Polemik Kartu Pra Kerja
Oleh : Anita Irmawati | Member Muslimah Voice, Bogor
Pandemi membuat negara mesti teruji mulai dari aturan hingga pelayanan mengabdi pada masyarakat. Tetap menjamin hajat hidup rakyat walau pandemi sedang menyerang. Negara mesti jadi pelindung utama bahkan memprioritaskan rakyat diatas kepentingan yang lain, karena negara tetap jadi perisai utama. Tak heran berbagi bantuan terus diberikan hingga berbagai macam jenis bantuan kerap mewarnai, namun itu semua bukanlah hal yang merugikan justru menjadi kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan.
/Kebijakan Prematur Bikin Ngelantur/
Kartu Prakerja merupakan salah satu semi bantuan yang diluncurkan oleh pemerintah, dasar hukumnya pun diatur dalam Perpres 36 tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja yang ditetapkan pada 26 Februari 2020 silam. Program ini sebagai bentuk realisasi janji kampanye pemilu pilpres pada 2019 pasangan Jokowi-Ma'ruf. Tak heran sudah beberapa bulan semenjak dilantik secara resmi, Kartu Prakerja belum jua terlaksana.
Alih-alih bantuan sosial untuk meminimalisir dampak pandemi dimasyarakat, Kartu Prakerja yang masih tahap wacana mengalami perubahan fungsi akibat Corona. Semula program kartu pra-kerja bertujuan untuk meningkatkan keterampilan para calon pekerja yang dikhususkan untuk generasi muda. Namun dengan adannya pandemi, program ini berubah menjadi semi bantuan sosial. Mengingat, banyak sekali masyarakat yang terdampak langsung dari virus corona khususnya sektor informal. (https://www.google.com/amp/s/amp.dialeksis.com/nasional/pemerintah-ubah-fungsi-kartu-pra-kerja-jadi-program-semi-bansos/ Dialeksis.com, 28/03/20)
Kartu Prakerja berpindah haluan menjadi semi bantuan yang ditujukan pada pekerjaan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Corona. Bukan tanpa sebab target PHK menjadi prioritas utama penerima bantuan, mengingat setidaknya terdapat 2.084.593 pekerja yang dirumahkan dan kena PHK akibat terimbas pandemi corona dari 116.370 perusahaan dalam sektor formal dan informal (Data Kemenaker per 20 April 2020). Gelombang PHK terjadi akibat dampak pandemi, 2 juta rakyat harus kebingungan mencari sesuap nasi sebagai pengganggu. Apalagi dampak Corona sungguh meluluhlantakkan kehidupan, ekonomi yang kolaps hingga kelaparan melanda.
Anggaran kartu prakerja pun mengalami penambahan dari anggaran sebelumnya dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Tak lupa peningkatan anggaran juga diikuti dengan penambahan penerima kartu prakerja, dari 2 juta orang menjadi 5,6 juta karena pandemi membuat gelombang PHK terjadi. Anggaran fantastis untuk sebuah program yang belum siap digunakan. ( katadata.co.id, 01/04/20)
Kartu Prakerja tetap diluncurkan dengan label semi bantuan, mungkin wacana dan rencana Kartu Prakerja digodok kiat hingga peluncuran tetap dilaksanakan walaupun berbagai pihak sudah memperhitungkan kesiapan Kartu Prakerja yang dianggap masih prematur dalam program yang kurang tepat dalam menghadapi pandemi. Peluncuran terus dilakukan hingga pendaftaran dibuka pemerintah tanpa mendengar saran-saran yang diajukan.
Peluncuran dibuka oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang membuka pendaftaran kartu pra-kerja. Pendaftaran dimulai sejak 11/4 lalu hingga ditutup pada 16/4 mendatang. Pendaftaran akan dilakukan secara bertahap melalui beberapa gelombang pendaftaran. Pengumuman penerimaan akan dilakukan setelah satu hari penutupan pendaftaran tiap gelombang. Setelah dinyatakan lolos sebagai penerima kartu pra-kerja akan dilakukan pelatihan secara online. ( CNN Indonesia 11/04/20)
Reaksi peluncuran disambut hangat namun tetap tanda tanya besar bagaimana program Kartu Prakerja akan berjalan. Mengingat rencana yang masih abu-abu namun anggaran besar diluncurkan. Hal ini tentu membuat celah dan peluang besar terjadinya korupsi yang merugikan dan mengambil keuntungan besar didalamnya oleh oknum yang harus harta.
