Wacana Khilafahisme
Publik dibuat kaget dengan pernyataan kontroversial Sekjen PDIP Hasto Kristianto terkait isu “Khilafahisme”. Menurut Hasto, PDIP juga setuju penambahan ketentuan menimbang untuk menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, seperti Marxisme – komunisme, Kapitalisme -Liberalisme, Radikalisme serta bentuk Khilafahisme. Artinya jika RUU HIP disetujui jadi Undang-undang, penyebar paham Marxisme-Komunisme, Kapitalisme-Liberalisme, Radikalisme dan Khilafahisme akan diburu dan ditangkap karena bertentangan dengan ideologi Pancasila.[1]
[8] Lihat Syawa’ib Tafsir, sub bab Syawa’ib fi Nizham al-Hukm.
[9] Lihat QS. al-Najm [53]: 3-4.
[10] Lihat Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz IV, hlm. 594.
[11] Lihat al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
[12] Lihat al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
[13] Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.
[14] Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
[15] Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke-19, hlm. 485.
[16] Lihat al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
[17] Lihat Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
[18] Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini, Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
[19] Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
[20] Lihat Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyatsi al-Dzulam, hlm. 15.
[21] Lihat Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 225-230.
[22] Lihat Yuana Ryan Tresna, “Memahami Penggalian Hukum Kewajiban menegakkan Khilafah”, 4 Juni 2020, <https://yuanaryantresna.id/2020/06/04/memahami-penggalian-hukum-kewajiban-menegakkan-khilafah/> [diakses 18 Juni 2020].
[23] Lihat Abu Ya’la al-Farra, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juz I, hlm. 19.
[24] Lihat nasional.kompas.com, 18 februari 2020, “2020, ICW Prediksi Jumlah Kasus Korupsi yang Ditangani KPK Turun”, < https://nasional.kompas.com/read/2020/02/18/18491581/2020-icw-prediksi-jumlah-kasus-korupsi-yang-ditangani-kpk-turun> [diakses 18 Juni 2020].
[25] Lihat tirto.id, 17 Juni 2020, “Utang Indonesia Naik lagi Per Mei 2020 Jadi Rp.5.258 Triliun”< https://tirto.id/utang-indonesia-naik-lagi-per-mei-2020-jadi-rp5258-triliun-fJiz> [diakses 18 Juni 2020].
[26] Lihat tempo.co, 18 Juni 2020, “Deretan Pasal Kontroversi UU Minerba”, <https://nasional.tempo.co/read/1341732/deretan-pasal-kontroversi-uu-minerba> [diakses 18 Juni 2020].
[27] Lihat kompas.com, 17 Juni 2020, “Polemik RUU HIP dan Keputusan Pemerintah Menunda Pembahasannya”, < https://nasional.kompas.com/read/2020/06/17/06040231/polemik-ruu-hip-dan-keputusan-pemerintah-menunda-pembahasannya?page=all> [diakses 18 Juni 2020].
[28] Dadang Juliantara, Meretas Jalan Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
[29] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan para rawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 7516).
Sumber artikel: yuanaryantresna.id
Sesungguhnya pernyataan itu menggambarkan permusuhan nyata pada ajaran Islam yang sangat mulia, dan upaya menutupi dari masalah yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Pernyataan tersebut harus dijawab karena dapat menyesatkan umat.
Penggunaan Istilah yang Salah dan Motif Menyerang Ajaran Islam
Penggunaan istilah “khilafahisme” untuk menyebut sistem khilafah adalah bentuk penistaan terhadap ajaran Islam. Apalagi ketika Khilafah disetarakan dengan Marxisme-Komunisme dan Kapitalisme-Liberalisme yang pengembannya bisa diburu dan ditangkap. Khilafah adalah ajaran Islam. Oleh karena itu siapa saja yang memperjuangkannya bukan pelaku kriminal. Mengusahakan tegaknya khilafah adalah wujud ketaatan pada agamanya. Memburu dan menangkap orang yang hendak mengamalkan agamanya adalah bentuk permusuhan pada kaum muslimin. Khilafah adalah ajaran Islam yang agung dari Allah SWT. Khilafah sistem pemerintahan dalam Islam, sekaligus sebagai metode pelaksanaan syariat secara kaffah (menyeluruh).
Khilafah bukan ideologi, karena ideologi merupakan ide dasar yang mendasari semua pemikiran yang dibangun di atasnya. Ideologi adalah pemikiran mendasar yang melahirkan sistem kehidupan. Perlu ditegaskan lagi, bahwa khilafah adalah ajaran Islam tentang sistem pemerintahan, pelaksana hukum syariat dan dakwah.
Khilafah juga bukan “isme” karena ia ajaran Islam yang bersumber dari wahyu, sedangkan isme berasal dari akal dan hawa nafsu manusia. Dalam Wikipedia, sufiks -isme berasal dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Prancis Kuno -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran atau kepercayaan.
Beberapa agama yang bersumber kepada kepercayaan tertentu memiliki sufiks -isme.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, “-isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berda-sarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; komunisme”.[3] Dengan demikian, menyebut khilafah dengan “khilafahisme” adalah kekeliruan, penyesatan, dan pengkerdilan terhadap sesuatu yang agung.
