Ternyata logika itu terbalik, berlawanan 180 derajat. Semakin ke sini semakin terlihat utopisnya Vox Populi Vox Dei. Ini menguat semenjak krisis 1997
Oleh: Yasmin RamadhanSejak di bangku sekolah dasar, kerap mendengar jargon demokrasi: Vox Populi Vox Dei. Suara rakyat suara Tuhan. Beeuh, berasa bangga banget jadi rakyat, pada waktu itu. Melihat para wakil rakyat dan pejabat dengan tatapan iba sekaligus bangga: mereka korbankan ke"tuhan"an mereka demi kami, rakyatnya. Pasti berat banget kerjanya.Ternyata logika itu terbalik, berlawanan 180 derajat. Semakin ke sini semakin terlihat utopisnya Vox Populi Vox Dei. Ini menguat semenjak krisis 1997 dan bermula era reformasi. Dan semakin menjadi-jadi hingga hari ini.Saat rakyat tak ingin harga BBM naik, ternyata diam-diam, tepat jam 00.00 pemerintah mengumumkan kenaikan BBM. Itu tidak sekali dua kali.Tumpah ruah para buruh di jalanan menolak RUU Omnibus Law atau RUU Ciptakerja. Para wakil rakyat asyik rapat pleno di hotel mewah, alasannya ada gangguan listrik di gedung DPR. Wajib di ketok palu, karena RUU ini mendesak, demikian alibinya. Siapa yang mendesak? Wong rakyat menolak RUU itu. Berbagai ormas, tokoh-tokoh dari berbagai elemen masyarakat, meminta Pilkada ditunda. Pandemi masih mengancam. Haji saja dibatalkan, shalat Jum'at pun diganti shalat dzuhur di rumah, sekolah juga pindah ke rumah. Tapi Pilkada tetap dilaksanakan dengan alasan stabilitas politik dalam negeri. Rakyat mana yang mau Pilkada dilaksanakan?Giliran rakyat mau menyuarakan pendapat, bersyarikat dan berkumpul, malah dihalang-halangi dan dibubarkan. Cukuplah KAMI, HTI, dan FPI sebagai tumbal. Tumbal dari utopisnya Vox Populi Vox Dei.Parahnya, jargon ini dibawa setiap pesta lima tahunan. Angan rakyat kembali dibuai dengan iming-iming janji. Fantasi untuk hidup lebih baik lagi dalam lima tahun ke depan. Namun rakyat tak perlu menunggu lama untuk mereguk pil pahit dari janji palsu hasil jargon tadi. Melewati hari-hari gelap dan penuh derita dari ketidakadilan penguasa.Fakta-fakta itu semakin nyata. Seharusnya membuat kita berpikir kembali tentang jargon itu. Tak bisa hanya menyalahkan oknumnya. Karena jargon ini selalu ada di setiap periode, siapapun pemimpinnya.Negeri ini ibarat sebuah kapal besar yang mengarungi samudera kehidupan. Para pemimpinnya laksana nahkoda dan rakyatnya adalah penumpang. Dengan apa para nahkoda mengemudikan kapal, itulah sistem yang akan menentukan selamat tidaknya kapal.Jika sistem saat ini dengan jargon Vox Populi Vox Dei yang utopis hanya melahirkan ketidakseimbangan pada badan kapal. Membuat kapal gaduh dan terguncang. Mengancam keselamatan kapal beserta penumpangnya. Perlu ada perubahan sistem dalam mengemudikan kapal.Berlayar di samudera, semestinya mengikuti aturan Sang Pemilik samudera. Agar bahtera mampu berlayar dengan selamat hingga ke pelabuhan akhir. Wallahu a'lam []
COMMENTS