/ Kecacatan Program Terbukti Merugikan Negara/
Program Kartu Prakerja telah berjalan pada gelombang ketiga semenjak diluncurkan, namun fakta pelaksanaan program sudah terkubur dengan serangkaian new normal yang saat ini dilakukan. Bahkan Kartu Prakerja mirip acara yang digelar lalu hilang tinggal kenangan. Padahal sejumlah kejanggalan dan kecacatan program justru dirasakan para peserta Kartu Prakerja. Namun apresiasi bagi KPK yang masih bisa menjalankan tugas melacak keprematuran pelaksanaan program hingga menyarangkan untuk Kartu Prakerja dihentikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan metode pelaksanaan program pelatihan program Kartu Prakerja yang berpotensi merugikan negara. Hal ini diketahui setelah lembaga antirasuah melakukan kajian terkait dengan Kartu Prakerja. KPK mengidentifikasi sejumlah persoalan dalam pelaksanaan program kartu pra-kerja dalam empat aspek yakini proses pendaftaran, kemitraan dengan platform digital, materi pelatihan, dan pelaksanaan program. (Radar Bogor 19/06/20)
Berbagai permasalahan mulai terdeteksi, padahal kejanggalan ini sudah dapat diprediksi ketika wacana Kartu Prakerja yang akan diluncurkan, mulai ketidakjelasan dan transparansi pelaksanaan sangat tertutup rapat. Apalagi esensi program yang tak menyentuh kebutuhan rakyat saat pandemi. Mulai dari target, alokasi anggaran, hingga pelaksanaan yang tidak sesuai kebutuhan rakyat yang terdampak pandemi ini.
Penargetan Kartu Prakerja adalah pegawai yang terimbas PHK. Namun dalam proses pendaftarannya peserta yang mendaftar bukanlah target kartu pra-kerja dibuat. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan BPJAMSOSTEK menyebutkan sebanyak 1,7 juta pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun hanya 143 ribu yang mendaftar kartu prakerja dan sisanya 9,4 juta pendaftar hingga gelombang ketiga ini bukan target yang disasar program prakerja. Target sasaran salah menimbulkan bantuan tak berjalan sesuai tujuan.
Belum lagi dengan anggaran fantastis Rp. 20 triliun yang dialokasikan tidak pada kebutuhan urgen rakyat. Seperti penggunaan fitur face recognition dengan mengalokasikan dana senilai Rp 30,8 miliar untuk kepentingan pengenalan peserta dalam proses pendaftaran, padahal data NIK atau keanggotaan BPJAMSOSTEK mampu digunakan untuk pengenalan peserta yang mendaftar.
Bukan hanya pengguna fitur face recognition saja. Penyediaan video pelatihan online jutrus dialokasikan sangat besar. Mengingat setiap peserta dianggarkan dengan komposisi nilai total insentif pasca pelatihan yaitu sebesar Rp2.400.000/orang dan insentif survei kebekerjaan sebesar Rp1 50.000/orang, lebih besar dari nilai bantuan pelatihannya itu sendiri yaitu sebesar Rp 1.000.000/orang. Alokasi anggaran untuk video pelatihan senilai satu juta jika dikalikan dengan total peserta yang ditargetkan 5,6 juta maka hasilnya Rp. 5,6 triliun alokasi dana hanya dianggarkan hanya untuk pembelian video pelatihan online, 28% anggaran Kartu Prakerja bisa jadi masuk kepada mitra platform digital. Ini bisa jadi keuntungan yang fantastis bisnis dalam situasi pandemi.
