Badai politik PDIP
Oleh Hersubeno Arief
PDIP dan partai-partai pendukung pemerintah salah kalkulasi soal RUU HIP. Kelihatannya mereka menduga bakal selamat, sukses menyelundupkan dan menggolkan undang-undang, seperti sebelumnya.
Mumpung sedang pandemi. Mumpung rakyat sibuk dengan urusan perut dan periuk nasi. Mumpung elemen masyarakat kritis dan mahasiswa tak bisa turun ke jalan.
Optimisme itu tidak berlebihan. Sejauh ini mereka selalu sukses. Bekerja untuk kepentingan oligarki, meloloskan undang-undang di balik tabir pandemi.
Mulai dari UU Minerba, sampai yang kelas kakap seperti UU Kebijakan dan Stabilitas Keuangan Negara alias UU Covid-19.
Semua berhasil digolkan. Melenggang mulus tanpa perlawanan yang berarti. Hanya riak-riak, gelombang kecil yang hilang dengan sendirinya. Tertelan waktu dan berbagai isu.
Tapi kali ini mereka salah hitung. Terlalu serakah dan kemaruk. Aji mumpung.
Mereka barangkali lupa dengan pepatah, tak ada pesta yang tak berakhir. Ketika lampu menyala, dan musik berhenti, mereka seperti tersadar dari mimpi.
Perlawanan publik kali ini bukan hanya riak ombak kecil, yang mengayun dan meninabobokan. Sudah berubah menjadi gelombang pasang.
Bila salah antisipasi bisa menjadi tsunami. Menggulung mereka sampai jauh ke daratan.
Tsunami politik tidak hanya bagi PDIP, tapi juga bagi pemerintahan Jokowi.
Setelah terpecah belah selama rezim Jokowi berkuasa, baru kali inilah kekuatan agama dan nasionalis bersatu.
Mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah, PBNU, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sampai Forum Purnawirawan TNI Polri.
Belum lagi berbagai ormas dan elemen-elemen masyarakat lain yang tak terhitung jumlahnya. Semua bersatu padu menolak RUU HIP.
Padahal MUI masih dipimpin (non aktif) oleh Wapres Ma’ruf Amin. Di kalangan purnawirawan ada mantan Wapres Try Sutrisno yang kini menjadi anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP).
Mereka adalah bagian dari rezim penguasa. RUU HIP tak lagi membuat mereka melakukan kalkulasi politik pragmatis. Ini merupakan soal prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar.
(Eforia kekuasaan)
PDIP tampaknya sedang eforia kuasa. Mereka lupa atau mungkin terlalu percaya diri. Berani dan nekad menabrak isu yang selama ini menjadi tabu terbesar (the biggest taboo) bangsa. Masalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kebangkitan PKI.
Dua isu itu langsung membuat berdiri tanduk berbagai elemen masyarakat. Menyatukan kekuatan yang selama ini terpecah belah.
Tak ada pilihan lain bagi PDIP harus menarik diri. Mundur teratur. Kecuali bila ingin hancur.
Apalagi partai-partai pemerintah yang sebelumnya sempat mendukung, langsung balik badan dan cuci tangan. PDIP ditinggal sendirian menghadapi badai.
Tudingan anti agama dan memberi ruang kebangkitan PKI terlalu berat untuk ditanggung. Stigma ini sangat kuat melekat pada PDIP. Baik karena faktor sejarah maupun representasi anggota dewan dan pemilihnya.
Apalagi rakyat kini sedang sangat sensitif dan waspada atas isu dominasi modal dan TKA Cina. Negara kapitalis sekaligus komunis.
Pemerintah setelah melalui perdebatan sengit di jajaran Polhukam akhirnya melemparkan bola panas itu kembali ke DPR.
Tinggallah PDIP yang kini harus bersih-bersih. Berkelit sana-sini, berusaha menyelamatkan diri.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan partainya bersedia memasukkan TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam RUU HIP.
Hasto juga menyatakan partainya setuju menghapus pasal tentang ciri pokok Pancasila yang dikristalisasi dalam Trisila dan Ekasila. Sebelumnya ketentuan itu dicantumkan dalam Pasal 7 RUU HIP.
Dalam Pasal 2 disebutkan: Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
Sementara dalam Pasal 3 Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Usulan ini bukan barang baru. Formula dan rumusan kalimatnya persis seperi yang disampaikan Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Tanggal 1 Juni inilah yang kemudian pada tahun 2016 ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Soal peras memeras Pancasila ini belakangan PDIP melalui Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengelak dan menyatakan bukan usulan partainya.
Dia mengaku punyi buktinya. Namun dia menolak menyebutkan usulan siapa dan dari partai apa?
Di medsos beredar pidato Ketua Umum PDIP Megawati yang kembali menyitir gagasan Bung Karno memeras Pancasila hanya menjadi Ekasila. Pidato itu disampaikan pada HUT PDIP ke-44 di Jakarta (2017).
Dengan fakta-fakta itu agak sulit bagi PDIP membantah. RUU usulan itu berasal dari mereka. Yang menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HIP kader PDIP Rieke Diah Pitaloka.
Secara historis maupun politik, PDIP paling berkepentingan. Jadi sulit bagi mereka untuk buang badan begitu saja.
Belakangan para pimpinan DPR juga sepakat untuk menunda pembahasan. Namun itu tampaknya tidak cukup.
Hampir semua elemen masyarakat menginginkan agar RUU tersebut dicabut, dibatalkan.
Selain isu PKI dan atheisme yang menafikan keberadaan tuhan dan agama, banyak yang khawatir Pancasila akan kembali menjadi alat gebuk rezim terhadap lawan-lawan politiknya.
Kekhawatiran yang punya alasan sejarah cukup kuat. Orde Lama maupun Orde Baru pernah melakukan hal serupa.
PDIP harusnya belajar dari sejarah. Mereka pernah berada dalam kekuasaan, kemudian berada di luar kekuasaan. Kini kembali berada di dalam kekuasaan.
Alat pemukul yang mereka ciptakan selama berkuasa, boleh jadi saat ini efektif untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. Namun jangan lupa, suatu saat bisa digunakan oleh penguasa untuk menggebuk balik mereka.
Apa tidak ingat bagaimana rasanya menjadi oposisi. Mengalami represi berkepanjangan selama Orde Baru berkuasa?
Bukankah sejarah selalu berulang? Secara hukum alam (sunatullah) kekuasaan itu juga akan dipergilirkan.
Sekali lagi, belajarlah dari sejarah. Tidak ada kekuasaan yang abadi. Mawas dirilah….end
COMMENTS