Selain itu, kita juga harus membaca secara politik bahwa istilah tersebut adalah alat propaganda untuk menyerang Islam dan kaum muslimin. Istilah “radikalisme” –dan sekarang “khilafahisme”- selalu digunakan untuk menyasar umat Islam. Kita ketahui bersama bahwa khilafah itu adalah ajaran Islam. Lalu, pantaskah ajaran Islam itu dikriminalisasi? Demikian pula radikalisme yang hingga sekarang masih bias makna dan lebih cenderung sebagai narasi politik untuk melawan pihak-pihak tertentu yang berseberangan dengan penguasa. Ia hanya akan menjadi alat pukul terhadap warga negara yang kritis dan berbeda cara pandang dengan rezim.
Tepat jika dikatakan bahwa narasi “khilafahisme” dan “radikalisme” adalah alat propaganda. Dalam dunia politik, propaganda adalah metode sekaligus alat yang sangat efektif untuk mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawan yang dilakukan lebih dari satu kali atau secara terus menerus (repetitive action).
Secara konseptual, propaganda adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya. Bahkan, propaganda dapat dilihat dari konteks kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi.[4]
Dalam propaganda politik, umumnya melibatkan usaha pemerintah, partai atau golongan untuk pencapaian tujuan strategis dan taktis, dan kegiatan popaganda politik itu sendiri mencakup penyebaran doktrin, penyebaran keyakinan politik tertentu. Secara umum, wujud dari propaganda dapat dilihat dari proses penyampaian gagasan, ide/kepercayaan, atau doktrin dalam rangka mengubah opini, sikap, dan perilaku individu/kelompok, dengan teknik-teknik memengaruhi dalam suatu interaksi politik, baik skala lokal, nasional, regional maupun internasional.[5]
Penyebutan “khilafahisme” masuk dalam teknik propaganda penjulukan (name calling). Teknik ini merupakan teknik propaganda dengan cara memberikan sebuah ide atau label yang buruk kepada orang, gagasan, objek agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Pemberian label buruk tersebut bertujuan untuk menjatuhkan atau menurunkan kewibawaan seseorang atau suatu ajaran yang agung.
Dalam term literatur Islam, kondisi saling melabeli dengan julukan ini sering disebut dengan “perang istilah” (harb al-musthalahat). Perang ini merupakan perang dengan suatu agenda besar, yaitu menimpakan bahaya dan kehancuran pemikiran dan politik kepada lawan. Caranya dengan menggunakan istilah sebagai alat untuk melemahkan, menyesatkan atau mencitraburukkan lawan.[6] Perang Istilah telah digunakan oleh musuh-musuh Islam sejak awal perjuangan Nabi SAW di Makkah. Kaum Quraisy di Makkah telah menyerang Nabi SAW dengan perang istilah ini. Mereka mempropgandakan bahwa Muhammad adalah tukang sihir, dukun bahkan gila.[7]
Serangan terhadap istilah khilafah dalam bentuk pengkerdilan dan reduksi istilah sebenarnya sudah berlangsung lama. Upaya distorsi terhadap istilah khilafah dilakukan secara terus-menerus dan oleh lintas gerenasi. Rasyid Ridha (1865-1935) dengan bukunya yang berjudul al-Khilafah, juga Ali Abdurraziq (1888 – 1966) dengan bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, merupakan dua tokoh yang mengawali upaya pendistorsian makna khilafah.[8]
Ditinjau dari sisi manapun, upaya mendistorsi ajaran Islam adalah kesia-siaan, karena telah menyalahi syariat dan konsensus ulama.
Penggunaan Istilah yang Salah dan Motif Menyerang Ajaran Islam
Penggunaan istilah “khilafahisme” untuk menyebut sistem khilafah adalah bentuk penistaan terhadap ajaran Islam. Apalagi ketika Khilafah disetarakan dengan Marxisme-Komunisme dan Kapitalisme-Liberalisme yang pengembannya bisa diburu dan ditangkap. Khilafah adalah ajaran Islam. Oleh karena itu siapa saja yang memperjuangkannya bukan pelaku kriminal. Mengusahakan tegaknya khilafah adalah wujud ketaatan pada agamanya. Memburu dan menangkap orang yang hendak mengamalkan agamanya adalah bentuk permusuhan pada kaum muslimin. Khilafah adalah ajaran Islam yang agung dari Allah SWT. Khilafah sistem pemerintahan dalam Islam, sekaligus sebagai metode pelaksanaan syariat secara kaffah (menyeluruh).
Khilafah bukan ideologi, karena ideologi merupakan ide dasar yang mendasari semua pemikiran yang dibangun di atasnya. Ideologi adalah pemikiran mendasar yang melahirkan sistem kehidupan. Perlu ditegaskan lagi, bahwa khilafah adalah ajaran Islam tentang sistem pemerintahan, pelaksana hukum syariat dan dakwah.
Khilafah juga bukan “isme” karena ia ajaran Islam yang bersumber dari wahyu, sedangkan isme berasal dari akal dan hawa nafsu manusia. Dalam Wikipedia, sufiks -isme berasal dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Prancis Kuno -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran atau kepercayaan.
Beberapa agama yang bersumber kepada kepercayaan tertentu memiliki sufiks -isme.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, “-isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berda-sarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; komunisme”.[3] Dengan demikian, menyebut khilafah dengan “khilafahisme” adalah kekeliruan, penyesatan, dan pengkerdilan terhadap sesuatu yang agung.