Konten video pelatihan pun sebenarnya sudah lumrah bahkan bisa didapatkan secara gratis pada aplikasi YouTube dan media sosial lainnya. Namun tetap saja pelatihan online tidak bersifat urgen bagi pengganguran akibat Corona, karena kebutuhan pokok mereka bukanlah skill semata namun kebutuhan akan makanan, kesehatan, tempat tinggal lebih urgen dari layanan pelatihan.
Bayangkan jika uang sebesar Rp. 20 triliun langsung diberikan kepada rakyat tanpa potongan atau pelatihan atau jika dibelikan dengan bahan pangan dari petani dan produk lokal hal ini akan sangat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan saat pandemi.
Terbukti insentif tak kunjung cair walau langkah main sudah diikuti. Insentif bagi Peserta Program Kartu Prakerja yang telah lulus hingga kini masih belum diterima, padahal program pemerintah ini segera memasuki tahap keempat. Beberapa peserta yang telah mengikuti Program PraKerja pada tahap awal mengaku sudah menerima Sertifikat Kelulusan, namun insentif yang dijanjikan akan diterima pada 10 Juni sampai saat ini belum diterima, peserta bingung dengan pelaksanaan program Kartu Prakerja. (CNBC Indonesia, 18/06/20)
Tak heran uang 20 triliun kandas dan menjadi tanda tanya besar kemana alokasi dana sebenarnya tercurahkan. Negara rugi, rakyat tersakiti dengan janji manis dan semi bantuan ala kapitalis yang justru dibalik program ada keuntungan.
/Bantuan dalam Islam tak Mengenal Pandemi atau Janji Kampanye/
Memang jelas hal ini mengerucut pada pembuktian janji kampanye pemenang jabatan. Mengingat rencana yang setengah matang apalagi memberikan keuntungan pada pihak platform digital. Materialis masih menjadi dasar dalam penentuan kebijakan. Padahal rakyat sedang sekarat menghadapi pandemi. Butuh makan, kesehatan, tempat tinggal bukan kartu tipu-tipu yang merugi miliaran.
Padahal dalam Islam jelas seluruh kebutuhan mesti dipenuhi dengan jaminan negara. Negara punya tanggung jawab besar dalam menjamin hajat hidup seluruh rakyat. Bukan menunggu saat pandemi atau berjanji lalu ditepati dengan nama semata.
Hal ini jelas salah dan keliru dalam meriayah negara. Apalagi dengan anggaran tinggi yang justru melibatkan swasta sebagai jalan mencari keuntungan. Sangat salah kaprah dan mendzolimi rakyat.
Padahal dalam Islam negara adalah perisai dan penjaminan seluruh hajat hidup rakyat. Hal ini bisa kita lihat dalam rancangan undang-undang yang digunakan dalam negara Islam.
"Seluruh kebutuhan pokok setiap individu masyarakat harus dijamin pemenuhannya per individu secara sempurna. Juga harus dijamin kemungkinan setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder semaksimal mungkin." ( Pasal 125, Peraturan Hidup dalam Islam halaman 195)
Pemenuhannya menjadi kewajiban, bahkan mengusahakan kebutuhan sekunder terpenuhi. Situasinya pun bukan saat kondisi pandemi atau tertentu saja. Melainkan setiap hari tanpa tapi. Begitu pula dengan pekerjaan, negara sangatlah menjamin dalam lapangan pekerjaan. Bukan sekedar memberikan pelatihan semata. Apalagi menyalahkan rakyat dengan skill yang tak berkualitas bak tenaga kerja asing. Padahal lapangan pekerjaan sangat minim ditemukan.
"Negara menjamin lapangan kerja bagi setiap warga negara." (Pasal 153, Peraturan Hidup dalam Islam hal 204)
Artinya bukan tentang pandemi negara merugi, namun karena aturan salah kaprah dalam sistem rusak yang melahirkan penguasa berbuat kedzaliman pada rakyat. Tak heran jika bantuan diberikan negara dirugiman akibat dari pengelolaan yang tidak sesuai. Hal ini jelas hanya Islam yang mampu menjadi solusi tuntas. Bukan sekedar perkara aturan saat menghadapi pandemi, namun aturan kehidupan yang harus diterapkan dalam mengatur manusia.
Wallahu'alam bisahwab []
COMMENTS