jumlah positif Covid-19 di Indonesia yang kini sudah mencapai lebih dari 29 ribu kasus, pemerintah justru menyikapinya dengan menerapkan New Normal Life
Kasus positif Covid-19 di negeri +62 ini rupanya semakin tak terkendali. Warna merahnya tak lagi muda tapi justru makin pekat bahkan sempat ditemukan daerah zona hitam yakni di Surabaya beberapa waktu lalu.
Namun, sepertinya pemimpin negeri ini justru tampak tak serius menangani pandemi ini. Bagaimana tidak? Ditengah kondisi kurva positif Covid-19 yang tak kunjung mengalami trend penurunan, para pejabat negeri ini justru mengeluarkan pernyataan kontroversial.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak rakyat untuk berdamai dengan virus corona hingga ditemukannya vaksin yang efektif. Kemudian disusul dengan kelakar Menko Polhukam Mahfud MD yang menyamakan virus corona dengan istri.
Semakin mengherankan ketika jumlah positif Covid-19 di Indonesia yang kini sudah mencapai lebih dari 29 ribu kasus, pemerintah justru menyikapinya dengan menerapkan New Normal Life, dimana aktivitas di luar rumah dapat kembali berjalan seperti sedia kala dengan tetap memenuhi protokol kesehatan.
Epidemiolog Ridwan Amiruddin bahkan menyebutnya sebagai new normal yang prematur sebab dilakukan ketika kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi (www.kanalkalimantan.com, 28/05/20).
Seperti diketahui beberapa negara sudah ada yang menerapkan new normal diantaranya adalah Korea Selatan. Namun, hal ini justru mendatangkan gelombang kedua Covid-19. Dilansir dari www.tribunnews.com (31/05/2020), Korea Selatan telah mencabut pembatasan nasional pada 6 Mei lalu. Namun, lonjakan kasus justru terjadi dan membuat Korea Selatan kembali melakukan pembatasan sosial hingga 14 Juni mendatang.
Bagaimana dengan Indonesia? Melihat semrawutnya penanganan Covid-19, mulai dari tak memadainya alat tes untuk mendeteksi virus corona (rapid, swab, PCR) hingga kondisi memprihatinkan para tenaga medis yang harus bertempur dengan proteksi minim, sepertinya sudah cukup membuktikan ketidaksiapan Indonesia jika harus menerapkan New Normal Life.
Berapa banyak lagi rakyat yang harus dikorbankan? Jika penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja tak mampu membendung jatuhnya korban apalagi ketika aktivitas dijalankan secara normal. Terlebih setelah diketahui bahwa tak semua orang yang terpapar virus ini akan menampakkan gejala. Terbukti dengan ditemukannya kasus Orang Tanpa Gejala (OTG). Jika seperti ini, maka tak ada jaminan keselamatan sekalipun dalam implementasi new normal tetap menjalankan protokol kesehatan, sebab antara orang sehat dengan carrier (OTG) tak ada beda secara fisik.
Ditambah lagi hasil kajian para akademisi yang menunjukkan bahwa satu orang yang terinfeksi Covid-19 dapat menularkan kepada tiga individu lainnya. Hal ini justru berpotensi besar menjadikan kurva positif Covid-19 di Indonesia menaik tajam. Tak ayal, kebijakan New Normal Life ini justru menimbulkan pertanyaan "Can we still live?" di tengah kepungan virus asal Wuhan ini.
Namun mengapa kebijakan ini justru dipilih pemerintah sebagai jalan keluar? Nyatanya terselip motif ekonomi dibalik skenario hidup new normal ini. PBB menyatakan bahwa "kondisi 'normal yang dulu (old normal)' tidak akan pernah kembali, sehingga pemerintah harus bertindak menciptakan ekonomi baru dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak" (www.unsdg.un.org, 27/04/2020).
Kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 2,41% dibandingkan dengan kuartal IV/2019 (www.ekonomi.bisnis.com, 05/05/2020) semakin mendesak pemerintah sesegera mungkin menciptakan kondisi new normal meskipun kurva masih terus melonjak naik.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad bahkan mendukung keputusan pemerintah tersebut dengan alasan negara tidak mungkin secara terus menerus membiayai rakyatnya. Rakyat harus kembali bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Dukungan tersebut ia publikasikan dalam akun twitternya pada 26 Mei lalu.