Selain itu, kita juga harus membaca secara politik bahwa istilah tersebut adalah alat propaganda untuk menyerang Islam dan kaum muslimin. Istilah “radikalisme” –dan sekarang “khilafahisme”- selalu digunakan untuk menyasar umat Islam. Kita ketahui bersama bahwa khilafah itu adalah ajaran Islam. Lalu, pantaskah ajaran Islam itu dikriminalisasi? Demikian pula radikalisme yang hingga sekarang masih bias makna dan lebih cenderung sebagai narasi politik untuk melawan pihak-pihak tertentu yang berseberangan dengan penguasa. Ia hanya akan menjadi alat pukul terhadap warga negara yang kritis dan berbeda cara pandang dengan rezim.
Tepat jika dikatakan bahwa narasi “khilafahisme” dan “radikalisme” adalah alat propaganda. Dalam dunia politik, propaganda adalah metode sekaligus alat yang sangat efektif untuk mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawan yang dilakukan lebih dari satu kali atau secara terus menerus (repetitive action).
Secara konseptual, propaganda adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya. Bahkan, propaganda dapat dilihat dari konteks kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi.[4]
Dalam propaganda politik, umumnya melibatkan usaha pemerintah, partai atau golongan untuk pencapaian tujuan strategis dan taktis, dan kegiatan popaganda politik itu sendiri mencakup penyebaran doktrin, penyebaran keyakinan politik tertentu. Secara umum, wujud dari propaganda dapat dilihat dari proses penyampaian gagasan, ide/kepercayaan, atau doktrin dalam rangka mengubah opini, sikap, dan perilaku individu/kelompok, dengan teknik-teknik memengaruhi dalam suatu interaksi politik, baik skala lokal, nasional, regional maupun internasional.[5]
Penyebutan “khilafahisme” masuk dalam teknik propaganda penjulukan (name calling). Teknik ini merupakan teknik propaganda dengan cara memberikan sebuah ide atau label yang buruk kepada orang, gagasan, objek agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Pemberian label buruk tersebut bertujuan untuk menjatuhkan atau menurunkan kewibawaan seseorang atau suatu ajaran yang agung.
Dalam term literatur Islam, kondisi saling melabeli dengan julukan ini sering disebut dengan “perang istilah” (harb al-musthalahat). Perang ini merupakan perang dengan suatu agenda besar, yaitu menimpakan bahaya dan kehancuran pemikiran dan politik kepada lawan. Caranya dengan menggunakan istilah sebagai alat untuk melemahkan, menyesatkan atau mencitraburukkan lawan.[6] Perang Istilah telah digunakan oleh musuh-musuh Islam sejak awal perjuangan Nabi SAW di Makkah. Kaum Quraisy di Makkah telah menyerang Nabi SAW dengan perang istilah ini. Mereka mempropgandakan bahwa Muhammad adalah tukang sihir, dukun bahkan gila.[7]
Serangan terhadap istilah khilafah dalam bentuk pengkerdilan dan reduksi istilah sebenarnya sudah berlangsung lama. Upaya distorsi terhadap istilah khilafah dilakukan secara terus-menerus dan oleh lintas gerenasi. Rasyid Ridha (1865-1935) dengan bukunya yang berjudul al-Khilafah, juga Ali Abdurraziq (1888 – 1966) dengan bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, merupakan dua tokoh yang mengawali upaya pendistorsian makna khilafah.[8]
Ditinjau dari sisi manapun, upaya mendistorsi ajaran Islam adalah kesia-siaan, karena telah menyalahi syariat dan konsensus ulama.
Pertama, syariat telah memerintahkan kepada kita untuk menjadikan Rasulullah sebagai uswah (teladan) dalam semua hal, termasuk dalam hal mengelola negara. Semua yang datang dari Nabi adalah wahyu. As-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang nilai kebenarannya sama dengan al-Quran karena sama-sama berasal dari wahyu. Allah SWT berfirman yang artinya, “Tidaklah yang dia (Muhammad) ucapkan itu menuruti kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada dirinya).”[9]
Kedua, kewajiban untuk mengangkat khalifah yang menerapkan syariat Islam dan mengemban dakwah adalah telah jadi konsensus (ijmak) para ulama. Jadi tidak ada pengingkaran di kalangan ulama terdahulu terkait kewajiban menerapkan sistem pemerintahan yang diwariskan Rasulullah yakni khilafah, kecuali mereka yang menyimpang dari ijmak.
Busuknya upaya mendistorsi ajaran Islam merupakan konfirmasi atas kebenaran firman Allah SWT,
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. al-Taubah: 32)
Khilafah Adalah Ajaran Islam
Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat al-Nahl Ayat 89. Abdullah Ibn Mas’ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”.[10]
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Nabi SAW bersabda,
“Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat” (HR. Ahmad).
Lafazh عُرْوَةً عُرْوَةً) ) menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.[11] Adapun maksud kalimatوَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ) ) adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.[12]
Khilafah memiliki makna yang khas dan agung dalam Islam. Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.[13] Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran, seperti QS. Al-Baqarah: 30, QS. Al-An’âm: 165, dan QS. Al-Naml: 62.
