menag goodlooking
Oleh : Ahmad Khozinudin | Sastrawan Politik
"Perlu saya garis bawahi, saya mohon maaf tidak tahu itu menjadi konsumsi publik, saya kira itu internal ASN,"[Fachrul Razi, (8/9/2020)].
Menag Fachrul Razi merasa tidak ada masalah tentang pernyataannya terkait radikalisme bercirikan Good Looking, Hafidz, mahir bahasa Arab dan rajin ke Masjid. Dia hanya menyesalkan, kenapa pertemuan yang sifatnya untuk internal ASN itu menjadi konsumsi publik.
Menag berdalih, seandainya dirinya mengetahui acara tersebut untuk publik, tentu akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan substansi yang sama. Atas kejadian itu, Fachrul sempat menegur Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo karena tak memberitahunya bahwa acara bertema "ASN No Radikalisme" itu ditujukan untuk publik.
Padahal, SUBSTANSI pernyataan Menag adalah 'ISLAMOPHOBIA', yakni penyakit kebencian dan rasa sinis terhadap Islam. Hanya orang yang mengidap penyakit ini, yang tega menyebut Hafidz dan aktif ke Masjid sebagai orang radikal.
Kalaupun Menag menyampaikan pada publik, patut diduga hanyalah menggunakan pendekatan kebahasaan yang berbeda. Namun substansi kebencian dan rasa sinis terhadap Islam, akan tetap menjadi pesan utamanya.
Terlepas hanya untuk internal ASN, sebenarnya tak layak seorang menteri Agama, yang beragama Islam, justru mendeskreditkan Islam dengan mengaitkan sejumlah kesalehan Islam sebagai ciri radikalisme. Belum lagi, hingga saat ini tak jelas apa itu definisi radikalisme.
Namun, publik sudah kadung terbawa Narasi Opini bahwa radikalisme jelek, kasar, keras, intoleran, jahat, dan sejumlah idiom negatif lainnya. Dan Menag, justru menisbatkan aktivitas kesalehan dalam Islam seperti rajin ke masjid hingga hafidz dan pandai bahasa Arab, sebagai parameter radikalisme.
Maka wajar, ada sejumlah pihak yang mempertanyakan Agama Menag Fachrul Razi. Sebab, ajaib saja seorang yang beragama Islam justru mendeskreditkan tampilan dan karakteristik kesalehan dalam Islam sebagai parameter radikalisme, yang dikesankan jahat dan harus dijauhkan dari masyarakat.
Bukan ini saja yang menjadi sebab pihak-pihak mempertanyakan agama Menag. Tetapi juga soal sertifikasi da'i, yang digulirkan Kemenag.
Bagaimana mungkin dakwah harus dibelenggu dan dibatasi dengan sertifikat buatan manusia ? Padahal, Rasulullah SAW yang mulia meminta umatnya berdakwah, menyampaikan kebaikan meskipun hanya satu ayat.
Patut diduga, apa yang disampaikan Menag bukanlah inisiatif pribadi. Tetapi merupakan konfirmasi kebijakan yang diadopsi rezim Jokowi. Kebijakan yang mengandung 'Islamophobia'.
Di era Jokowi, umat Islam memang mengalami berbagai tekanan. Sejumlah kriminalisasi terhadap ulama, aktivis dakwah hingga ajaran Islam Khilafah, terjadi di era ini.
Rasanya, tak bisa ditafsirkan kesalahan Menag ini sebagai accident. Ini merupakan desain yang terencana. Menag tak merasa bersalah dari sisi substansi ucapannya, dia hanya merasa tak tepat menggunakan pendekatan kebahasaan dan tak tahu bahwa pernyataan itu akan dikonsumsi publik Umat Islam. [].
COMMENTS