Ruu minol minuman alkohol
Oleh: Leli (Komunitas Pena Ideologis Maros)
RUU minuman Alkohol kembali dibahas di Badan Legislatif DPR usai diusulkan oleh 21 anggota DPR RI yang berasal dari tiga fraksi berbeda yakni PPP, PKS, serta Gerindra. Hal tersebut diketahui dari dokumen penjelasan pengusul RUU Minol yang diunggah dalam situs resmi DPR pada Rabu (11/11).
Dalam RUU minol ini, pengusul berharap dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama. Oleh karena itu, rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol kembali digulirkan DPR.
Draft RUU ini memuat aturan melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan menjual minuman beralkohol di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). RUU itu juga mengatur sanksi pidana bagi mereka yang mengkonsumsi minuman keras.
RUU ini memang memuat beberapa pasal larangan, tapi juga memuat pengecualian tentang konsumsi minuman beralkohol yang diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Jalan RUU ini sepertinya cukup terjal. Tidak adanya data akademis yang menunjukkan relasi jumlah kasus kriminalitas akibat minuman beralkohol menimbulkan rasa pesimis. Di sisi lain, data Kementerian Keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi pada perekonomian negara dengan nilai sekitar Rp7,3 triliun tahun lalu. (bbcindonesia.com, 13/11/2020). Tak ayal tidak sedikit pihak yang angkat bicara merespon bergulirnya kembali RUU ini.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf misalnya. Ia mengungkapkan, Indonesia saat ini sudah dalam keadaan amat darurat minuman beralkohol. Menurutnya, butuh pendekatan yang lebih progresif untuk menyelamatkan masa depan bangsa dari dampak merusak minuman beralkohol.
Adapun pendapat yang berbeda dari fraksi Golkar dan fraksi PDI Perjuangan mengisyaratkan akan menolak rancangan undang-undang atau RUU minuman beralkohol ini, yang sudah pernah mengalami penundaan pada tahun 2015.
Ketua kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo, mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini telah dibahas sejak DPR periode 2014-2019. Namun pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat DPR dan pemerintah. “Pemerintah ketika mempertahankan terkait pengaturan, tetapi pengusul tetap kukuh terhadap pelarangan,” kata Firman pada Kamis, 12 November 2020.
Minuman Keras Buah dari Sistem Demokrasi
Jika kita cermati, RUU ini menuai banyak Pro-kontra dari dua belah pihak. Pihak pro mengatakan setuju sebab Minol merupakan sumber kriminalitas, sedangkan pihak yang kontra mengatakan bahwa minol tidak berhubungan dengan tingginya angka kriminalitas di Indonesia. Bagaimana sikap seorang muslim dalam mencermati pro kontra RUU Minol ini?
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya jika mayoritas negeri ini masih berada di bawah payung demokrasi kapitalis, maka peraturan-peraturan yang dikeluarkanya pun pasti akan melahirkan suatu perbedaan pendapat dari belah pihak bahkan tidak lepas dari Kebijakan kontroversi.
Dan harus di cermati pula bahwa segala hal yang membawa pada kerusakan dalam kehidupan merupakan buah dari diterapkannya sistem yang rusak pula yaitu sistem demokrasi kapitalis. Sistem inilah yang memunculkan liberalisme yang kemudian membuat minuman keras (beralkohol) merajalela di berbagai penjuru dunia.
Oleh karena itu, segala peraturan perundangan-undangan dari sistem rusak ini merupakan hasil dari pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Terbukti ketika para wakil rakyat dalam sistem demokrasi ini membahas suatu perundang-undangan yang diharapkan akan membawa pada ketentraman bagi masyarakat, maka ada saja yang menghalanginya bahkan dengan tak segan-segan mengkritik tajam sekalipun dalam pandangan Islam perkara yang dibahas tersebut sesuatu yang sudah pasti keharamannya.
Rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol menuai polemik. Banyak yang mendukung, tidak sedikit pula yang menolak. Membuka perdebatan yang berkepanjangan, yang tak ada ujungnya. Inilah gambaran masyarakat dalam naungan kapitalisme-demokrasi. Halal dan haram pun jadi ajang perdebatan. Akankah solusi kemaslahatan umat dapat diraih?
Islam Menuntaskan Permasalahan Minol
Islam dengan seperangkat hukumnya mampu menuntaskan segala problematika hidup manusia. Penerapan sistem Islam secara kaffah dalam level individu, masyarakat dan negara (Khilafah) akan mampu menghilangkan perbedaan pendapat dan konflik di tengah masyarakat pada sesuatu yang sudah jelas keharamannya, sebab aturan yang diadopsi bersumber dan digali dari syariat yang dibuat oleh sang pencipta (Allah SWT).
Dalam perkara minuman beralkohol, keharamannya sangat jelas, Sebagaimana dalam Firman Allah SWT
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan dari salat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu). (TQS. Al-Maidah [5]: 91)”.
Selain itu, larangan meminum khamr dan setiap yang memabukkan juga terdapat dalam hadist. Bahwasanya Rasulullah pernah bersabda “setiap hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr itu adalah haram.” ( HR.Muslim).
Khilafah adalah Negara Islam yang menerapkan hukum islam, eksistensinya memberikan keamanan kepada rakyat dari segala hal yang membawa pada kemudharatan termasuk dalam minuman beralkohol. Karena itu Khalifah akan membabat habis segala jenis khamr yang beredar dimasyarakat. Khalifah tidak pernah menunggu persetujuan siapapun untuk melarang khamr ini secara mutlak.
Hal itu bisa di pahami dari laknat Rasulullah Saw terhadap sepuluh pihak terkait dengan khamr. “Rasulullah Saw, telah melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya, dan yang minta dibelikan.” (HR.At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadist ini sekaligus juga menunjukkan bahwa ke-sepuluh pihak tersebut dalam pandangan islam telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai ketentuan hukum Syariat. Peminum khamr, sedikit atau banyak jika terbukti di pengadilan akan dihukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Tentu saja sanksi itu harus memberikan efek jera bagi pelakunya.
Sementara produsen dan pengedarnya selayaknya dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminumnya, Karena keberadaan mereka tentu lebih besar dan lebih luas bahayanya bagi masyarakat.
Demikianlah bentuk sanksi hukum bagi para pelaku kriminal minuman alkohol dalam pemerintahan Islam. kita semua wajib menyakini bahwa syariah Allah adalah sebaik-baik aturan. Yang dengan itu sangat bertolak belakang sekali dengan peraturan yang di kembangkan dalam sisitem demokrasi kapitalis yang berasal dari akal manusia yang lemah.
Oleh sebab itu, hanya dengan kembali menegakkan sistem Islam dibawah institusi khilafah, keamanan umat akan terjamin dan kedamaian pun akan dirasakan bagi setiap insan, karena, sungguh Islam adalah Rahmat bagi seluruh alam. wallahu 'alam bishowab
COMMENTS