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad SAW dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”[14] demikian juga Imam al-Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.”[15]
Adapun makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang teragung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[16]
Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih praktis,
”Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”[17]
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah khilafah dan Imamah. [18]
Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah sebagai,
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”[19]
Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.”[20]
Definisi yang jami’ dan mani’ adalah,
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”[21]
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil syariah.
Khilafah Adalah Kewajiban dan Solusi
Kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, al-Quran menyatakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah. Nash-nash yang berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah, makna kontekstualnya telah melekat dengan makna tekstualnya. Allah SWT berfirman,
‟Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di antara kalian.” (QS. Al-Nisa’: 59)
Pada ayat ini Allah memerintahkan kita menaati ulil amri. Di sisi lain Allah tidak pernah memerintahkan taat kepada yang tidak ada. Termasuk tidak memerintahkan taat kepada yang keberadaanya hanya sunnah. Maka berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya, sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Ayat tersebut juga mengandung petunjuk (dalalah), keberadaan ulil amri adalah wajib dan wajib pula mengadakan ulil amri (khalifah) dan sistem syar’inya (khilafah). Adanya ulil amri memiliki konsekuemsi tegaknya hukum syara, dan diam tidak mewujudkan ulil amri membawa konsekuensi lenyapnya hukum syara.
Pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman,
“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49).
Seruan Allah SWT untuk Rasulullah –untuk memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan- pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah SAW untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah. Perintah dalam ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal ini menurupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah khilafah.
Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, mu’amalah, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum muslimin telah diwajibkan untuk menerapkan hukum berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah.
Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (penguasa). Atas dasar itu, mengangkat seorang penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah khalifah dan sistem pemerintahannya adalah khilafah.
Selanjutnya dalil al-Sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang menjelaskan secara rinci wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin negara yang akan mengurusi urusan mereka. Nash-nash ini jumlahnya sangat banyak dan diriwayatkan dalam banyak kitab hadits. Semua riwayat tersebut merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas, tentang wajibnya kaum muslim mengangkat (membaiat) seorang kepala negara (khalifah).[22]
Adapun dalil Ijmak Shahabat, sungguh para shahabat RA telah berijmak atas wajibnya mengangkat khalifah. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra mengomentari peristiwa yang terjadi di Tsaqifah bani Sa’idah dengan: “Jika al-Imamah (khilafah) itu tidak wajib, maka tak akan berlangsung diskusi alot tersebut dan dialog tentangnya.”[23] Indikasi kewajiban ini adalah ketika para shahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman jenazah Rasulullah SAW.
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT, syariat nabi Muhammad SAW, dan sunnah para al-Khulafa’ al-Rasyidun. Siapa saja yang mengingkarinya meskipun dengan mengajukan berbagai dalih dan retorika, hakikatnya tidak mengerti bagaimana istinbath al-ahkam kewajiban tersebut dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Kewajiban tersebut bukanlah perkara ijtihadi. Khilafah juga memiliki pilar-pilar (al-qawa’id) sistem pemerintahan Islam yang bersifat baku. Memang benar pada perkara perinciannya ada perkara-perkara yang ijtihadi. Tetapi perlu ditegaskan bahwa hasil ijtihad (fikih) juga merupakan hukum syara’.
Problem Nyata Adalah Sekularisme dan Kapitalisme
Merefleksikan makna kemenangan Idulfitri yang baru berlalu, hari ini justru kita masih terpuruk di semua bidang. Rusaknya tatanan kehidupan bukan disebabkan karena Islam dan khilafah, tetapi karena paham sekularisme dan kapitalisme. Saat ini, kita menyaksikan masih banyak perintah Allah SWT yang belum diamalkan dan berbagai larangan Allah yang masih dilanggar, terutama syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan lain sebagainya. Kondisi rakyat semakin miskin, harga-harga kebutuhan pokok yang terus membumbung tinggi, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam kita dikeruk oleh korporasi-korporasi asing, layanan kesehatan makin mahal, pergaulan pemuda dan pemudinya semakin rusak, korupsi kian merajalela, kerusakan lingkungan yang semakin parah, dan sebagainya.
Dalam bidang politik dan birokrasi, negeri ini semakin terpuruk dengan merebaknya kasus-kasus korupsi. Ibarat fenomena gunung es, apa yang tampak di permukaan, hanya sebagian kecil dari apa yang ada sebenarnya, ditandai dengan temuan kasus-kasus gurita korupsi nasional yang tak kunjung menemukan ujung pangkalnya, diikuti kasus-kasus korupsi di tingkat daerah yang semakin meresahkan. Hal itu makin diperparah dengan berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang ditengarai membatasi ruang gerak KPK.[24]
Dalam bidang ekonomi, utang luar negeri Indonesia setiap tahunnya terus bertambah. Posisi utang Indonesia per akhir Mei 2020 berada di angka Rp5.258,57 triliun. Nilai ini naik dari posisi akhir April 2020 yang berkisar Rp5.172,48 triliun. Rasio utang per akhir Mei 2020 naik di angka 32,09 persen dari PDB dari bulan sebelumnya di angka 31,78 persen dari PDB. Adapun komposisi utang pada Mei 2020 terdiri dari Rp4.442,90 triliun Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp815,66 triliun dari pinjaman.[25]
Liberalisasi ekonomi juga makin menggila. Apalagi dengan disahkannya beberapa Undang-undang seperti UU Minerba. Di tengah pandemi corona semakin mewabah, pemerintah dan DPR secara melenggang kangkung mengesahkan Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang menuai kontroversi dan kejanggalan. Alasan disebut kontroversi, karena materi muatan Perubahan UU Minerba mempertontonkan bagaimana perselingkuhan antara oligarki kekuasaan dengan oligarki perusahaan.[26]
Dalam bidang hukum, kondisinya masih buram. Sejak tahun 2017 ini, negeri ini pun dibuat gaduh dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Ormas, yang kemudian disahkan DPR pada tanggal 24 Oktober 2017 menjadi Undang-Undang (UU). Melalui UU ini pemerintah bisa secara langsung membubarkan Ormas yang dianggap mengancam NKRI tanpa melalui mekanisme pengadilan. Yang lantas dikritik para pakar hukum karena sangat rawan membenarkan tindakan kesewenang-wenangan (otoriter), ketika penguasa secara subjektif berhak memberikan stigma kepada suatu ormas, lalu membubarkannya tanpa proses pembuktian di pengadilan.
