bagi keluarga, menjaga keluarga agar senantiasa kokoh. Wallahua’lam.
COMMENTS