Sastra adalah seni olah kata yang menghasilkan rasa, seni tentang keindahan kata, seni tentang pengungkapan sikap batin dan apa yang bergolak didalam benak melalui ungkapan-ungkapan tertentu. Biasanya, ungkapan kata yang dihasilkan lebih abstrak, tidak kongkrit dan definitif.
Oleh : Ahmad Khozinudin | Sastrawan Politik
Sastra adalah seni olah kata yang menghasilkan rasa, seni tentang keindahan kata, seni tentang pengungkapan sikap batin dan apa yang bergolak didalam benak melalui ungkapan-ungkapan tertentu. Biasanya, ungkapan kata yang dihasilkan lebih abstrak, tidak kongkrit dan definitif.
Saya lebih menyukai sastra tulis, ketimbang sastra lisan. Sebab, tafsiran sastra tulis itu lebih imaginatif, bergantung pada persepsi dan pengalaman yang dialami pembacanya.
Berbeda dengan sastra lisan atau lakon. Abstraksi kata menjadi lebih perspektif, karena tafsiran itu sangat dipengaruhi penyaji sastra atau pelakonnya.
Ketika Anda membaca karya sastra tulis berjudul : Siti Nurbaya, Kasih Tak Sampai, Karya Marah Roesli, akan berbeda rasanya dengan Anda menonton tayangan sinemanya yang pernah tayang berseri di TVRI.
Bagi saya, Imajinasi tentang sosok Siti Nurbaya, Samsul Bahri, Datuk Maringgi, melampaui apa yang divisualkan melalui tayangan sinema berseri di TVRI.
Saat saya membuka Roman Siti Nurbaya, diawal cerita disebutkan :
_"Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda, bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang, seolah-olah mereka hendak memperlindungkan dirinya dari panas yang memancar dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang mendidih."_
Pikiran saya menerawang, mengandaikan latar cerita baik tempat, masa, suasana, hingga bayangan sekolah Belanda dengan gedung klasiknya. Turut merasakan rindangnya pohon ketapang, dan sesekali menghirupnya seolah larut dalam peristiwa.
Jika ada dialog dua tokoh, kita seolah pihak Ketiga. Ada kerumunan massa dalam cerita, seolah kita berada didalamnya. Terjadi peristiwa genting, seolah kita sebagai pembaca larut dalam kegentingan itu. Begitu seterusnya.
Dan seni menikmati sastra tulis ini, tak akan saya atau Anda rasakan jika sastra itu disajikan dalam bentuk lakon atau sinema. Bahkan, terkadang ketika sastra tulis itu divisualisasikan melalui sinema, kita merasa kehilangan. Kehilangan rasa akibat imajinasi yang dipagari oleh alur sinema. Dibatasi oleh sajian lakon yang diperankan. Kok versi sinemanya begini sich ?
Saya tidak akan mengulas hal itu lebih jauh. Tapi saya ingin bicara tentang Sastra untuk perjuangan, Sastra untuk membela agama Islam.
Sastra akan membawa alam fikiran kita pada berbagai metafora, hiperbola, majazi, dan ungkapan lain yang memalingkan pikiran dari makna zahir. Sastra membuat kalimat seruan dakwah menjadi semakin menghujam, penentangan terhadap kekufuran semakin menghinakan.
Sastra juga akan memantik keberanian. Sebab, ungkapan Sastra mampu mengesampingkan rasa takut dan gentar, serta mengabaikan resiko dan ancaman.
Ambil contoh, misalkan seorang pengemban dakwah sedang diancam dengan kematian, kemudian ia berkata kepada penghalang dakwah :
_"Aku telah ditakdirkan mati oleh Tuhanku, tepat pada saat yang ditetapkan. Aku tak mampu memaksa memundurkan, sebagaimana kalian tak akan sanggup memajukan. Jika aku memiliki 10 nyawa, sementara dakwah memintaku berkorban satu nyawa, maka akan kuserahkan sepuluh nyawaku semua agar aku mampu mati berulang ulang demi membela dakwah Islam"_
Selain memunculkan keberanian, Sastra juga mampu memunculkan kerinduan yang sangat, pada kampung akhirat, pada janji Surga Allah SWT. Atas kerinduan itu, pikiran, hati dan jiwa pengemban dakwah tak ingin berpaling dari dakwah, sebagaimana ia tak ingin dipalingkan dari Surga.
Sastra juga dapat menumbuhkan cinta dan kemesraan pasangan pengemban dakwah. Mengarungi samudera dakwah, dibutuhkan iklim rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Diantaranya, jika seorang suami mengucapkan kalimat sederhana : _"Aku mencintaimu Istriku, dan aku berjanji membawamu juga anak-anak kita turut serta menuju Surga"._
Maka yakinlah, seorang istri yang menerima kalimat ini, meskipun berulang kali telah didengarnya, hatinya tetap akan merasa tentram dan bahagia. Keluarga adalah benteng dakwah, maka kehidupan rumah tangga harus menjadi surga dunia, sebelum akhirnya ahli rumah tangga itu menuju surga yang sesungguhnya.
Prinsipnya, pelajarilah Sastra, karena pengemban dakwah membutuhkan Sastra untuk berdakwah dan mengimbangi berbagai tantangannya. Sastra, dapat dijadikan sarana agar tafsir kehidupan menjadikan hidup lebih sederhana, indah, dan serba mudah. [].
COMMENTS