Hari ini masyarakat dibuat gaduh kembali dengan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). RUU tersebut akhirnya ditunda pembahasannya setelah mendapat respon penolakan dari berbagai kalangan masyarakat termasuk ormas Islam, MUI diantaranya.[27] RUU HIP seakan mengonfirmasi kebohongan jargon “Pancasila Harga Mati”. Karena apa yang terjadi adalah mereka sendiri yang hendak memeras Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila.
Kasus-kasus di atas, merupakan sebagian kecil dari permasalahan pelik yang mendera negeri ini, disamping persoalan pelik lainnya terkait efek dominasi asing yang semakin menguat, semakin leluasa menguasai dan memiliki aset-aset di negeri ini di bidang properti, perbankan, perkebunan, pertambangan dan sektor strategis; termasuk sektor pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan.
Itu semua sudah seharusnya mendorong orang beriman untuk muhasabah. Maha benar Allah SWT yang berfirman,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum: 41)
Sistem demokrasi yang tegak di atas asas sekularisme, memaksa kaum Muslim memisahkan Islam dari pengaturan urusan publik. Ditandai dengan stigmatisasi negatif kaum liberal yang disematkan kepada syari’at Islam ketika diperjuangkan dan diopinikan sebagai aturan yang wajib diterapkan dalam kehidupan. Beragam tuduhan serius pun dilancarkan, di antaranya syari’at Islam bisa memecah belah bangsa; ajaran radikal, nation state harga mati, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, Islam dimarjinalkan para persoalan privat, mengatur wilayah ritual peribadatan semata. Sedangkan pengaturan urusan kehidupan, diserahkan kepada manusia.
Sistem demokrasi juga tegak dengan pilar-pilar kebebasan yang merusak. Prinsip kebebasan, tidak terpisahkan dari demokrasi, karena tegaknya Demokrasi sedikitnya menuntut 4 prasyarat kebebasan[28]: kebebasan beragama (freedom of Religion), kebebasan berpikir dan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownerships), kebebasan berekspresi/ berprilaku (freedom of personality).
Lahirnya UU Minerba, UU Perbankan, UU Migas, dan lainnya yang tidak berpihak pada rakyat dan cenderung bercorak kapitalistik, adalah di antara bukti kongkrit perundang-undangan hasil proses demokrasi yang menuai kritik para ulama dan cendekiawan muslim.
Penutup
Propaganda “khilafahisme” yang mendistorsi ajaran Islam harus dilawan. Khilafah adalah ajaran Islam dan memberikan jaminan kebaikan jika dijalankan. Khilafah memiliki landasan normatif yang kokoh dan landasan historis yang nyata. Bahkan, mengangkat seorang khalifah untuk menegakkan hukum-hukum Allah adalah menjadi konsensus para ulama. Kita harus katakan bahwa problem nyata dan ancaman yang terus mengintai umat di negeri ini adalah penerapan sekularisme dan sistem kapitalisme. Terakhir, tidak ada jalan lain bagi kita yang mendambakan keberkahan hidup, dan meniti jalan pendahulu kita, kecuali berjuang merealisasikan kembali proyek agung kehidupan Islam, sebagai salah satu bagian dari pesan mendalam Rasulullah SAW, dari Al-’Irbadh bin Sariyah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut) dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[29]. []
Penulis Ustadz Yuana Ryan Tresna
Mudir Ma'had Khadimus Sunnah Bandung
Catatan Kaki:
[1] Lihat tribunnews.com, “Penyebar Paham Khilafahisme akan Diburu Seperti Paham Marxisme-Komunisme, Kapitalisme-Liberalisme”, 15 Juni 2020, https://makassar.tribunnews.com/2020/06/15/penyebar-paham-khilafahisme-akan-diburu-seperti-paham-marxisme-komunisme-kapitalisme-liberalisme [diakses 18 Juni 2020]
[2] Lihat wikipedia.org, <https://id.wikipedia.org/wiki/-isme#:~:text=Sufiks%20%2Disme%20berasal%20dari%20Yunani,kepercayaan%20tertentu%20memiliki%20sufiks%20%2Disme> [diakses 18 Juni 2020].
[3] Lihat kbbi.web.id, <https://kbbi.web.id/-is%20isme> [diakses 18 Juni 2020].