Kondisi perekonomian yang dipastikan tak akan membaik setelah pandemi berakhir membuat para kapitalis meramu formula New Normal Life sebagai solusi. Bagaimanapun juga roda perekonomian harus tetap berjalan agar pundi-pundi keuangan para kapitalis itu tetap terisi. Kita bisa melihat watak kapitalisme dalam diri penguasa negeri ini bahkan sejak pertama kali wabah ini dikonfirmasi awal Maret lalu.
Bagaimana penguasa negeri ini justru tak melarang pendatang dari Cina masuk ke Indonesia, yang notabene adalah negara asal virus corona ini. Sebaliknya justru terjadi kasus pemecatan Ruslan Buton. Kuasa hukum mantan anggota TNI ini mengatakan bahwa kliennya dipecat karena menolak Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina masuk ke Maluku (www.tribunnews.com, 31/05/2020).
Kebijakan beraroma materialisme ini semakin membuktikan bahwa pemimpin negara penganut kapitalisme tak akan pernah benar-benar peduli pada nasib rakyatnya. Alih-alih memperbaiki perekonomian, new normal justru akan semakin memburuk dampaknya, sebab faktor ekonomi utamanya yakni manusia sudah berguguran lantaran mengalami kematian massal akibat pandemi. Watak kapitalis membuat setiap kebijakan yang diambil tak akan jauh dari pertimbangan ekonomi, bukan didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan publik.
Aroma busuk kapitalisme ini bahkan sudah tercium sejak wacana pelonggaran PSBB menyeruak. Hal itu pun kemudian mengundang komentar Syahrul Aidi Maazat. “Kami mempunyai kekhawatiran ada segelintir pebisnis tertentu yang resah dengan jatuhnya bidang usahanya dan mengakibatkan mereka di jurang kebangkrutan dan mendesak pemerintah untuk melonggarkan PSBB”, kata anggota DPR dari fraksi PKS ini lewat keterangan tertulis (www.nasional.tempo.co, 03/05/2020).
Kebijakan New Normal Life ini pun menyelisihi syari'at. Islam tak pernah menjadikan manfaat (ekonomi) sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setiap kebijakan dan aturan yang diterapkan bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pun dalam hal penanganan wabah.
Dalam paradigma Islam, jiwa (nyawa) merupakan satu dari dharuriyyatul khams, lima kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dalam sejarah, wabah penyakit menular (kusta) pernah menjangkit pada masa Rasulullah SAW. Beliau kemudian menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderitanya.
Beliau memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut, sebagaimana sabda beliau "Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta" (HR. Bukhari). Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasulullah SAW membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Baginda Nabi Muhammad SAW pun memerintahkan dalam hadits yang lain, "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu" (HR. Bukhari).
Karantina wilayah terdampak yang diterapkan sejak awal kemunculan wabah membuat wabah tak menyebar luas. Kondisi ini akan memudahkan upaya penanggulangan wabah itu sendiri sebab dapat mempersempit ruang gerak virus. Kegiatan sosial dan ekonomi di wilayah yang tidak terdampak pun dapat berjalan normal tanpa ada kekhawatiran terpapar virus.
Masyarakat yang berada di wilayah terdampak tak perlu risau memikirkan pemenuhan kebutuhan dasar mereka, sebab dalam kondisi normal pun negara sudah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), kesehatan, pendidikan serta keamanan bagi seluruh rakyatnya, terlebih dalam kondisi wabah melanda.
Mekanisme penanganan wabah yang sesuai dengan syari'at Islam ini jugalah yang kemudian tercatat dalam sejarah peradaban Islam mampu menghantarkan Khalifah Umar bin Khattab pada keberhasilannya mengatasi wabah tha'un di Amwas.
Wallahua'lam bish-shawab
Oleh : Dwi Miftakhul Hidayah, S.ST (Aktivis Muslimah)
COMMENTS