[4] Lihat Abdul Rivai Ras, “Mengenal Propaganda Politik di Era Post-Truth”, <https://kumparan.com/abdul-rivai-ras/mengenal-propaganda-politik-di-era-post-truth-1549632367408752701/full> [diakses 18 Juni 2020].
[5] Lihat Abdul Rivai Ras, “Mengenal Propaganda Politik di Era Post-Truth”.
[6] Lihat Utsman Zahid as-Sidany, “Perang Istilah”, <https://al-waie.id/fokus/perang-istilah/> [diakses 18 Juni 2020].
[7] QS al-Shaffat: 36; ad-Dukhan: 14; al-Dzariyat: 39 & 52; al-Thur: 29; dan al-Qamar: 29.
Kedua, kewajiban untuk mengangkat khalifah yang menerapkan syariat Islam dan mengemban dakwah adalah telah jadi konsensus (ijmak) para ulama. Jadi tidak ada pengingkaran di kalangan ulama terdahulu terkait kewajiban menerapkan sistem pemerintahan yang diwariskan Rasulullah yakni khilafah, kecuali mereka yang menyimpang dari ijmak.
Busuknya upaya mendistorsi ajaran Islam merupakan konfirmasi atas kebenaran firman Allah SWT,
يُرِيدُونَ أَن يُطۡفِئُواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَيَأۡبَى ٱللَّهُ إِلَّآ أَن يُتِمَّ نُورَهُۥ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. al-Taubah: 32)
Khilafah Adalah Ajaran Islam
Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat al-Nahl Ayat 89. Abdullah Ibn Mas’ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”.[10]
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Nabi SAW bersabda,
لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat” (HR. Ahmad).
Lafazh عُرْوَةً عُرْوَةً) ) menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.[11] Adapun maksud kalimatوَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ) ) adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.[12]
Khilafah memiliki makna yang khas dan agung dalam Islam. Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.[13] Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran, seperti QS. Al-Baqarah: 30, QS. Al-An’âm: 165, dan QS. Al-Naml: 62.
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad SAW dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”[14] demikian juga Imam al-Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.”[15]
Adapun makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang teragung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[16]
Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih praktis,
الخليفة هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان، وفي تنفيذ أحكام الشرع
”Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”[17]
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah khilafah dan Imamah. [18]
Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah sebagai,
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”[19]
Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,
الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.”[20]
Definisi yang jami’ dan mani’ adalah,
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”[21]
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil syariah.
Khilafah Adalah Kewajiban dan Solusi
Kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, al-Quran menyatakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah. Nash-nash yang berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah, makna kontekstualnya telah melekat dengan makna tekstualnya. Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
‟Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di antara kalian.” (QS. Al-Nisa’: 59)
Pada ayat ini Allah memerintahkan kita menaati ulil amri. Di sisi lain Allah tidak pernah memerintahkan taat kepada yang tidak ada. Termasuk tidak memerintahkan taat kepada yang keberadaanya hanya sunnah. Maka berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya, sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Ayat tersebut juga mengandung petunjuk (dalalah), keberadaan ulil amri adalah wajib dan wajib pula mengadakan ulil amri (khalifah) dan sistem syar’inya (khilafah). Adanya ulil amri memiliki konsekuemsi tegaknya hukum syara, dan diam tidak mewujudkan ulil amri membawa konsekuensi lenyapnya hukum syara.
Pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman,
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. al-Maidah: 48).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49).
Seruan Allah SWT untuk Rasulullah –untuk memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan- pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah SAW untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah. Perintah dalam ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal ini menurupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah khilafah.
Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, mu’amalah, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum muslimin telah diwajibkan untuk menerapkan hukum berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah.
Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (penguasa). Atas dasar itu, mengangkat seorang penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah khalifah dan sistem pemerintahannya adalah khilafah.
Selanjutnya dalil al-Sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang menjelaskan secara rinci wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin negara yang akan mengurusi urusan mereka. Nash-nash ini jumlahnya sangat banyak dan diriwayatkan dalam banyak kitab hadits. Semua riwayat tersebut merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas, tentang wajibnya kaum muslim mengangkat (membaiat) seorang kepala negara (khalifah).[22]
Adapun dalil Ijmak Shahabat, sungguh para shahabat RA telah berijmak atas wajibnya mengangkat khalifah. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra mengomentari peristiwa yang terjadi di Tsaqifah bani Sa’idah dengan: “Jika al-Imamah (khilafah) itu tidak wajib, maka tak akan berlangsung diskusi alot tersebut dan dialog tentangnya.”[23] Indikasi kewajiban ini adalah ketika para shahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman jenazah Rasulullah SAW.
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT, syariat nabi Muhammad SAW, dan sunnah para al-Khulafa’ al-Rasyidun. Siapa saja yang mengingkarinya meskipun dengan mengajukan berbagai dalih dan retorika, hakikatnya tidak mengerti bagaimana istinbath al-ahkam kewajiban tersebut dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Kewajiban tersebut bukanlah perkara ijtihadi. Khilafah juga memiliki pilar-pilar (al-qawa’id) sistem pemerintahan Islam yang bersifat baku. Memang benar pada perkara perinciannya ada perkara-perkara yang ijtihadi. Tetapi perlu ditegaskan bahwa hasil ijtihad (fikih) juga merupakan hukum syara’.
Problem Nyata Adalah Sekularisme dan Kapitalisme
Merefleksikan makna kemenangan Idulfitri yang baru berlalu, hari ini justru kita masih terpuruk di semua bidang. Rusaknya tatanan kehidupan bukan disebabkan karena Islam dan khilafah, tetapi karena paham sekularisme dan kapitalisme. Saat ini, kita menyaksikan masih banyak perintah Allah SWT yang belum diamalkan dan berbagai larangan Allah yang masih dilanggar, terutama syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan lain sebagainya. Kondisi rakyat semakin miskin, harga-harga kebutuhan pokok yang terus membumbung tinggi, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam kita dikeruk oleh korporasi-korporasi asing, layanan kesehatan makin mahal, pergaulan pemuda dan pemudinya semakin rusak, korupsi kian merajalela, kerusakan lingkungan yang semakin parah, dan sebagainya.
Dalam bidang politik dan birokrasi, negeri ini semakin terpuruk dengan merebaknya kasus-kasus korupsi. Ibarat fenomena gunung es, apa yang tampak di permukaan, hanya sebagian kecil dari apa yang ada sebenarnya, ditandai dengan temuan kasus-kasus gurita korupsi nasional yang tak kunjung menemukan ujung pangkalnya, diikuti kasus-kasus korupsi di tingkat daerah yang semakin meresahkan. Hal itu makin diperparah dengan berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang ditengarai membatasi ruang gerak KPK.[24]
Dalam bidang ekonomi, utang luar negeri Indonesia setiap tahunnya terus bertambah. Posisi utang Indonesia per akhir Mei 2020 berada di angka Rp5.258,57 triliun. Nilai ini naik dari posisi akhir April 2020 yang berkisar Rp5.172,48 triliun. Rasio utang per akhir Mei 2020 naik di angka 32,09 persen dari PDB dari bulan sebelumnya di angka 31,78 persen dari PDB. Adapun komposisi utang pada Mei 2020 terdiri dari Rp4.442,90 triliun Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp815,66 triliun dari pinjaman.[25]
Liberalisasi ekonomi juga makin menggila. Apalagi dengan disahkannya beberapa Undang-undang seperti UU Minerba. Di tengah pandemi corona semakin mewabah, pemerintah dan DPR secara melenggang kangkung mengesahkan Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang menuai kontroversi dan kejanggalan. Alasan disebut kontroversi, karena materi muatan Perubahan UU Minerba mempertontonkan bagaimana perselingkuhan antara oligarki kekuasaan dengan oligarki perusahaan.[26]
Dalam bidang hukum, kondisinya masih buram. Sejak tahun 2017 ini, negeri ini pun dibuat gaduh dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Ormas, yang kemudian disahkan DPR pada tanggal 24 Oktober 2017 menjadi Undang-Undang (UU). Melalui UU ini pemerintah bisa secara langsung membubarkan Ormas yang dianggap mengancam NKRI tanpa melalui mekanisme pengadilan. Yang lantas dikritik para pakar hukum karena sangat rawan membenarkan tindakan kesewenang-wenangan (otoriter), ketika penguasa secara subjektif berhak memberikan stigma kepada suatu ormas, lalu membubarkannya tanpa proses pembuktian di pengadilan.
Hari ini masyarakat dibuat gaduh kembali dengan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). RUU tersebut akhirnya ditunda pembahasannya setelah mendapat respon penolakan dari berbagai kalangan masyarakat termasuk ormas Islam, MUI diantaranya.[27] RUU HIP seakan mengonfirmasi kebohongan jargon “Pancasila Harga Mati”. Karena apa yang terjadi adalah mereka sendiri yang hendak memeras Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila.
Kasus-kasus di atas, merupakan sebagian kecil dari permasalahan pelik yang mendera negeri ini, disamping persoalan pelik lainnya terkait efek dominasi asing yang semakin menguat, semakin leluasa menguasai dan memiliki aset-aset di negeri ini di bidang properti, perbankan, perkebunan, pertambangan dan sektor strategis; termasuk sektor pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan.
Itu semua sudah seharusnya mendorong orang beriman untuk muhasabah. Maha benar Allah SWT yang berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum: 41)
Sistem demokrasi yang tegak di atas asas sekularisme, memaksa kaum Muslim memisahkan Islam dari pengaturan urusan publik. Ditandai dengan stigmatisasi negatif kaum liberal yang disematkan kepada syari’at Islam ketika diperjuangkan dan diopinikan sebagai aturan yang wajib diterapkan dalam kehidupan. Beragam tuduhan serius pun dilancarkan, di antaranya syari’at Islam bisa memecah belah bangsa; ajaran radikal, nation state harga mati, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, Islam dimarjinalkan para persoalan privat, mengatur wilayah ritual peribadatan semata. Sedangkan pengaturan urusan kehidupan, diserahkan kepada manusia.
Sistem demokrasi juga tegak dengan pilar-pilar kebebasan yang merusak. Prinsip kebebasan, tidak terpisahkan dari demokrasi, karena tegaknya Demokrasi sedikitnya menuntut 4 prasyarat kebebasan[28]: kebebasan beragama (freedom of Religion), kebebasan berpikir dan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownerships), kebebasan berekspresi/ berprilaku (freedom of personality).
Lahirnya UU Minerba, UU Perbankan, UU Migas, dan lainnya yang tidak berpihak pada rakyat dan cenderung bercorak kapitalistik, adalah di antara bukti kongkrit perundang-undangan hasil proses demokrasi yang menuai kritik para ulama dan cendekiawan muslim.
Penutup
Propaganda “khilafahisme” yang mendistorsi ajaran Islam harus dilawan. Khilafah adalah ajaran Islam dan memberikan jaminan kebaikan jika dijalankan. Khilafah memiliki landasan normatif yang kokoh dan landasan historis yang nyata. Bahkan, mengangkat seorang khalifah untuk menegakkan hukum-hukum Allah adalah menjadi konsensus para ulama. Kita harus katakan bahwa problem nyata dan ancaman yang terus mengintai umat di negeri ini adalah penerapan sekularisme dan sistem kapitalisme. Terakhir, tidak ada jalan lain bagi kita yang mendambakan keberkahan hidup, dan meniti jalan pendahulu kita, kecuali berjuang merealisasikan kembali proyek agung kehidupan Islam, sebagai salah satu bagian dari pesan mendalam Rasulullah SAW, dari Al-’Irbadh bin Sariyah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut) dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[29]. []
Penulis Ustadz Yuana Ryan Tresna
Mudir Ma'had Khadimus Sunnah Bandung
Catatan Kaki:
[1] Lihat tribunnews.com, “Penyebar Paham Khilafahisme akan Diburu Seperti Paham Marxisme-Komunisme, Kapitalisme-Liberalisme”, 15 Juni 2020, https://makassar.tribunnews.com/2020/06/15/penyebar-paham-khilafahisme-akan-diburu-seperti-paham-marxisme-komunisme-kapitalisme-liberalisme [diakses 18 Juni 2020]
[2] Lihat wikipedia.org, <https://id.wikipedia.org/wiki/-isme#:~:text=Sufiks%20%2Disme%20berasal%20dari%20Yunani,kepercayaan%20tertentu%20memiliki%20sufiks%20%2Disme> [diakses 18 Juni 2020].
[3] Lihat kbbi.web.id, <https://kbbi.web.id/-is%20isme> [diakses 18 Juni 2020].
[4] Lihat Abdul Rivai Ras, “Mengenal Propaganda Politik di Era Post-Truth”, <https://kumparan.com/abdul-rivai-ras/mengenal-propaganda-politik-di-era-post-truth-1549632367408752701/full> [diakses 18 Juni 2020].
[5] Lihat Abdul Rivai Ras, “Mengenal Propaganda Politik di Era Post-Truth”.
[6] Lihat Utsman Zahid as-Sidany, “Perang Istilah”, <https://al-waie.id/fokus/perang-istilah/> [diakses 18 Juni 2020].
[7] QS al-Shaffat: 36; ad-Dukhan: 14; al-Dzariyat: 39 & 52; al-Thur: 29; dan al-Qamar: 29.
[8] Lihat Syawa’ib Tafsir, sub bab Syawa’ib fi Nizham al-Hukm.
[9] Lihat QS. al-Najm [53]: 3-4.
[10] Lihat Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz IV, hlm. 594.
[11] Lihat al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
[12] Lihat al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
[13] Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.
[14] Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
[15] Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke-19, hlm. 485.
[16] Lihat al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
[17] Lihat Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
[18] Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini, Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
[19] Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
[20] Lihat Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyatsi al-Dzulam, hlm. 15.
[21] Lihat Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 225-230.
[22] Lihat Yuana Ryan Tresna, “Memahami Penggalian Hukum Kewajiban menegakkan Khilafah”, 4 Juni 2020, <https://yuanaryantresna.id/2020/06/04/memahami-penggalian-hukum-kewajiban-menegakkan-khilafah/> [diakses 18 Juni 2020].
[23] Lihat Abu Ya’la al-Farra, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juz I, hlm. 19.
[24] Lihat nasional.kompas.com, 18 februari 2020, “2020, ICW Prediksi Jumlah Kasus Korupsi yang Ditangani KPK Turun”, < https://nasional.kompas.com/read/2020/02/18/18491581/2020-icw-prediksi-jumlah-kasus-korupsi-yang-ditangani-kpk-turun> [diakses 18 Juni 2020].
[25] Lihat tirto.id, 17 Juni 2020, “Utang Indonesia Naik lagi Per Mei 2020 Jadi Rp.5.258 Triliun”< https://tirto.id/utang-indonesia-naik-lagi-per-mei-2020-jadi-rp5258-triliun-fJiz> [diakses 18 Juni 2020].
[26] Lihat tempo.co, 18 Juni 2020, “Deretan Pasal Kontroversi UU Minerba”, <https://nasional.tempo.co/read/1341732/deretan-pasal-kontroversi-uu-minerba> [diakses 18 Juni 2020].
[27] Lihat kompas.com, 17 Juni 2020, “Polemik RUU HIP dan Keputusan Pemerintah Menunda Pembahasannya”, < https://nasional.kompas.com/read/2020/06/17/06040231/polemik-ruu-hip-dan-keputusan-pemerintah-menunda-pembahasannya?page=all> [diakses 18 Juni 2020].
[28] Dadang Juliantara, Meretas Jalan Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
[29] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan para rawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 7516).
Sumber artikel: yuanaryantresna.id
COMMENTS